Sejarah Pencucian Uang
Maraknya kegiatan kejahatan pencucian uang dari tahun ke tahun semakin mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, bukan hanya di masyarakat saja tetapi di pemerintah atau petinggi negara juga memperhatikan kegiatan ini. Berkembangnya pola atau cara pelaksanaan kejahatan pencucian uang semakin maju dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan zaman membuat kejahatan ini semakin sulit untuk dicegah dan dibuktikan.
Bahkan kejahatan pencucian uang bukan hanya dalam skala nasional tetapi juga dalam skala regional dan global dimana kejahatan ini dilakukan oleh berbagai kelompok, kalangan dan juga organisasi internasional (International Organitation). Kejahatan pencucian uang dianggap sebagai suatu fenomena kejahatan yang teroganisir atau biasa disebut dengan Organized Crime karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara.
Pada awalnya kejahatan pencucian uang ini dianggap sangat erat hubungannya dengan perdagangan obat bius atau narkotika dan kejahatan lainnya. Namun dalam perkembangannya, hasil atau proses dari kejahatan ini sudah dihubungkan dengan tindak kriminal secara umum dalam jumlah yang besar seperti korupsi. Hal ini disebabkan karena harta atau kekayaan yang dihasilkan dalam jumlah besar dengan cara disembunyikan yang disebut dengan uang kotor (dirty money).
Munculnya istilah pencucian uang atau (money laundering) dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat yang berhubungan dengan perusahaan pencucian pakaian (laundry) dimana perusahaan ini dibeli oleh para mafia dengan dana yang mereka peroleh dari hasil kejahatannya. Perusahaan ini digunakan dengan sah dan resmi sebagai salah satu strateginya yang merupakan investasi terbesarnya.
Berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini seperti uang hasil penjualan minuman keras yang ilegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran. Perusahaan ini mereka gunakan untuk menyembunyikan uang yang mereka hasilkan dari hasil kejahatan dan transaksi ilegal sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang legal dan sah (Adrian Sutedi, "Tindak Pidana Pencucian Uang", Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 2).
Cara pemutihan uang atau hasil dari kejahatan pencucian uang (money laundering), yaitu dilakukan melalui serangkaian transaksi finansial yang dibuat rumit guna untuk menyulitkan pembuktian untuk mengetahui asal usul suatu dana atau uang tersebut dari berbagai pihak. Para pelaku pencucian uang memanfaatkan kerahasiaan bank atau perusahaan keuangan lainnya yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan untuk menyimpan harta atau kekayaan dari kejahatan tersebut.
Dengan adanya globalisasi perbankan membuat dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara. Melalui mekanisme ini akan sulit untuk menanggulangi atau menggagalkan kejahatan pencucian uang yang bergerak dari suatu negara ke negara lain bahkan ke negara yang menerapkan ketentuan kerahasiaan bank secara ketat karena belum mempunyai sistem hukum yang kuat.
Salah satu contoh kasusnya, yaitu kasus Bank of Credit and Commerce International (BCCI) adalah bank swasta terbesar ketujuh di dunia. Namun, selama pertengahan 1980-an bank ditemukan terlibat dalam kegiatan berbagai penipuan termasuk sejumlah besar pencucian uang. Miliaran keuntungan kriminal termasuk uang obat pergi melalui rekeningnya.
Bank of Credit and Commerce International (BCCI) tidak terlalu pilih-pilih nasabah seperti contoh nasabahnya yaitu Saddam Hussein, mantan diktator militer Panama Manuel Noriega, dan Abu Nidal pemimpin teroris di Palestina. Hal ini juga telah menuduh bahwa CIA menggunakan rekening di Bank of Credit and Commerce International (BCCI) untuk mendanai Mujahidin Afghanistan selama perang dengan Uni Soviet pada tahun 1980-an.
Kasus Bank of Credit and Commerce International (BCCI) merupakan kasus pencucian uang yang tergolong sebagai kejahatan terorganisir dengan mempergunakan model Operasi C-Chase, modus kerja sama penanaman modal, metode legitimate business conversions dan instrument bank dengan lembaga keuangan lainnya.
Tindak Pencucian uang bukan merupakan fenomena baru. Istilah
pencucian uang digunakan untuk pertama kalinya dalam dokumen hukum primer
pada tahun 1992 melalui kasus penyitaan perdata. Kasus ini adalah tentang upaya menyembunyikan atau
menyamarkan keuntungan ilegal dan penyitaan perdata atas sejumlah besar uang
dari Molins di Columbia kepada Sonal di Miami, Florida.
Dalam putusannya, pengadilan menyimpulkan bahwa pengalihan dana dar Molins ke bank di Sonal sangat mungkin merupakan proses pencucian uang. Pengadilan tersebut memang tidak mendefinisikan istilah itu, namun para pakar menyimpulkan bahwa fenomena ini mengacu kepada pencucian uang (Hanafi Amrani, "Hukum Pidana Pencurian Uang: Perkembangan Rezim AntiPencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana, dan Penegakan Hukum", Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm 3).
Istilah pencucian uang dibawa ke jenjang internasional melalui
pemberlakuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan Pengedaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika yang dikenal dengan Konvensi Wina PBB 1998 (Hanafi Amrani, "Hukum Pidana Pencurian Uang: Perkembangan Rezim AntiPencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana, dan Penegakan Hukum", Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm 4).
Konvensi ini
merekomendasi para pihak untuk mengkriminalisasi praktik pencucian uang dan
pengedaran narkoba. Konvensi ini diakui sebagai langkah terpenting
internasionalisasi dan kriminalisasi dalam merespon kegiatan pencucian uang.
Konvensi ini juga memainkan peran signifikan dalam memperkenalkan konsep
pencucian uang ke seluruh dunia. Dari inisiatif internasional ini, istilah pencurian
uang menyebar ke seluruh dunia melalui legislasi dan regulasi domestik negara
masing-masing (Hanafi Amrani, "Hukum Pidana Pencurian Uang: Perkembangan Rezim AntiPencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana, dan Penegakan Hukum", Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm 5).
Setiap negara memiliki unsur-unsur actus reus dan mens rea tindak
pidana pencucian uang yang serupa bahkan identik, namun mereka memiliki
tindak pidana asal yang berbeda yang mendasari tindak pidana pencucian uang
berdasarkan pendekatan yang mereka terapkan. Ini bisa terjadi karena tiap-tiap
negara mempertimbangkan bermacam urusan dalam negerinya. Selain itu, tiap-tiap negara juga memiliki kemampuan berbeda dalam membuktikan keterkaitan
antara pencucian uang dan tindak pidana asalnya (Hanafi Amrani, "Hukum Pidana Pencurian Uang: Perkembangan Rezim AntiPencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana, dan Penegakan Hukum", Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press, 2015, hlm 17).
Pada Tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah dalam
dunia hukum Indonesia karena pada saat itu disahkannya Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang setahun kemudian
tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 diubah dengan adanya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang tersebut
merupakan desakan internasional terhadap Indonesia antara lain dari Financial
Action Task Force (FATF) yang merupakan badan internasional di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Anggotanya terdiri
dari negara donor dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan
pencucian uang. Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 (tujuh belas) negara lainnya
diancam sanksi internasional.
Pada 23 Oktober 2003, the Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) di Stockholm,
Swedia menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam
pemberantasan pencucian uang termasuk negara Cook Islands, Mesir, Guatemala,
Myanmar, Nauru, Nigeria, Filipina dan Ukraina masuk dalam kategori yang sama.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah
meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs
and Psychotropic Substances 1998 (Konvensi 1998). Konsekuensi ratifikasi
tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaannya. Kenyataannya meskipun sudah ada Undang-Undang No 15 Tahun 2002, namun penerapannya
kurang sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif.
Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian Indonesia dalam keadaan yang tidak baik sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana pun untuk keperluan pemulihan ekonomi (Nurmalawaty, "Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Upaya Pencegahannya", Jurnal Equality, Vol. 11 No. 1 Februari 2006, Medan, Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 2).
Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative
Countries and Territories sesuai dengan rekomendasi (NCCT’s) dari Financial
Actions Task Force on Money Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan
perorangan maupun badan hukum yang berasal dari negara NCCT‟s harus
dilakukan dengan penelitian seksama.
Berbagai upaya selama beberapa tahun yang antara lain dengan mengesahkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama
internasional yang akhirnya membuahkan hasil pada Februari 2006 Indonesia dikeluarkan
dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan formal monitoring selama satu tahun (Nurmalawaty, "Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Upaya Pencegahannya", Jurnal Equality, Vol. 11 No. 1 Februari 2006, Medan, Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 2)
Beberapa tahun kemudian tepatnya di tahun 2010, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia menyepakati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantsan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adanya Undang-Undang ini,
bertujuan agar tindak pidana pencucian uang dapat dicegah dan diberantas.
Demikian penjelasan singkat mengenai Sejarah Terjadinya Pencucian Uang (Money Laundering) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.