Penyeludupan Senjata Ilegal sebagai Kejahatan Transnasional
Philips Jusario Vermonte dalam tulisannya mengutip pendapat dari
Bunbongkarn, et.al. menyatakan bahwa suatu kejahatan untuk dapat diterima sebagai
kejahatan transnasional harus memiliki 2 (dua) elemen, yakni sebagai berikut:
- Lintas batas, baik yang dilakukan oleh orang (penjahat kriminal, buronan atau mereka yang sedang melakukan kejahatan atau korban seperti dalam kasus penyelundupan manusia) atau oleh benda (senjata api, seperti saat teroris memasukkan senjata ke dalam pesawat sebelum lepas landas, uang yang akan digunakan dalam kejahatan seperti obat-obat terlarang) atau oleh niatan kriminal (seperti penipuan melalui komputer di mana perintah yang dikeluarkan di Negara A ditransmisikan ke Negara B); dan
- Pengakuan internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Pada tataran nasional, sesuai prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege (tidak ada serangan, tidak ada sanksi apabila tidak ada hukumnya), sebuah tindakan anti sosial baru bisa dianggap sebagai tindak kriminal apabila ada hukum tertulis yang mengaturnya sedangkan pada tataran internasional sebuah tindakan bisa dianggap tindakan kriminal apabila dianggap demikian oleh minimal dua negara. Pengakuan ini bisa berasal dari konvensi internasional, perjanjian ekstradisi atau adanya kesamaan dalam hukum nasionalnya.
Selanjutnya tidak ada definisi secara jelas mengenai kejahatan terorganisir (organized crime), namun makna utama kejahatan terorganisir tidak terletak pada kejahatan itu sendiri, melainkan lebih pada keterorganisasian yang dalam arti lebih luas bukanlah sekedar perencanaan belaka.
Dengan demikian, maka istilah kejahatan terorganisir lebih banyak mengacu pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh suatu organisasi tertentu yang sudah mapan, bahkan terkadang diterjemahkan pula sebagai suatu organisasi yang keberadaannya didasarkan pada kegiatan-kegiatan kriminal (Harkristuti Harkrisnowo, "Transnational Organized Crime: Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi," Indonesian Journal of International Law, Vol.1 No. 2, 2004, hlm. 327-328).
Harkristuti Harkrisnowo (Harkristuti Harkrisnowo, "Transnational Organized Crime: Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi," Indonesian Journal of International Law, Vol.1 No. 2, 2004, hlm. 329) dalam analisisnya memberikan kesimpulan bahwa suatu kejahatan bisa dikatakan sebagai kejahatan terorganisir apabila kejahatan tersebut:
- Dilakukan oleh lebih dari satu orang, dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan baik;
- Dibangun untuk beroperasi menurut suatu pola yang sudah mapan;
- Mendasarkan kegiatannya pada hubungan-hubungan yang lebih sering permanen dari pada tidak;
- Mempunyai aturan-aturan yang berlaku internal dan diterapkan dengan ketat;
- Mempunyai hierarki ketat dalam organisasi yang berkesinambungan dan jelas pembagian kerjanya;
- Memperoleh keuntungan dari kejahatan;
- Tidak ragu menggunakan paksaan, kekerasan ataupun upaya koruptif untuk memperoleh kekebalan;
- Kontinuitas tidak dipatahkan oleh kematian salah seorang dalam organisasi; dan
- Didukung oleh sejumlah orang yang profesional.
Kelompok-kelompok kejahatan terorganisir ini kemudian berkembang menjadi berkarakter transnasional. Hal ini terutama didorong oleh kemajuan pesat teknologi, semakin eratnya perdagangan internasional, globalisasi yang mengakibatkan perbatasan antar negara bukan lagi menjadi halangan untuk melakukan apapun serta juga akibat situasi pasca Perang Dingin seperti maraknya masalah separatisme.
Menurut Louise I. Shelley (Louise I. Shelley, "Transnational organized Crime: An Imminent Threat to the Nation State", Journal of international affairs, Winter, Vol. 48, No. 2, 1995, hlm. 465), suatu organisasi kejahatan transnasional dapat dikatakan sebagai kelompok kejahatan terorganisir yang memiliki karakter sebagai berikut:
- Memiliki basis di suatu negara;
- Dalam menjalankan kejahatannya tidak hanya di satu negara, namun biasanya di sejumlah negara yang dianggap memiliki pasar yang menguntungkan mereka; dan
- Menjalankan kegiatan-kegiatan gelap (ilegal) dengan resiko tertangkap yang rendah.
Transnational Organized Crime (TOC) kemudian tumbuh dan berkembang
secara global. Philips Jusario Vermonte (hlm. 48) menyatakan terdapat 4 (empat) penyebab makro
yang mendorong hal ini, yakni:
- Dolarisasi dunia;
- Mengemukanya bentuk-bentuk politik identitas setelah Perang Dingin usai;
- Akses yang lebih luas untuk memperoleh senjata; dan
- Akibat globalisasi.
Berdasarkan uraian di atas maka secara jelas dapat dikatakan bahwa
penyelundupan senjata lintas negara memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai
suatu Transnational Organized Crime (TOC). Penyelundupan senjata lintas negara secara pasti bersifat transnasional
karena merupakan suatu kegiatan memasukkan atau mengeluarkan senjata dari satu negara ke negara lain sehingga melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai negara
pengirim, negara penerima, ataupun negara transit.
Dunia internasional juga telah
menyepakati bahwa penyelundupan senjata merupakan Transnational Organized Crime (TOC). Hal ini terlihat dengan
adanya suatu protokol dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut dengan UN Firearms Protocol (2001)
yang menjadi tambahan dari The United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (2000).
Kelompok kejahatan terorganisir secara meningkat bergabung dalam bisnis
perdagangan senjata sejak Perang Dingin berakhir. Mereka mengambil keuntungan dari
banyaknya senjata militer yang dapat diperoleh dalam jumlah yang besar baik dari
bekas negara-negara blok sosialis di Eropa Timur maupun dari bekas daerah-daerah
yang terlibat konflik. Dalam menjalankan kegiatan penyelundupan senjata, suatu
kelompok Transnational Organized Crime (TOC) akan mengkoordinasinya sedemikian rupa sehingga tertata dengan
sangat rapi dan bergerak secara sembunyi-sembunyi.
Untuk menyamarkan hasil-hasil kejahatannya, kelompok-kelompok Transnational Organized Crime (TOC) biasanya mendirikan perusahaan atau korporasi-korporasi. Bentuk perusahaan yang paling lazim mereka dirikan adalah perusahaan ekspor-impor yang menjalankan usahanya baik yang legal maupun ilegal. Usaha legalnya berjalan normal seperti perusahaan umumnya dan perusahaan ini menjadi tameng bagi kegiatan ilegalnya (Romli Atmasasmita, "Dampak Ratifikasi Konvensi Transnational Organized Crime (TOC)", Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2004, hlm. 44).
Pada saat menjalankan aksinya, para pihak yang ikut serta dalam kelompok Transnational Organized Crime (TOC) ini melaksanakan perannya masing-masing yang telah dibagi secara sistematis agar aksi mereka dapat berjalan dengan baik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam suatu kegiatan penyelundupan senjata melibatkan sejumlah pihak, yakni manufacturer, intermediaries, dan consumer (Edward J. Laurance, "The International Arms Trade. Lexington Books", Macmillan: Inc. New York, 1992, hlm.79).
Untuk sampai ke tangan pembelinya, maka suatu kelompok Transnational Organized Crime (TOC) akan memastikan bagaimana mereka dapat memperoleh senjata-senjata tersebut secara ilegal, kemudian mereka juga akan mengatur strategi sedemikian rupa agar senjata tersebut dapat sampai ke tangan pembelinya secara aman melalui pihak yang tergolong intermediaries, yakni:
- Broker;
- Dealer; dan
- Transport agent (shipper).
Misalnya saja, agar senjata-senjata ilegal tersebut tidak dapat ditelusuri lebih lanjut oleh pemerintah, maka mereka akan menghapus marking yang ada pada senjata tersebut sehingga kalaupun tertangkap, maka pemerintah tidak dapat melakukan penelusuran (tracing) terhadap senjata tersebut. Dengan demikian, tidak diketahui senjata tersebut berasal dari mana sehingga sindikat yang berada di balik penyelundupan senjata ini tidak terbongkar (Romli Atmasasmita, "Dampak Ratifikasi Konvensi Transnational Organized Crime (TOC)", Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2004, hlm. 46).
Tertangkapnya salah seorang dari pihak yang terlibat ini tidak dapat
memutuskan secara langsung mata rantai dari perdagangan ilegal yang dilakukan oleh
kelompok Transnational Organized Crime (TOC) ini. Sebagai contoh, tertangkapnya seseorang yang bertugas sebagai
pengangkut (shipper) tidak secara otomatis dapat mengungkapkan pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya karena si pengangkut biasanya hanya mendapat instruksi dari
orang yang tidak dapat diidentifikasi dengan jelas sehingga walaupun dipaksa tidak
mudah baginya untuk menunjukkan rantai kegiatan kejahatan terorganisir ini.
Apalagi,
pada umumnya suatu kelompok Transnational Organized Crime (TOC) mengetahui seluruh latar belakang keluarga dan
biodata tiap orang yang terlibat dalam kegiatannya sehingga seseorang yang tertangkap
tidak mau mengungkapkan kegiatan gelap ini demi keselamatan keluarganya.
Di sisi lain, penyelundupan senjata lintas Negara yang dijalankan oleh kelompok Transnational Organized Crime (TOC) biasanya tidak hanya melibatkan para penjahat biasa, tetapi juga banyak yang
berasal dari mantan-mantan aparat keamanan, bahkan kelompok ini umumnya
memperoleh dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari aparat pemerintah
yang korup yang telah menikmati uang suap.
Hal ini dilakukan untuk memperlancar penyelundupan senjata yang mereka lakukan karena dengan terlibatnya mantan aktor negara ataupun aktor negara dalam kelompok ini, maka operasi yang dilakukan oleh kelompok Transnational Organized Crime (TOC) ini pun semakin canggih dan sulit dihadapi.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyeludupan senjata
ilegal lintas negara sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional terorganisir dapat
dikatakan memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai suatu Transnational Organized Crime (TOC).
Penyelundupan
senjata lintas Negara secara pasti bersifat transnasional karena merupakan suatu
kegiatan memasukkan atau mengeluarkan senjata dari satu negara ke negara lain
sehingga melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai negara pengirim, negara
penerima, ataupun negara transit.
Dunia internasional juga telah menyepakati bahwa
penyelundupan senjata merupakan Transnational Organized Crime (TOC). Hal ini terlihat dengan adanya suatu protokol dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut dengan UN Firearms Protocol (2001) yang menjadi tambahan
dari The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (2000).
Demikian penjelasan singkat mengenai Penyeludupan Senjata Ilegal sebagai Kejahatan Transnasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.