Pandangan Agama Kristen terhadap Perkawinan Beda Agama
Pandangan Agama Katolik
Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan
tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik
menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama
katholik dengan orang yang bukan katholik dan tidak dilakukan
menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.
Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama
Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan
perkawinan yang ideal.
Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang
perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali
Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar
pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik.
Pandangan Agama Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar
penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan
sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman.
Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang
beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain,
maka Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana
kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing.
Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya
gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan
campur beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan
membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.
Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa
pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri
yang beriman.
Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak
memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang
yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.
Menurut Pdt. Purboyo W. Susilaradeya3
bahwa banyak
orang tidak dapat memahami mengapa dua orang yang berbeda
agama tetap memutuskan menikah, walau berbagai tantangan menanti mereka di depan. Dari masalah upacara atau ibadah
pernikahan pada awal perjalanan mereka, hingga pendidikan
agama bagi anak-anak mereka kelak.
Dan yang biasanya lebih
tidak dapat dipahami lagi adalah bahwa beberapa gereja, salah
satu di antaranya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) bersedia
melayankan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan
dari pasangan yang berbeda agama, walau berbagai tantangan
juga menanti gereja di depan. Dari masalah persiapan dan
penyelenggaraan upacara atau ibadah pernikahan mereka, hingga
pendampingan pastoral bagi mereka.
Khususnya Gereja Kristen Indonesia (GKI) bersedia melayankan kebaktian peneguhan
dan pemberkatan pernikahan beda agama. Untuk itu di bawah ini
akan dipaparkan pernikahan beda agama di Alkitab dalam sejarah
gereja dan di GKI kemudian akan ditawarkan beberapa
rekomendasi di sekitar pernikahan beda agama.
Pernikahan Beda Agama di Alkitab
Di dalam Alkitab dikisahkan beberapa orang yang menikah
beda agama, misalnya Yusuf, Musa, Daud, Salomo dan tentu
saja pernikahan Boas dan Ruth. Walau yang terakhir ini tidak
selalu dianggap sebagai pernikahan beda agama karena
pernyataan Ruth kepada mertuanya yang amat terkenal itu:
"…bangsamulah bangsaku, Allahmu adalah Allahku…" (Rut 1: 16).
Namun mesti dikatakan bahwa pada umumnya pernikahan beda
agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah
Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak
seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13: 23-29; Mal. 2: 10). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7: 3-4,
"Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera."
Dalam Perjanjian Baru (PB), Paulus dihadapkan pada
permasalahan ini khususnya di jemaat Korintus. Menjawab
pertanyaan mengenai pernikahan kembali apabila salah satu
dari pasangan meninggal, Paulus menyetujuinya asalkan seiman
(1 Kor. 7:39).
Pendapat Paulus ini kerap kali dianggap sebagai
pendirian Paulus bahwa pernikahan hanya boleh terjadi di antara
orang-orang Kristen. Namun dalam kasus seseorang yang
bertobat menjadi percaya namun pasangannya tidak, Paulus tidak
mendorongnya untuk bercerai, kecuali pasangan yang tidak
seiman itu menghendakinya (1 Kor. 7:12-16). Dan harap dicatat
bahwa dengan jelas Paulus menegaskan bahwa yang
mengatakan ini bukan Tuhan, tetapi dirinya sendiri yaitu Paulus.
Pernikahan Beda Agama dalam Sejarah
Gereja
Pada awal sejarah gereja tidak ada praktik yang seragam walau pada prinsipnya pernikahan yang dikehendaki adalah
pernikahan di antara orang-orang seiman. Keputusan resmi
pertama tentang itu terjadi di Sinode di Elvira (Spanyol) pada awal
abad ke IV. Disana pernikahan beda agama ditolak dan diberi label perzinahan spiritual (spiritual adultery). Pada tahun 314 Sinode
di Arles mengulangi larangan dan untuk pertama kalinya
diputuskan bahwa para pelanggar akan dihukum dengan
pengasingan dari persekutuan untuk jangka waktu tertentu.
Perubahan terjadi dalam sinode ekumenis di Chalcedon
tahun 451 dimana ditetapkan bahwa orang Kristen
diperkenankan menikah dengan orang yang tidak seiman, asalkan
orang itu bertobat menjadi Kristen serta anak-anak dari
perkawinan itu dibaptiskan. Ketetapan ini akhirnya dihisabkan ke
dalam hukum gereja Katolik Roma dan diberlakukan sejak Mei
1918 serta menjadi kebijakan dasar pernikahan beda agama.
Dalam praktik dispensasi hanya diberikan bila pasangan yang
Katolik bebas untuk melaksanakan ibadah dan praktik
keimanannya serta anak-anak dibaptiskan dan dibesarkan secara
Katolik. Upacara pernikahan harus menurut tata-cara Katolik dan
dipimpin oleh seorang imam Katolik. Upacara lain dilarang.
Konsili Vatikan yang kedua kemudian membahas dan
mengevaluasi masalah ini dengan seksama, berdasarkan masukan dari berbagai bagian dunia. Berdasarkan itu ketetapan
mengenai pernikahan beda agama mengalami beberapa
perubahan penting. Pertama-tama, harapan, sejauh hal ini
mungkin agar anak-anak dibaptis dan dibesarkan secara katolik hanya diletakkan pada pasangan yang Katolik.
Sedangkan
mengenai upacara pernikahan, walau itu berlangsung menurut
tata-cara Gereja Katolik, uskup setempat diberi wewenang untuk
apabila perlu dan tepat mengizinkan dilaksanakannya upacara
dengan cara lain dan sanksi ekskomunikasi dalam hal
pernikahan beda agama ini tidak lagi diberlakukan.
Gereja Ortodoks yang juga memegangi bahwa pernikahan
adalah sakramen tetap bersiteguh bahwa pernikahan haruslah
terjadi di antara dua orang yang telah dibaptiskan.
Lain lagi halnya dengan gereja-gereja Prostestan. Pada
umumnya mereka menolak pernikahan beda agama sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dan praktik gereja.
Kecuali pasangan yang tidak seiman dibaptiskan, gereja sama
sekali tidak akan memedulikannya. Akibatnya banyak pasangan
yang berbeda agama menikah hanya secara hukum (catatan
sipil) atau pasangan yang Kristen mengikuti upacara menurut
agama pasangannya. Sebagai reaksi atas hal ini ada gereja-gereja yang memberikan sanksi kepada anggotanya yang nekad
menikah dengan orang yang tidak seiman.
Akhir-akhir ini, atas dasar pertimbangan pastoral praktik disiplin gerejawi diperlunak. Ada gereja-gereja yang bersedia
melayankan upacara pernikahan beda agama tidak di gereja tetapi di
rumah, bila pasangan yang tidak seiman setuju dilaksanakan
upacara Kristen dan ada gereja yang untuk itu mensyaratkan
pembinaan pranikah bagi pasangan beda agama yang akan
menikah.
Pernikahan Beda Agama dalam Pemahaman dan Praktik GKI
GKI menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda
agama dengan syarat sebagai berikut:
Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia
harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan
formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b) bahwa:
- Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani;
- Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani;
- Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani.
Berarti melalui berbagai pertimbangan, GKI telah mengubah
ketetapannya. Ketika masih terdiri atas 3 sinode, masing-masing
sinode GKI (setidaknya GKI Jawa Tengah) semula hanya bersedia menikahkan pasangan yang tidak seiman dengan
anggotanya, bila yang bersangkutan sudah dibaptis atau berjanji
(menandatangani surat perjanjian) untuk mengikuti katekisasi dan
dibaptis. Dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKI Jawa Tengah
yang disahkan tahun 1987, rumusan yang sama dengan rumusan
dalam Tata Laksana GKI di atas diterima (Tata Laksana GKI
Jateng Bab V, Pasal 1, Ayat 26, Butir 2.a.(3)).
Perubahan ini menurut hematnya turut didorong oleh
kenyataan dalam praktik. Akibat aturan yang ketat timbullah
kesulitan-kesulitan yang tak teratasi bagi pernikahan beda agama khususnya di bagian-bagian dunia di mana orang Kristen adalah
minoritas, termasuk di Indonesia.
Dahulu upaya untuk
memberikan dispensasi dalam bentuk syarat pasangan yang tidak
seiman harus dibaptis atau meminta yang bersangkutan untuk
berjanji adalah tindakan pastoral untuk membantu pasangan-pasangan pernikahan beda agama. Tetapi kemudian tidak jarang
pasangan yang tidak seiman, walau telah dibaptis dikemudian
hari kembali ke agamanya semula bahkan memengaruhi
pasangannya untuk ikut dengannya dan kerap terjadi, pasangan
tidak seiman yang telah berjanji untuk mengikuti katekisasi dan
dibaptis setelah pernikahan terjadi tidak menepati janjinya itu.
Namun selain pertimbangan praktis, pemahaman yang
mendasari perubahan ini kiranya juga jelas. Pertama dalam
identitas GKI yang kuat dan jelas, salah satu karakteristik GKI sebagai gereja adalah inklusivitasnya. Secara sederhana
paradigma GKI adalah menghisabkan orang dan berarti sedapat
mungkin menerima serta mengakomodasikan perbedaan bukan
secara mudah mempertahankan identitas dengan menyisihkan
orang/ pihak yang berbeda.
Berikutnya dalam pemahaman GKI pernikahan bukanlah
sakramen. Selain alasan klasik bahwa Kristus tidak
menetapkannya (seperti pada Perjamuan dan Baptisan Kudus),
pernikahan tidaklah terkait dengan keselamatan oleh dan dalam
Kristus. Konsekuen dengan itu, pernikahan dipahami GKI sebagai
sebuah akta gerejawi yang berada pada ranah pastoral untuk mewujudkan persekutuan sebagai bagian dari misi/ tujuan GKI
(dalam buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia, liturgi peneguhan
dan pemberkatan pernikahan masuk ke dalam kelompok Liturgi
Pastoral).
Isu Pernikahan Beda Agama
Pertama-tama tentu adalah kaitan pernikahan beda agama
dengan masalah hukum perkawinan di Indonesia. Pendirian
gereja-gereja Protestan termasuk GKI dalam hal pengesahan
pernikahan adalah bahwa pernikahan hanya sah bila sudah
dicatatkan secara sipil. Tetapi atas desakan kelompok-kelompok
tertentu yang hendak mencegah terjadinya pernikahan beda
agama, hal pencatatan sipil pernikahan diperlakukan secara
khusus. Tepatnya, pernikahan hanya bisa dianggap sah dan dapat dicatatkan secara sipil, bila sudah dilaksanakan upacara
keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang bersangkutan.
GKI
mengakomodasikannya dengan aturan Calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau
bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan
bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat
pernikahannya, atau calon mempelai telah membuat surat
pernyataan tentang kesediaannya untuk mencatatkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil yang formulasinya dimuat
dalam Peranti Administrasi (Tata Laksana GKI Pasal 28:3).
Sehingga pencatatan sipil dapat dilaksanakan sesudah ibadah
peneguhan dan pemberkatan pernikahan. Namun biasanya dalam
kerja sama dengan petugas Kantor Catatan Sipil, pencatatan
dilakukan pada hari yang sama di gereja.
Isu berikut yang berkenaan dengan itu adalah soal agama
pasangan sesuai undang-undang perkawinan tahun 1974 jarena
undang-undang itu (setidaknya penafsiran atasnya) sebenarnya
menuntut bahwa agama kedua belah pihak harus sama, maka
untuk melaksanakan pernikahan beda agama, pasangan yang
tidak seiman mengaku bahwa ia adalah seorang Kristen di
depan petugas pencatatan sipil. Ini yang bagi beberapa jemaat
GKI masih dianggap kontroversial.
Jalan keluar yang aman adalah menikah di luar negeri
(secara hukum, dicatat secara sipil yang diterima oleh kantor catatan sipil di Indonesia) atau mengajukan ke Pengadilan Negeri
permohonan untuk menikah beda agama. Walau prosesnya
panjang dan memakan waktu berbulan-bulan, biasanya
permohonan ini dikabulkan karena menikah adalah hak setiap
warga negara yang tidak dapat dihalangi oleh apapun termasuk
perbedaan agama.
Isu berikutnya adalah tuntutan agar upacara
pernikahan hanya dilaksanakan secara kristiani. Ini pula yang
tidak jarang dipersoalkan oleh pasangan dan keluarga yang tidak
seiman. Mereka biasanya menginginkan juga agar dilaksanakan
menurut kepercayaan mereka, mengingat bahwa pernikahan itu
adalah pernikahan beda agama dimana masing-masing
mempertahankan kepercayaannya.
Ada kelompok Islam misalnya yang pasti adalah Paramadina yang bersedia menikahkan pasangan beda agama dimana tidak dituntut dari pasangan yang bukan Muslim untuk
mengikrarkan kalimat syahadat. Bahkan mereka bersedia untuk
melakukan upacara pernikahan bersama sesuai agama masing-masing dengan menghadirkan pemimpin agamanya (pendeta
misalnya). Walau dalam praktik, menurut mereka justru dengan
gereja Katolik mereka mengalami kesulitan kerja sama. Padahal
seharusnya hal itu telah dimungkinkan berdasarkan keputusan
konsili Vatikan 2.
Isu yang akan tetap relevan adalah tuntutan agar
anak-anak dibaptiskan dan dididik secara Kristiani. Hal ini juga
selalu diprotes oleh pasangan yang tidak seiman. Biasanya demi
terlaksananya pernikahan yang bersangkutan bersedia berjanji
untuk tidak menghalangi bila anak-anak mereka kelak akan
dibaptis dan dididik secara kristiani. Namun dalam praktik janji ini
tidak selalu ditepati.
Demikian penjelasan singkat mengenai Pandangan Agama Kristen terhadap Perkawinan Beda Agama yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.