Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
Jumhur ulama (Selamet Abidin dan H. Aminuddin, "Fiqih Munakahad I", Cet. Ke-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 64-68) sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas 4 (empat) macam, yakni sebagai berikut:
- Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan;
- Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita;
- Adanya dua orang saksi; dan
- Sighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki
Adapun tentang jumlah rukun nikah ini para ulama berbeda pendapat, Imam
Malik (Selamet Abidin dan H. Aminuddin, "Fiqih Munakahad I", Cet. Ke-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 64-68) mengatakan bahwa rukun nikah itu ada 5 (lima) macam, yaitu sebagai berikut:
- Wali dari pihak perempuan;
- Mahar (maskawin);
- Calon pengantin laki-laki;
- Calon pengantin perempuan; dan
- Sigat akad nikah.
Sedangkan Imam Syafii (Selamet Abidin dan H. Aminuddin, "Fiqih Munakahad I", Cet. Ke-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 64-68) berkata bahwa rukun nikah itu ada 5 (lima) macam, yaitu sebagai berikut:
- Calon pengantin laki-laki;
- Calon pengantin perempuan;
- Wali;
- Dua orang saksi; dan
- Sighat akad nikah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja, yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin
laki-laki. Perkawinan menurut agama Islam harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Beragama Islam;
- Bukan Mahram
- Wali Nikah bagi Perempuan;
- Dihadiri Saksi;
- Sedang tidak Ihram atau Berhaji; dan
- Bukan Paksaan.
Beragama Islam
Syarat calon suami dan istri adalah beragama Islam serta jelas nama dan orangnya. Bahkan, tidak sah jika seorang muslim menikahi nonmuslim dengan tata cara ijab kabul Islam.
Bukan Mahram
Bukan mahram menandakan bahwa tidak terdapat penghalang agar perkawinan bisa dilaksanakan. Selain itu, sebelum menikah perlu menelusuri pasangan yang akan dinikahi. Misalnya, sewaktu kecil dibesarkan dan disusui oleh siapa. Sebab, jika ketahuan masih saudara sepersusuan maka tergolong dalam jalur mahram seperti nasab yang haram untuk dinikahi.
Wali nikah bagi perempuan
Sebuah pernikahan wajib dihadiri oleh wali nikah. Wali nikah harus laki-laki tidak boleh perempuan dengan merujuk pada hadits di bawah ini:
"Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah SAW: 'Perempuan tidak boleh menikahkan (menjadi wali)terhadap perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya." (H.R. ad-Daruqutni dan Ibnu Majah).
Wali nikah mempelai perempuan yang utama adalah ayah kandung. Namun jika ayah dari mempelai perempuan sudah meninggal bisa diwakilkan oleh lelaki dari jalur ayah, misalnya kakek, buyut, saudara laki-laki seayah seibu, paman, dan seterusnya berdasarkan urutan nasab. Adapun jika wali nasab dari keluarga tidak ada, maka alternatifnya adalah wali hakim yang syarat dan ketentuannya pun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni Kompilasi Hukum Islam.
Dihadiri Saksi
Syarat sah nikah selanjutnya adalah terdapat minimal 2 (dua) orang saksi yang menghadiri ijab kabul, satu bisa dari pihak mempelai wanita dan satu lagi dari mempelai pria. Mengingat saksi menempati posisi penting dalam akad nikah, saksi disyaratkan beragama Islam, dewasa dan dapat mengerti maksud akad.
Sedang tidak Ihram atau Berhaji
Jumhur ulama melarang nikah saat haji atau umrah (saat ihram), merujuk Islami. Hal ini juga ditegaskan seorang ulama bermazhab Syafii dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib yang menyebut salah satu larangan dalam haji adalah melakukan akad nikah maupun menjadi wali dalam pernikahan:
"Kedelapan dari sepuluh perkara yang dilarang dilakukan ketika ihram yaitu akad nikah. Akad nikah diharamkan bagi orang yang sedang ihram, bagi dirinya maupun bagi orang lain (menjadi wali)".
Bukan Paksaan
Syarat nikah yang tak kalah penting adalah mendapat keridaan dari masing-masing pihak, saling menerima tanpa ada paksaan. Ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah RA sebagaimana di bawah ini:
"Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah atau dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya." (H.R Al Bukhari: 5136, Muslim: 3458).
Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu menurut Sayyid Sabiq ada 2 (dua), yaitu sebagai berikut:
- Calon mempelai perempuan yang halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-lamanya; dan
- Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Syarat-syarat perkawinan juga dimuat dan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi:
- Syarat Intern (materiil); dan
- Syarat Ekstern (formal).
Syarat Intern
Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Adapun syarat intern yang harus dipenuhi dalam melaksakan perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, "Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia", Airlangga University Press, 1988, hlm. 39), yakni terdiri dari:
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (vide: Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan);
- Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun (vide: Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan);
- Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita usia 16 (enam belas) tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (vide: Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan);
- Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan).
- Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 (seratus tiga puluh) hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (vide: Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Perkawinan).
Selain itu Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang perkawinan antara 2 (dua) orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keterunan lurus ke bawah atau ke atas;
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu:
- Antara saudara;
- Antara seorang dengan saudara orang tua; dan
- Antara seorang dengan saudara neneknya.
- Berhubungan semenda, yaitu:
- Mertua;
- Anak tiri;
- Menantu; dan
- Ibu atau bapak tiri;
- Berhubungan susuan, yaitu:
- Orang tua susuan;
- Anak susuan;
- Saudara susuan; dan
- Bibi atau Paman susuan;
- Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri (dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang);
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat ekstern
Syarat ekstern berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Adapun syarat ekstern dalam melangsungkan perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, "Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia", Airlangga University Press, 1988, hlm. 39), yakni terdiri dari:
- laporan
- pengumuman
- pencegahan;
- pelangsungan
Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan diatur oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa:
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian pada bagian penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan pada ketentuan yang dimuat dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan demikian dapat dikatakan konsep perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan yang sesuai ketentuan agama para pihak dan juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, apabila perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti tidak sah menurut perundang-undangan (Hilman Hadikusuma, "Hukum Perkawinan Indonesia", Mandar Madju: Bandung, 2003, hlm. 26).
Mengenai hal tersebut Trusto Subekti berpendapat bahwa Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang akibatnya diatur oleh hukum atau sebagai suatu peristiwa yang diberi akibat hukum. Suatu perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang sah.
Jadi suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku yang dalam hal ini adalah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diakui (kebenarannya), mengikat, dan juga memiliki akibat hukum serta memperoleh perlindungan hukum (Trusto Subekti, "Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan", Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto, 2009, hlm. 26).
Demikian penjelasan singkat mengenai Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih