Prinsip-Prinsip Perkawinan
Setiap pasangan suami istri pasti
mendambakan mahligai rumah tangga yang
dibangunnya selalu rukun, bahagia dan penuh
ketenangan (sakinah) hingga maut memisahkan
mereka berdua. Akan tetapi, di dalam kehidupan
rumah tangga pasti akan selalu ada masalah dan
ujian yang menghampiri keduanya.
Tidak
jarang pasangan suami istri harus mengakhiri
biduk rumah tangga yang dibina karena adanya
suatu masalah atau ujian yang menimpa
keduanya dan menurut keduanya tiada jalan
keluar lain selain kata perpisahan (perceraian).
Namun, masih banyak pula pasangan suami
istri yang mampu bertahan dan menyelesaikan
segala ujian dan masalah yang silih berganti
datang bahkan semakin mengokohkan rumah
tangga yang dibangun bersama pasangan.
Islam mensyariatkan perkawinan dalam rangka terwujudnya rasa sakinah, mawaddah dan waraḥmah bagi suami maupun istri. Namun ketiganya, sebagaimana yang dikatakan M. Quraish Shihab tidak datang begitu saja, ia harus diusahakan oleh setiap pasangan untuk kehadirannya dalam biduk rumah tangga (M. Quraish Shihab, "Perempuan: Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru", Jakarta: Lentera Hati, 2007, 141).
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut suami isteri.
Untuk tercapainya tujuan perkawinan yang
dikehendaki Al-Quran, Islam menyiapkan
sederet prinsip-prinsip sebagai pegangan setiap
pasangan agar tercapainya rasa sakīnah,
mawaddah dan waraḥmah dalam kehidupan
rumah tangga yang dibinanya. Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada 4 (empat) yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Adapun prinsip-prinsip perkawinan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh atau Pasangan;
- Prinsip Mawaddah wa Rahmah;
- Prinsip Saling Melengkapi dan Melindungi; dan
- Prinsip Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf.
Sedangkan menurut Mohamad Rana dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perkawinan (Analisis Filosofis Implementasi dalam Meminimalisir Angka Perceraian) menyebutkan prinsip-prinsip perkawinan adalah sebagai berikut:
- Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh atau Pasangan;
- Prinsip Kesetaraan;
- Prinsip Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf;
- Prinsip Musyawah; dan
- Prinsip Saling Menerima.
Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh atau Pasangan
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Memilih pasangan merupakan hak dasar yang diberikan Islam tidak hanya bagi laki-laki, namun perempuan pun memiliki hak sama. Menurut Asghar Ali Engineer bahwa dalam al-Quran, perempuan setara dengan laki-laki dalam kemampuan mental dan moralnya sehingga masing-masing memiliki hak independen yang sama dalam menentukan pasangannya (Asghar Ali Engineer, "Hak-hak Perempuan dalam Islam", terj. Farid Wajidi, Bandung: LSPPA, 1994, hlm. 137).
Oleh sebab itu, Islam
menegaskan bahwa perempuan memiliki hak
mutlak untuk menerima atau menolak
pinangan. Hal ini sebagaimana sebuah riwayat
haditṩ yang diriwayatkan oleh Ibn Majah yang terjemahannya sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri berkata, telah menceritakan kepada kami Waqi' dari Kahmas bin Al Hasan dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya ia berkata: "Ada seorang gadis datang kepada Nabi Saw., dan berkata, "Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan keponakannya dengan tujuan agar mengangkatnya dari kehinaan." Buraidah berkata, "Maka Beliau menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut. Lalu ia berkata, "Aku telah menerima putusan bapakku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui, bahwa keputusan bukan ada pada bapak-bapak mereka." (H.R. Ibnu Majah).
Dalam konteks ini, kebebasan perempuan dalam memilih pasangan sesuai dengan yang diharapkannya tidak dimaknai tanpa harus seizin dan ridho wali karena tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan akan lebih sempurna jika kebebasan tersebut dalam waktu yang bersamaan juga diharapkan diridhoi dan direstui oleh orang tua (wali) sebagai pihak yang mengakadkan dirinya dengan calon suami (Rustam Dahar Karnadi AḤ, "Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan Dalam Hukum Perkawinan Islam", SAWWA 8: 2, April 2013, 361- 386).
Prinsip Mawaddah wa Rahmah
Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum (30:21) yang terjemahannya (Kementerian Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya", Jakarta: PT. Sygma Examedia, 2007, hlm. 406) adalah sebagai berikut:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia memiliki tujuan untuk mencapai ridha Allah SWT di samping tujuan yang bersifat biologis.
Prinsip Saling Melengkapi dan Melindungi
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2:187) yang terjemahannya (Kementerian Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya", Jakarta: PT. Sygma Examedia, 2007, hlm. 29) adalah sebagai berikut:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa istri-istri adalah pakaian sebagaimana layaknya dengan laki-laki juga pakaian untuk wanita. Perkawinan laki-laki dengan perempuan dimaksudkan untik saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiki kelebihan dan kekurangan.
Prinsip Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf
Prinsip ini di dasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam Surah An-Nisa (4:19) yang terjemahannya (Kementerian Agama RI, "Al-Qur'an dan Terjemahnya", Jakarta: PT. Sygma Examedia, 2007, hlm. 80) sebagai berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
Ayat tersebut memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang ma'ruf. Prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada wanita (Musdah Mulia, "Pandangan Islam tentang Poligami", Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender dan The Asia Foundation, 1999, hlm. 11-17).
K.H. Husein Muhammad mendefinisikan mu'asyarah bi al-ma'ruf sebagai pergaulan, pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang di-bangun bersama (antara suami isteri) dengan cara-cara yang baik, yang sesuai dengan tradisi dan situasi masyarakatnya masing-masing, namun tidak bertentangan dengan norma agama, akal sehat, maupun fitrah manusia (Husein Muhammad, "Fiqh Perempuan", Yogyakarta: LkiS, 2007, hlm. 146).
Walaupun dalam konteks ayat di atas, perintah tersebut ditujukan kepada seorang suami untuk mempergauli istrinya secara baik, maka apabila menggunakan metodologi mubadalah maka ketentuan tersebut juga berlaku kepada seorang istri, untuk mempergauli suami secara baik pula. Pergaulan yang baik menurut Syaikh Nawawi adalah baik menurut syara, yakni perbuatan sikap dan tutur kata.
Suami diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, tidak mudah marah, menyenangkan istrinya dan menuruti kehendak istrinya dalam hal kebaikan (Muhammad Nawawi Al-Bantani, "Murah Labidz", Beirut: Dar Ma'rifat al-Ilmiyyah, Tt, hlm. 135). Begitupun demikian dengan seorang istri juga harus bersikap yang sama kepada suaminya.
Mengenai Mu'asyarah bi al-Ma'rūf selain diartikan dengan sikap lemah lembut dan tutur kata yang baik, Syaikh Nawawi mengartikan lafaẓ ma'ruf dengan kata adil dalam hal menginap (pembagian waktu giliran bagi yang berpoligami), nafkah dan termasuk bertutur kata yang baik (Muhammad Nawawi Al-Bantani, "Murah Labidz", Beirut: Dar Ma'rifat al-Ilmiyyah, Tt, hlm. 135).
Senada dengan Syaikh Nawawi, Faqihuddin mengatakan bahwa mu‟āsyarah bi al-ma‟rūf tidak semuanya demikian. Memang dalam bergaul antara suami dan istri diharuskan untuk bersikap adil, berperilaku baik, bersikap lemah lembut, saling menyenangkan satu sama lain dan tidak saling menyakiti. Pergaulan yang baik dalam hubungan suami istri adalah hubungan yang dilandasi ketakwaan dan kemaslahatan (Faqihuddin Abdul Kodir, "Manba'asSa'adah", Cirebon: Fahmina Institute, 2013, hlm. 23).
Prinsip Kesetaraan
Perkawinan merupakan sebuah akad
antara dua orang pasangan yang terdiri dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam
posisi yang setara. Karena hubungan antara
suami dan isteri adalah hubungan horizontal
bukan hubungan vertikal, sehingga tidak
terdapat kondisi yang mendominasi dan
didominasi. Semua pihak setara dan sederajat
untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan
cinta dan kasih sayang.
Menurut M. Quraish Shihab, kesetaraan
suami dan istripun dapat dilihat dari segi
kejadian keduanya yang tidak memiliki
perbedaan apapun. Oleh sebab itu al-Quran
menegaskan bahwa sebagian kamu dari
sebagian yang lain (ba'ḍukum min ba'ḍ).
Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
kesetaraan atau kebersamaan dan kemitraan
sekaligus menunjukkan bahwa lelaki sendiri
atau suami sendiri belumlah sempurna,
demikian juga perempuan sebelum menyatu
dengan pasangannya yang juga sebagian. Baik
laki-laki maupun perempuan lahir dari
sebagian keduanya, yaitu perpaduan antara
sperma laki-laki dan sel telur perempuan (M. Quraish Shihab, "Perempuan: Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru", Jakarta: Lentera Hati, 2007, 149).
Kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam konteks perkawinan juga
dapat dilihat dengan adanya hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi oleh
masing-masing pihak. Pemenuhan hak oleh
masing-masing pihak suami maupun istri setara
dengan beban kewajiban yang harus ditunaikan
oleh masing-masing pihak (suami istri). Tidak
ada yang saling mendominasi dan menguasai
pasangannya, namun sebagai mitra sejajar yang
saling menghargai, saling menghormati, saling
mengisi dan menyempurnakan satu sama
lainnya.
Prinsip Musyawah
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah
SWT dalam Surah At-Talaq (65: 6) yang arti terjemahannya sebagai berikut:
"..dan musyawarahkanlah di antara kamu (suami-istri) (segala sesuatu) dengan baik..." (Q.S. At-Ṭalaq, 65: 6).
Suami dan istri merupakan dua jenis
kelamin yang berbeda yang memiliki
pemikiran dan keinginan yang berbeda.
Apabila hal tersebut tidak mampu dikelola
dengan baik, maka di dalam rumah tangga akan
senantiasa ada perselisihan diantara keduanya.
Pernikahan yang melahirkan mawaddah
dan raḥmah adalah pernikahan yang
didalamnya kedua pasangan mampu berdiskusi
menyangkut segala persoalan yang mereka
hadapi sekaligus keluwesan untuk menerima
pendapat pasangannya. Penilaian yang tulus
dan tidak menilainya sebagai mengurangi
kehormatan yang menerimanya (M. Quraish Shihab, "Perempuan: Dari cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru", Jakarta: Lentera Hati, 2007, 150).
Hal itulah
yang senantiasa dilakukan dan dicontohkan
Rasulullah SAW dalam kehidupan rumah
tangganya. Hal ini sebagaimana sebuah riwayat
yang dituturkan oleh Imam Bukhari dalam riwayatnya menyebutkan bahwa:
"Telah berkata Umar bin Khaṭṭab, “Di masa Jahiliyah, kami tidak pernah mengikut sertakan wanita dalam suatu urusan, sehingga telah tiba waktunya Allah SWT, menentukan kedudukan dan peranan mereka, dia (Umar) melanjutkan: "Tatkala saya sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istriku berkata; Bagaimana kalau kamu buat seperti ini dan seperti itu? Lalu kukatakan padanya; Mana mungkin kamu tahu? Kamu tidak usah ikut campur dan susah-susah memikirkan urusanku. Maka dia berkata kepadaku; Sungguh aneh kamu wahai Ibnul Khaththab, kamu tidak mau bertukar pikiran denganku! Padahal putrimu selalu bertukar pikiran dengan Rasulullah SAW."
Dengan bermusyawarah bersama
pasangan (suami istri) dalam setiap masalah
dan keinginan dapat memperkaya paradigma
dari sudut pandang yang berbeda sehingga
setiap keputusan yang diambil dilakukan
dengan penuh kesadaran dengan berbagai
manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari
keputusan tersebut.
Prinsip Saling Menerima
Di dalam Al-Quran prinsip tersebut
dengan istilah yaitu penerimaan atau kerelaan diantara dua pihak (suami
dan istri). Masing-masing pasangan saling
menerima tidak hanya dari segi kelebihan
pasangannya, namun juga segala kekurangan
pasangannya dan juga menyadari kekurangan
dan kelebihan yang dimilikinya sendiri.
Dengan prinsip ini maka masing-masing pihak
tidak ada yang merasa sempurna sehingga
tidak memunculkan rasa sombong atas pasangannya dan dengan prinsip ini pula
memunculkan kesadaran bahwa keduanya
saling menyempurnakan kekurangan
pasangannya dengan kelebihan yang
dimilikinya. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT dalam Surah A-Baqarah (2: 187) yang terjemahan artinya sebagai berikut:
"Mereka (istri-istri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka." (QS. Al-Baqarah, 2: 187).
Kalau pakaian berfungsi menutup aurat dan kekurangan jasmani manusia demikian pula pasangan suami dan istri, keduanya saling melengkapi dan menutupi pasangannya masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, suami adalah hiasan bagi istrinya demikian pula sebaliknya (M. Qurais Shihab, "Pengantin al-Qur'an", hlm. 94).
Demikian penjelasan singkat mengenai Prinsip-Prinsip Perkawinan yang dirangkum dari berbagai sumber. Jika ada pertanyaan atau tanggapan mengenai artikel, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih