Penyelundupan Senjata di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.506 pulau dengan garis pantai yang sangat panjang sekitar 81 km dan 8.000.000 km2 daerah perairan dan memiliki sejumlah besar area yang sangat sulit untuk diawasi dan dikendalikan yang dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai titik masuk bagi para penyelundup.
Dengan keadaan geografi seperti ini, Indonesia sangat rentan dan rawan terhadap isu penyelundupan Small Arms and Light Weapons disingkat SALW (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 77).
Penyelundupan senjata selama ini dilakukan oleh para teroris, broker, penjahat-penjahat transnasional dan kelompok-kelompok tertentu. Mereka menyelundupkan
senjata ini dan bahan peledak lainnya dalam jumlah besar dari Selatan Filipina dan
Malaysia melalui General Santos, Tawi-tawi, Sandakan, Tawau, Nunukan dan Palu.
Investigasi terhadap kasus pemboman Christmas Island pada tahun 2000 memunculkan
bahwa para pelaku kejahatan ini menggunakan rute lain, yakni dari Johor, Tanjung
Pinang dan Batam (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 77).
Beberapa kelompok lainnya juga ikut terlibat dalam penyelundupan senjata
dengan maksud menggunakan senjata ini di daerah konflik seperti Aceh dan pada
perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Hal ini merupakan hasil dari
dijalankannya investigasi dan interogasi dalam kerja sama dengan pihak-pihak
berwenang di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Thailand.
Oleh karena itu, di Indonesia penyelundupan Small Arms and Light Weapons (SALW) menghadirkan ancaman
yang besar bagi kesatuan wilayah Indonesia dengan memelihara gerakan-gerakan
separatis dan mempromosikan budaya kriminal di masyarakat.
Karenanya, sirkulasi Small Arms and Light Weapons (SALW) ilegal tidak lagi dapat dibiarkan. Sebab dapat mengganggu kepentingan-kepentingan nasional bahkan stabilitas internal di Indonesia (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 86).
Pada bulan Januari 1999, pertikaian dimulai antara kaum Muslim dan Kristiani
di Maluku, populasi yang terletak di sebelah Timur Indonesia. Selain merupakan
persoalan keagamaan, konflik ini ternyata juga mengangkat isu perbedaan ekonomi dan
hubungan antara pemerintah Jakarta dengan provinsi-provinsi yang letaknya jauh dari
pusat.
Dalam dua tahun sejak pecahnya konflik ini sudah sebanyak 8.000 (delapan ribu) orang tewas (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 89).
Sejumlah besar Small Arms and Light Weapons (SALW) dengan kualitas yang bervariasi telah beredar dalam
konflik di kawasan ini. Menurut beberapa laporan di lapangan, kedua belah pihak
sepertinya telah dipersenjatai dengan berbagai jenis Small Arms and Light Weapons (SALW) seperti pistol, light mortars,
granat, dan bom, bahkan juga dengan beberapa senjata produksi lokal. Sebagai contoh,
Februari 2000, militer Indonesia berhasil mendapatkan 4.000 (empat ribu) senjata dari pihak yang
bertikai.
Kebanyakan dari senjata ini merupakan senjata buatan sendiri yang dibuang
untuk dijual dengan harga murah di perairan Tanjung Alang. Inspeksi mendadak yang
dilakukan oleh petugas militer yang berada di bawah kebijakan siaga negara Juni 2000
mengarah pada tertangkapnya 32 (tiga puluh dua) senjata jenis army standard riffle termasuk AK 47,
SMR Bren MR3, Ruger dan juga 278 senjata buatan lokal. Petugas militer juga berhasil
menangkap 4 (empat) peluncur roket, ratusan granat tangan dan 3.070 (tiga ribu tujuh puluh) buah amunisi.
Pada
Agustus 2007, pejabat gubernur Maluku Utara mengawasi langsung penghancuran 23 (dua puluh tiga) standard riffle termasuk 2 (dua) buah M16), 4.279 (empat ribu dua ratus tujuh puluh sembilan) senjata lokal, 2.278 (dua ribu dua ratus tujuh puluh delapan) bazooka buatan lokal dan 1.097 (seribu sembilan puluh tujuh) detonators (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 92).
Terdapat sumber utama dimana pihak yang bertikai ini dapat memperoleh
senjata, yakni terdapat bukti yang cukup kuat bahwa sejumlah besar senjata yang
tersedia merupakan suplai langsung dari pasukan militer pemerintah Indonesia kepada
kedua kubu. Seorang juru bicara dari Komando Militer Ambon juga menegaskan bahwa
terdapat laporan tentang penyelundupan senjata dari gudang persenjataan militer ke
wilayah ini.
Secara umum Tentara Nasional Indonesia membantah telah memihak kepada kubu Muslim dalam
konflik ini, termasuk dalam menyediakan suplai senjata beserta amunisi pada saat
BRIMOB juga ikut membantah telah membantu kubu Kristen untuk perkara yang sama.
Sebuah artikel ekonomi pada Maret tahun 2001 justru melaporkan baik militer maupun
kepolisian menjual M16 dan AK47 seharga US$ 700 (tujuh ratus DolarUS) tiap satuannya (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 93).
Pada saat pemberontakan Aceh, pemerintah Indonesia juga mengalami kesulitan
untuk mengakhiri konflik ini (Andrew Tan, 2000, "Armed Rebellion in The ASEAN State Presistence and Implication", dalam
Camberra Papers on Strategy and Defence, No. 135, Strategic And Defence Studies Center. ANU,
Canberra).
Mei 2003, petugas pemerintah memperkirakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memiliki sedikitnya 5.200 (lima ribu dua ratus) anggota dengan strategi militer yang berfokus pada target
ekonomi dan politik yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintahan daerah Aceh.
Sementara itu, perkiraan lain memunculkan angka 15.000 (lima belas ribu_ sampai 27.000 (dua puluh tujuh ribu) anggota (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 94). Menurut
ISS Armed Conflict Database, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menekankan pada 3 (tiga) isu utama untuk
menggalang dukungan di antara penduduk Aceh, yakni:
- Persoalan ekonomi;
- Transmigrasi penduduk etnis Jawa; dan
- Perasaan tidak senang tentang kehadiran unit keamanan di wilayah Aceh.
Walaupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil menaikkan kekuatan militernya, akan tetapi tetap saja
tidak berimbang dengan kekuatan yang dimiliki pasukan militer pemerintah. Walaupun
begitu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus menggalang dukungan dari masyarakat sekitar dengan cara mengangkat
isu-isu sensitif yang terjadi akhir-akhir ini yang kemudian mejadikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai ancaman
keamanan nasional yang cukup potensial.
Perjanjian damai pernah ditandatangani Desember 2002 yang memberikan Aceh otonomi yang lebih luas, akan tetapi proses damai ini terhenti pada April 2003 saat para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menolak menerima otonomi tersebut sebagai ganti kemerdekaan (Evelyn Herawaty Sitorus, "Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Ilegal", Skripsi, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hlm. 79).
Lebih lanjut, kedua pihak gagal mematuhi kesepakatan. Pasukan pemberontak tidak bersedia dilucuti senjatanya dan pasukan keamanan Indonesia gagal menarik kembali posisi pertahanannya (Project Ploughshares Institute of Peace and Conflist Studies, Armed Conflict ReportIndonesia-Aceh). Hal ini memaksa pemerintah untuk mengumumkan aturan
militer di provinsi ini.
Setelah terjadinya Tsunami yang sempat meluluh lantakkan Aceh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk meletakkan senjata mereka dan ikut terlibat
dalam upaya untuk membangun Aceh kembali.
Desember 2004, Susilo Bambang Yudhoyono
memerintahkan untuk sementara waktu menghentikan operasi-operasi yang bersifat
ofensif terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan mengkonsentrasikan Tentara Nasional Indonesia pada operasi-operasi kemanusiaan.
Hal ini menghasilkan kesepakatan damai antara kedua pihak yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki yang memperbolehkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ikut serta dalam
politik Indonesia.
Demikian penjelasan singkat mengenai Penyelundupan Senjata di Indonesia Dalam Menangani Isu Penyeludupan Senjata Ilegal yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih