BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Hak Asasi Manusia dalam Instrumen Hukum Internasional

Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki Islam dengan konsep menurut pandangan Barat cukup berbeda. Barat memandang realitas keagamaan dalam pandangan filsafat, sosiologi, psikologi dan antropologi. Pendekatan Barat terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) terpola melalui pendekatan kepentingan manusia secara individu maupun kolektif dengan pemikiran yang mengakui hak-hak individu maupun kolektif serta kewajiban-kewajiban kolektif sementara kewajiban individu tidak diakui. Pembahasan di dalamnya belum memuat nilai-nilai immateri yang ada dalam agama-agama, singkat kata paham Barat mengarah pada sekulerisme yang mementingkan realitas atau nilai materi 

Hak Asasi Manusia (HAM) banyak dipengaruhi nilai-nilai dunia Barat yang secara tradisional menganut nilai-nilai liberal, hak-hak yang terlebih dahulu dikembangkan dan mendapatkan perlindungan internasional adalah hak sipil dan politik. Konsep ini merumuskan kebebasan-kebebasan yang dapat dimiliki individu-individu dalam menghadapi negara yang kuat. 

Nilai-nilai dari ajaran individualisme dan kebebasan inilah yang berhasil menjadikan dunia Barat sebagai negara yang paling kuat dimana tingginya hak manusia disejajarkan dengan hak Tuhan. Maka dari itu dikategorikan hak sipil dan politik ini sebagai hak negatif karena untuk mewujudkannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan atau pasif, dengan kata lain agar hak sipil dan politik dapat terlaksana, negara diharapkan tidak melakukan tindakan apapun untuk mencampuri kehidupan pribadi warga negaranya.

Konsep selanjutnya konsep sosialis yaitu mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demi terpenuhinya hak-hak tersebut menuntut peran pemerintah yang besar karena dalam hal ini individu tidak lagi dianggap sebagai mahluk terpisah tetapi sebagai mahluk sosial yang berhak menuntut sejumlah bantuan atau paling tidak pemerintah memberikan mereka kemudahan-kemudahan untuk kesejahteraan sosial mereka seperti misalnya hak atas pekerjaan, hak penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan pengajaran dan lain-lain. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) terbagi menjadi hak sipil dan politik yang bersifat individual, sedangkan mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya bersifat kolektif. 

Berbeda halnya Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam yang memandang hak saling berkaitan dengan tanggung jawab begitupun dalam Buddha, Kristen, Hindu dan agama besar lainnya. Agama tidak bisa menerima pandangan dunia yang hanya menekankan hak saja. Misalnya dalam al-quran memperbolehkan kebebasan bicara dan berekspresi tetapi guna menyebarkan kebajikan dan kebenaran, bukan hanya hak dasar tapi juga kewajiban. Hak menjadi tanggung jawab dan tanggung jawab menjadi hak. Bagi agama kebebasan sesungguhnya adalah melalui penegasan dari Allah SWT.

Perbedaan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut mendorong negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mendeklarasikan Cairo Declration of Human Right in Islam tanggal 5 Agustus 1990 yang terdiri dari 25 Pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Deklarasi Kairo merupakan deklarasi tentang kemanusiaan sebagai satu-satunya sumber acuan yang berlandaskan Al-quran dan As-Sunnah yang dalam penerapannya memiliki beberapa persamaan dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR). 

Keberadaan Deklarasi Kairo memang tidak dimaksudkan untuk merombak total rumusan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) secara keseluruhan hanya saja mengoreksi dan menambahkan aturan-aturan agar sesuai syariat, misalnya Pasal 16 (1) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tentang diperbolehkannya perkawinan antar agama dan Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tentang diperbolehkannya berpindah agama. 

Masuknya Hak Asasi Manusia ke dalam Hukum Internasional
Babak baru perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) secara internasional terjadi setelah dunia mengalami kehancuran luar biasa akibat Perang Dunia II. Terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional pada tahun 1945 tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar bagi Hak Asasi Manusia. Hal itu antara lain ditandai dengan adanya pengakuan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa akan eksistensi Hak Asasi Manusia dan tujuan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri yaitu dalam rangka untuk mendorong peghormatan terhadap Hak Asasi Manusia secara internasional.

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan mandat kepada negara anggota untuk mempromosikan dan melaksanakan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia fundamental tanpa diskriminasi hingga di tahun 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa memunculkan The Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang secara kongkret memaparkan standar-standar Hak Asasi Manusia yang harus dijaga dan dilaksanakan. Selanjutnya berbagai konvensi dibentuk demi melindungi Hak Asasi Manusia seiring dengan perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM).

Institusi untuk kebutuhan praktis dan implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) mulai dibangun seperti didirikannya peradilan ad-hoc serta Mahkamah Pidana Internasional. Kemudian masyarakat internasional mulai melegitimasi adanya aktor-aktor non negara dalam urusan Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa urusan Hak Asasi Manusia adalah urusan kemanusiaan yang tidak ada kaitannya dengan konsep kedaulatan negara. Berbagai upaya dilakukan dalam melindungi Hak Asasi Manusia yakni mencakup perlindungan atas individu hingga melindungi dan mengembangkan semua hak untuk semua orang.

Perkembangan tersebut memberikan harapan yang besar bagi Hak Asasi Manusia (HAM) karena hukum internasional secara konsisten mengatur kewajiban internasional bagi semua negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya setiap individu ataupun kelompok. Hukum internasional yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan individu maupun kelompok dari pelanggaran Hak Asasi Manusia berat memang mengalami perkembangan pesat namun pada tingkat prosedurnya tidak terlepas dengan kepentingan politik negara.

Hak Asasi Manusia dalam Instrumen Hukum Internasional
Hukum internasional merupakan hukum yang terdiri atas ketentuan-ketentuan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang bersumber baik dari perjanjian internasional maupun dari sumber-sumber lain seperti kebiasaan internasional prinsip-prinsip hukum umum, keputusan-keputusan hakim maupun ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai belahan dunia yang diakui.

Di bawah rezim hukum Hak Asasi Manusia (HAM), kekebalan orang yang berpangkat bisa luntur, kekejaman yang hanya selembar berita dan secuil kisah harus diangkat ke permukaan, harus ada keadilan dan pertanggungjawaban mencatat kembali nama korban dan mengadili si pelaku. Kesalahan bukan semata-mata faktor khilaf, lebih sering kekejaman itu sangat terencana. Prosesnya didahului oleh motif yang selalu saja digambarkan demi membela persatuan menjaga stabilitas, mencegah kerusuhan hingga menaati perintah atasan.

The Universal Declaration of Human Right (UDHR) merupakan salah satu instrumen yang memuat tentang HAM internasional namun hanya berbentuk deklarasi tidak maka memiliki daya ikat sehingga Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan dua instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) lagi yang kemudian populer, yaitu:
  1. International Convention for Economic, Social and Cultural Rights Tahun 1966; dan 
  2. Intenational Covenant for Civil and Political Tahun 1966.
Keduanya berlaku pada 23 Maret 1976. Meski dalam perspektif sejarah, begitu banyak ketentuan internasional yang menjadi dasar hukum Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai turunan dari The Universal Declaration of Human Right (UDHR) apabila diruntut satu per satu.

The Universal Declaration of Human Right (UDHR) mengatur bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan, mereka berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan dengan tidak ada pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Sebagai individu berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan dan tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Cairo Declaration of Human Right in Islam 1990 (Deklarasi Kairo) menyebutkan bahwa martabat dasar semua manusia setara serta memiliki kewajiban dan tanggung jawab dasar, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya. 

Agama yang benar adalah jaminan untuk meningkatkan martabat semacam itu sepanjang menuju integritas manusia. Semua manusia adalah makhluk Allah SWT dan yang paling dicintai oleh-Nya adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya dan tidak ada yang memiliki keunggulan dibanding yang lain kecuali atas dasar ketakwaan dan perbuatan baik.

Negara-negara peserta dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) Tahun 1969 mengutuk adanya diskriminasi ras yaitu segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat yang lain.

Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) Tahun 1976 berbunyi di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dalam kelompoknya, untuk menikmati budayanya sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri.

Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional Tahun 1998 mengakui bahwa pada abad tersebut terjadi kekejaman tak terbayangkan terhadap berjuta-juta anak, perempuan maupun laki-laki sangat mengguncang nurani kemanusiaan dan mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia. Kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerja sama internasional. 

Demikian penjelasan singkat mengenai Hak Asasi Manusia dalam Instrumen Hukum Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: