Eksistensi Hukum Pidana Islam di Level Internasional
Hukum Islam adalah syariat yang mengatur kehidupan manusia di
dunia dan akhirat sekaligus, dimana hukuman di akhirat adalah mutlak
menjadi urusan Allah SWT. Seorang muslim semestinya mengetahui
kelebihan hukum Islam, namun tidak dipungkiri tetap saja ada pihak-pihak yang tidak mau mengakui bahkan berusaha agar keindahan hukum ini dilupakan (Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, 2008: 200).
Hal tersebut dilakukan dengan menyebarkan propaganda
kesan-kesan negatif dari hukum Islam untuk menyakinkan kalangan non
Islam bahkan juga di kalangan umat Islam sendiri. Syariah sendiri terbagi menjadi dua (Mohammad Daud Ali, "Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia", Edisi 6, Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 48-49), yakni:
- Syariah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT dinamakan ibadah (mahdah) dimana aturannya tidak dapat diubah-ubah ketentuannya karena sudah diatur pasti oleh Allah SWT dan Rasul-Nya;
- Syariah yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia dinamakan muamalah (ghoiru mahdah) meskipun aturan tersebut hanya terbatas pada pokok-pokoknya sehingga bersifat terbuka karena masih membutuhkan perkembangan melalui ijtihad manusia. Termasuk di dalam lapangan muamalah antara lain bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum.
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Islam merupakan hukum syariat untuk dilaksanakan
sebagai ibadah yang akan diganti dengan balasan pahala (Baharuddin Lopa, 1996: 31). Oleh sebab itu, hukum
Islam mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh hukum positif
manapun di dunia ini, yakni penganutnya menyakini bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai balasan siksaan di akhirat meskipun mereka bisa
menghindar sanksi hukumannya di dunia. Baik dalam keadaan sendiri atau dengan orang lain mereka yakin bahwa ketaatan tersebut adalah
ibadah yang mendekatkan diri pada Allah SWT (Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, 2008: 40).
Sering kali pandangan negatif terhadap hukum Islam mengacu
pada praktik atau implementasinya di beberapa negara Islam era modern
ini. Bahkan terkadang pandangan itu diikuti aspek-aspek di luar yuridis
seperti perbandingan bahwa negara-negara barat yang tidak menerapkan
syariat Islam jauh lebih maju dalam bidang perekonomian dibanding
dengan negara-negara Islam.
Mestinya penilaian tersebut mengacu pada
penerapannya dalam masa Nabi Muhammad SAW dan beberapa masa
sesudahnya dimana hukum Islam diterapkan secara sempurna dan
berhasil mewujudkan kesejaheraan dan keadilan. Jika menilai hukum
Islam pada era saat ini jelas tidak akan memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang sistem hukum tersebut. Sebab tidak ada satupun
negara di dunia pada saat ini yang menerapkan syariat Islam secara
sempurna, maka penilaian yang obyektif terhadap hukum Islam gagal
dilakukan (Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, 2008: 201).
Salah satu negara mayoritas berpenduduk muslim yang
melaksanakan hukum Islam dalam aspek hukum pidana Islam adalah
Arab Saudi, satu-satunya negara yang relatif baik menerapkan hukum
pidana Islam dengan menerapkan hukuman hudud bagi kejahatan
terhadap harta kekayaan dan seksual, hukuman qishash wa diyat bagi
kejahatan terhadap nyawa dan hukuman ta'zirbagi untuk kejahatan yang tidak termasuk dalam hudud dan qishash wa diyat. Bahkan untuk perbuatan
mengganggu wanita lewat telepon misalnya, pelaku dapat dikenakan
hukuman. Hal demikian membuat Arab Saudi relatif aman karena
dipersempitnya ruang untuk berbuat jahat dengan sedemikian rupa (Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, 2008: 204).
Selain Arab Saudi, Negara Yaman Utara telah menerapkan
ketentuan hukum pidana Islam tentang hudud, qishash dan ta’zir.
Konstitusi negara ini (1974) mendeklarasikan komitmen kuat terhadap
syariah sebagaimana tahun 1979 diundangkannya suatu kitab undang-undang acara
pidana yang di dalamnya bersumber dari prinsip-prinsip dalam hukum
Islam, khususnya mazhab Zaydi yang berlaku di wilayah itu seperti terdapat
hukuman mati atau potong tangan yang dijatuhkan dengan syarat adanya
persetujuan kepala negara dan juga terdapat hukuman rajam atau cambukan
dalam kitab undang-undang tersebut (Topo Santoso, 2016: 238).
Pada taraf internasional kehendak menjalankan syariat dilindungi
melalui pernyataan Universal Declaration of Human Righs (UDHR) yang menjamin manusia dalam menjalankan
syariat agamanya masing-masing sebagaimana ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 29 yang menyatakan:
- Setiap orang berkewajiban berhubungan dengan masyarakat, sebab hanya di dalam masyarakat itulah yang memungkinkan ia bebas untuk mengembangkan pribadinya secara penuh;
- Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang, untuk tujuan semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan akan hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum di dalam sebuah masyarakat yang demokratis;
- Hak-hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh digunakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketentuan tersebut tentunya sejalan dengan tujuan hukum pidana
Islam. Ditinjau dari satu sisi Islam berarti berserah diri kepada Allah SWT, di
sisi lain dalam bahasa Arab berasal dari salam yang mempunyai arti
menciptakan perdamaian (Nagendra, "Etika Kekerasan dalam Tradisi Islam", Yogyakarta, Penerbit Pustaka Alief, 2003, hlm. 11).
Hal tersebut jelas sesuai dengan apa yang
telah dijanjikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni memelihara
perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan utama dari hukum pidana Islam tidak dapat dipisahkan
dari tujuan syariah Islam secara umum yakni untuk mencegah kerusakan
pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka serta
menunjukkan kepada kebenaran guna mencapai kebahagiaan yang tidak
hanya di dunia namun juga di akhirat (Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, 2008: 19-23).
Secara spesifik syariat Islam
menjamin keamanan lima hal mendasar (daruriyat) dalam kehidupan
manusia atau dikenal dengan al-maqasid al-syari'ah al-khamsah (Topo Santoso, 2000: 134-135), antara
lain memelihara:
- Agama (al-din);
- Jiwa (al-nafsi);
- Akal pikiran (al-aqli);
- Keturunan (al-nashli); dan
- Harta benda (al-mal).
Kejahatan yang dilarang
oleh syariat baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya
dinamakan jinayah (Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah,
Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2006, hlm. 1).
Demikian penjelasan singkat mengenai Eksistensi Hukum Pidana Islam di Level Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.