Pengaturan Penggunaan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian
Istilah senjata api atau pistol digunakan secara bergantian dengan tren penggunaan istilah kata yang signifikan pada waktu dan kondisi tertentu. Istilah pistol lebih sering digunaan oleh kalangan jurnalis dan umum, sementara istilah senjata api cenderung digunakan oleh kelompok akedemisi.
Senjata api menurut Tom A Warlow adalah senjata yang dibawa kemana-mana yang cara kerjanya menggunakan peluru, didorong oeh beban yang bersifat meledak seperti senapan, bedil, pistol dan lain-lain (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 1).
Selain itu menurut C Ulep mendefenisikan senjata api sebagai senjata yang selanjutnya digunakan, mencakup senapan, senapan kuno serdadu, karabin, senjata laras pendek, revolver, pistol dan lainnya yang dapat mematikan karena tembakan peluru, granat atau proyektil yang mungkin dikeluarkan oleh serbuk mesiu atau bahan peledak lainnya (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 16).
Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak pidana senjata api merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dimana dalam melakukan perbuatannya yaitu menyalahgunakan senjata api yang diperoleh berdasarkan ijin maupun tidak berdasarkan ijin (illegal).
Di Indonesia sendiri pengaturan tentang tindak pidana senjata api sudah sangat banyak diatur baik dalam bentuk perundang-undangan, peraturan-peraturan maupun dalam bentuk Surat Keputusan dari berbagai Instansi yang terkait dalam pengaturan senjata api. Terdapat beberapa pengaturan terkait senjata api, yaitu:
- Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1951 tentang mengubah ordonnantietijdelijke bijondere strafbepalingen;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara No. 14 dan menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api;
- Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang kewenangan perijinan yang diberikan menurut perundang-undangan mengenai senjata api.
Bahwa kemudian pengaturan tentang tindak pidana senjata api dimuat dan diatur berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 48).
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 47 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 48-49) disebutkan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia dan senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
- Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
- Membela diri dari ancaman kematian dan/ atau luka berat;
- Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/ atau luka berat;
- Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa;
- Menahan, mencegah atau menghentian seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
- Menangani situasi yang membahayakan jiwa dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sedangkan dalam pengaturan yang dimuat dan diatur pada Pasal 8 ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 49) menyebutkan bahwa penggunaan senjata api oleh Polisi dilakukan apabila:
- Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
- Anggota Polri tidak memilki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
- Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Bahwa pada prinsipnya penggunaan senjata Api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, maka penggunaan senjata api oleh Polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 49).
Bahwa untuk itu setiap anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 51).
Oleh karena itu, pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh Polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat dituntut pertanggungjawabannya secara perdata maupun secara pidana (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 51).
Persoalan yang sering terangkat di dalam pemberitaan beberapa media di Indonesia lebih pada kekhawatiran masyarakat atas penegakan hukum penyalahgunaan senjata api mengarah pada perilaku aparat dan pejabat penegak hukum yang menjadi perhatian tersendiri (A. Josias simon Runturambi dan Atin Sri Pujiastuti, "Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal", Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm. 52).
Adapun jenis-jenis senjata api yang diatur berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Perijinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non Organik Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peralatan Keamanan Yang Digolongkan Senjata Api bagi Pengemban Fungsi Kepolisian Lainnya, yaitu :
- Untuk Polisi Khusus (Polsus), terdiri atas:
- Senjata api pinggang jenis senapan kaliber 9x21 mm;
- Senjata api bahu jenis senapan kaliber 22 dan 12 GA;
- Senjata api genggam jenis pistol/ revolver kaliber 32, 25 dan 22;
- Senjata peluru karet jenis senapan kaliber 9 mm;
- Senjata peluru karet jenis pistol/ revolver kaliber 9 mm;
- Senjata bius;
- Senjata signal;
- Senjata peluru gas;
- Senjata semprotan gas; dan/ atau
- Alat kejut listrik.
- untuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), terdiri atas:
- Senjata api genggam jenis pistol/ revolver kaliber 32, 25 dan 22;
- Senjata peluru karet jenis senapan kaliber 9 mm;
- Senjata peluru karet jenis pistol/ revolver kaliber 9 mm;
- Senjata peluru gas;
- Senjata semprotan gas; dan/ atau
- Alat kejut listrik.
- untuk Satuan Pengamanan (Satpam) dari instansi/ kementerian/ lembaga, terdiri atas:
- Senjata api bahu jenis senapan kaliber 22 dan 12 GA;
- Senjata api genggam jenis pistol/ revolver kaliber 32, 25 dan 22;
- Senjata peluru karet jenis senapan kaliber 9 mm;
- Senjata peluru karet jenis pistol/ revolver kaliber 9 mm;
- Senjata peluru gas;
- Senjata semprotan gas; dan/ atau
- Alat kejut listrik.
Demikian penjelasan singkat mengenai Pengaturan Penggunaan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih