Isu Pernikahan Beda Agama di Protestan
Isu pertama tentunya adalah kaitan pernikahan beda agama dengan masalah hukum perkawinan di Indonesia. Pendirian gereja-gereja Protestan termasuk GKI (Gereja Kristen Indonesia) dalam hal pengesahan pernikahan menentukan bahwa pernikahan hanya sah apabila perkawinannya sudah dicatatkan secara sipil yang dalam hal ini Kantor Catatan Sipil (KCS).
Walaupun demikian muncul desakan dari kelompok-kelompok tertentu yang hendak mencegah terjadinya pernikahan beda agama sehingga perihal pencatatan sipil pernikahan diperlakukan secara khusus. Tepatnya, pernikahan hanya bisa dianggap sah dan dapat dicatatkan secara sipil apabila sudah dilaksanakan upacara keagamaan sesuai dengan kepercayaan dari yang bersangkutan.
Adapun GKI (Gereja Kristen Indonesia) mengakomodasian aturan yang dibuat pemerintah dengan memuat aturan bahwa calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya atau calon mempelai telah membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi (Tata Laksana GKI Pasal 28: 3).
Sehingga berdasarkan peraturan tersebut pencatatan sipil dapat dilaksanakan apabila ibadah peneguhan dan pemberkatan perkawinan sudah dilaksanakan. Walaupun demikian biasanya dalam kerja sama dengan petugas Kantor Catatan Sipil, pencatatan perkawinan dilakukan pada hari yang sama pada saat perkawinan dilangsungkan di Gereja.
Isu berikut yang berkenaan dengan itu adalah soal agama pasangan sebagaimana ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Undang-Undang tentang perkawinan tahun 1974 karena berdasarkan ketentuan pada undang-undang tersebut menentukan bahwa agama kedua belah pihak harus sama, maka untuk melaksanakan pernikahan beda agama, pasangan yang tidak seiman harus mengaku bahwa ia adalah seorang yang beragama Kristen di depan petugas pencatatan sipil. Ini yang menurut beberapa orang termasuk jemaat GKI (Gereja Kristen Indonesia) dianggap sesuatu yang kontroversial karena perbuatan tersebut memiliki resiko timbulnya perbuatan melanggar hukum.
Adapun jalan keluar yang aman dan yang paling sering dilakukan oleh orang-orang Indonesia adalah dengan cara melangsungkan perkawinan di luar negeri yang secara hukum dicatat secara sipil di tempat diadakannya perkawinan yang kemudian diterima oleh kantor catatan sipil di Indonesia atau cara lain yang dapat dilakukan, yakni dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri yang dalam hal ini permohonan untuk menikah beda agama. Walau prosesnya cukup panjang dan memakan waktu yang berbulan-bulan, akan tetapi biasanya permohonan ini dikabulkan karena menikah adalah hak setiap warga negara yang tidak dapat dihalangi oleh apapun termasuk perbedaan agama.
Isu berikutnya adalah tuntutan agar upacara pernikahan hanya dilaksanakan secara kristiani. Hal ini pula yang tidak jarang dipersoalkan oleh pasangan dan keluarga besar yang tidak seiman. Mereka biasanya menginginkan juga agar dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan mereka, mengingat bahwa pernikahan itu adalah pernikahan beda agama dimana masing-masing keluarga pasangan mempertahankan agama dan kepercayaannya.
Kelompok Islam seperti Paramadina bersedia menikahkan pasangan beda agama dimana tidak dituntut dari pasangan yang bukan beragama Muslim untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. Bahkan mereka bersedia untuk melakukan upacara pernikahan bersama sesuai dengan agama masing-masing yang juga menghadirkan pemimpin agamanya (pendeta misalnya). Walau dalam praktinya, mereka justru mengalami kesulitan kerja sama dengan gereja katholik padahal seharusnya perkawinan beda agama itu telah dimungkinkan berdasarkan keputusan konsili Vatikan 2.
Isu yang akan tetap relevan adalah tuntutan agar anak-anak dibaptiskan dan dididik secara Kristiani. Hal ini juga selalu diprotes oleh pasangan yang tidak seiman. Biasanya demi terlaksananya pernikahan yang bersangkutan bersedia berjanji untuk tidak menghalangi bila anak-anak mereka kelak akan dibaptis dan dididik secara kristiani. Namun dalam praktiknya terkadang janji ini tidak selalu ditepati.
Di negeri dan masyarakat yang majemuk ini terutama dalam
hal agama, pernikahan beda agama menjadi sesuatu yang tak
terhindarkan. Pilihannya memang cuma dua yaitu menolaknya secara
hitam-putih dengan dalih kemurnian ajaran yang akan dapat
berarti mencampakkan seorang saudara yang memilih untuk
tidak memilih atau menerimanya sebagai saudara yang hendak
melakukan sesuatu yang adalah hak asasinya dan berarti
bersedia menyediakan kemudahan untuk itu.
Maka mengingat pernikahan beda agama berada dalam
ranah pastoral, persoalan di sekitarnya mesti diatasi secara
pastoral pula. Ketika seorang saudara (saudara seiman)
hendak ingin melangsungkan perkawinan dan minta agar perkawinannya diteguhkan serta
diberkati walau dengan seseorang yang tidak seiman, maka gereja sebagai alat
Tuhan dan damai sejahtera-Nya, permintaan peneguhan dan pemberkatan nikah beda agama semestinya tetap dilayani dengan
baik.
Penerimaan dan penghargaan terhadap pasangan dan
keluarga yang tidak seiman terutama dalam rangka kehidupan
bersama di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini mestinya ditingkatkan. GKI (Gereja Kristen Indonesia) menerima pernikahan beda
agama dari dua orang yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda dilaksanakan sebagaimana konsili Vatikan 2 dan kelompok Islam seperti
Paramadina yang memang tujuannya benar-benar hendak menolong
pasangan yang hendak menikah beda agama.
Sedangkan tentang tuntutan bagi anak-anak dari
pernikahan beda agama agar dibaptiskan dan dididik secara
kristiani seyogyanya hal itu diserahkan kepada yang
bersangkutan untuk menyepakatinya di antara mereka sendiri
sebagai dua orang dewasa yang pasti sudah memperhitungkan
berbagai hal di sekitar keputusan untuk tetap menikah walau beda
agama. Untuk itu semua gereja sebaiknya terus mendampingi dan
melayani secara pastoral pasangan-pasangan yang hendak dan
sudah menikah.
Akhirnya, fenomena pernikahan beda agama ini mestinya
sudah dapat terima dengan lapang dada. Oleh karenanya menurut
hemat beberapa orang diskusi tentang isu-isu besar di belakang fenomena ini mestinya dilakukan secara mendalam dengan bekerja sama
dengan saudara-saudara dari berbagai kepercayaan untuk melakukan diskusi pemahaman tentang hakikat pernikahan dari setiap kepercayaan,
isu-isu sosial di sekitar itu misalnya perbuatan poligami lalu pendampingan
bagi pasangan yang menikah beda agama yang seharusnya
menjadi perhatian bersama dari para pemuka agama-agama di Indonesia.
Demikian penjelasan singkat mengenai Isu Perkawinan Beda Agama di Agama Kristen Protestan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.