Penegakan Hukum Tindak Pidana Pornografi
Penegakan hukum merupakan suatu usaha guna menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana adalah mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Barda Nawawi Arief, "Kebijakan Hukum Pidana", Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 109).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Desvi Christina S., "Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemilik Akun Instagram Yang Mengandung Konten Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi", JOM Fakultas Hukum Vol. IV No. 1, Februari 2017, hlm. 10).
Indonesia sebagai negara berkembang dengan melihat permasalahan yang terjadi sekarang ini membuat pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat dituntut untuk bersikap aktif dan tidak masa bodoh melihat perkembangan kehidupan sekarang ini. Permasalahan yang ada sekarang ini jika tidak secepatnya ada tanggapan atau respon dari pemerintah atau aparat penegak hukum untuk melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi, maka tidak akan lama akan merusak moral masyarakat Indonesia.
Di dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pornografi, Kepolisian berwenang melakukan penyidikan seperti yang diatur di dalam ketentuan yang dimuat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan bahwa mengenai penyidikan terhadap tindak pidana pornografi dilaksanakan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pengecualian-pengecualian dalam Undang-Undang tentang Pornografi dalam proses penyidikan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yakni dalam ketentuan Pasal 24 yang menyatakan bahwa di samping alat bukti sebagaimana dimuat dan diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), termasuk juga alat bukti dalam tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik maupun bentuk penyimpanan data lainnya dan data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya (Suratman dan Andri Winjaya Laksana, "Analisis Yuridis Penyidikan Tindak Pidana Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Di Era Digitalisasi", Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. I No. 2, Mei-Agustus 2014, hlm 175).
Ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi mengatur bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa dan membuat Salinan data elektronik yang tersimpan di dalam file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya dan untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
Pemilik data, penyimpan data atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan atau membuka data elektronik tersebut berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik (Suratman dan Andri Winjaya Laksana, "Analisis Yuridis Penyidikan Tindak Pidana Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Di Era Digitalisasi", Jurnal Pembaharuan Hukum", Vol. I No. 2, Mei-Agustus 2014, hlm 175).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi secara tegas juga menetapkan bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan,dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang dan ringan serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak.
Di samping itu pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan (Irma Rumtianing Uswatul Hanifah, "Kejahatan Pornografi Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya di Kabupaten Ponorogo", Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10 No. 2, Juli-Des. 2013, hlm. 341).
Ancaman pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) tersebut tidaklah bisa disebut ringan sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 29 Undang-Undang tentang Pornografi dan akan dihukum dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi:
"Setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)."
Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi:
"Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana pejara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)."
Ketentuan Pasal 33 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi:
"Setiap orang yang mendanai atau menfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milliar rupiah) dan paling banyak Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh milliard lima ratus juta rupiah)."
Demikian penjelasan singkat mengenai Penegakan Hukum Tindak Pidana Pornografi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.