Aspek Psikologis Perkawinan Beda Agama
Adapun masalah atau problem yang kerap muncul pada pasangan suami istri dari perkawinan
beda agama yang dapat berimbas kepada anak-anak mereka baik dari pertumbuhannya maupun dari pendidikan spiritualnya yang antara lain sebagai berikut:
- Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga;
- Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai;
- Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar; dan
- Berebut Pengaruh.
Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga
Kehidupan rumah tangga beda agama semakin hari serasa
semakin kering. Pada awal kehidupan mereka sebagai pasangan terutama pada
waku mereka masih pacaran perbedaan agama itu dianggap sepele karena menurut pendangannya perbedaan itu bisa diatasi
oleh cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, perbedaan itu lama-kelamaan ternyata tetap saja
menganga, hal mana ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup
dan perlahan menghilang.
Pada saat seseorang semakin menapaki usia lanjut, maka kebahagiaan yang
dicari orang tersebut bukanlah materi melainkan bersifat psikologis spiritual yang
sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan
tradisi keagamaan. Ketika hal itu tidak ada, maka rasa sepi kian terasa dalam hidupnya.
Semasa masih berpacaran lalu menikah dan belum punya
anak, cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan yang ada pada pasangan terutama perbedaan mengenai agama atau keyakinan yang dianutnya.
Akan tetapi, setelah pasangan suami istri telah memiliki anak, maka berbagai masalah baru kemudian bermunculan. Hal mana bagi seorang yang beragama muslim, ketika usia seseorang semakin lanjut, maka tidak ada
yang diharapkan kecuali untaian doa dari anak-anaknya yang memiliki agama dan keyakinan yang sama dengan orang tuanya. Dalam hal ini, mereka yakin
doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang
seiman.
Tujuan Berumah Tangga Tidak Tercapai
Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit,
keyakinan dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap
individu yang beragama termasuk dalam kehidupan rumah
tangga. Hal mana merupakan suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya
bisa ikut bersama pada saat seorang suami yang beragama
Islam pergi umrah atau haji. Akan tetapi sebaliknya, merupakan
suatu kesedihan yang mendalam ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi
ke gereja pada saat suami pergi umroh atau haji karena salah satu
kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat
berjamaah bersama anak istri dan mendidik mereka menjadi lebih bertaqwa kepada Allah SWT.
Demikian juga ketika Bulan Suci Ramadhan tiba, hal mana suasana ibadah puasa
menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Akan tetapi, keinginan itu
sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama dan keyakinan. Di sisi
istrinya yang kebetulan beragama Kristen misalnya akan
merasakan hal yang sama yakni merasa indah dan bahagia apabila
melakukan ibadah kebaktikan di gereja bersanding dengan suami tercinta.
Namun hal itu hanya keinginan belaka yang sulit untuk diaplikasikan di kehidupan nyata karena adanya perbedaan agama dan keyakinan.
Sebagaimana diketahui setiap agama memiliki ibadah keagamaan yang dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah
tangga seperti contohnya dalam agama Islam pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga
muslim atau ibadah puasa di bulan suci ramadhan. Adapun semua ini akan terasa indah dan
nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga yang memiliki agama dan keyakinan yang sama.
Biasanya setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak
sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar menukar pengalaman untuk memaknai hidup kepada anak istrinya. Suasana yang
begitu indah dan religius itu sangat sulit diwujudkan ketika pasangan
hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang
hilang.
Jadi, secara psikologis perkawinan beda agama
menyimpan berbagai masalah yang kapan saja bisa menggerogoti kebahagiaan keluarga. Walaupun demikian bukan berarti perkawinan satu agama akan terbebas dari masalah, Ini hanya sebagian dari keseluruhan resiko permasalahan yang akan terjadi dalam kehidupan berumah tangga.
Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar
Karakter suami dan istri yang masing-masing berbeda merupakan suatu keniscayaan misalnya seperti perbedaan usia,
perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, hal mana semuanya merupakan hal
yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling
melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan
agama menjadi hal yang krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja
mempertemukan pasangan suami istri saja melainkan juga keluarga besar dari pasangan masing-masing.
Problem itu akan semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan
beda agama telah memiliki anak keturunan.
Berebut Pengaruh
Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga
akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Perbedaan agama bagi
kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Hal mana terdapat suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk mempengaruhi
anak-anak memilih keyakinan yang dianut oleh orang tuanya sehingga membuat anak kemudian menjadi bingung. Waluapun demikain ada juga yang
malah menjadi lebih dewasa dan kritis menyikapi perbedaan agama dan keyakinan yang dianur oleh orang tuanya.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya
mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya beragama Islam, maka dia ingin
anaknya menjadi muslim begitupun sebaliknya kalau ibunya beragama Kristen, maka dia ingin anaknya
memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai pasangan suami isteri kadang kala menjadi sumber perselisihan karena adanya perebutan pengaruh terkait keyakinan yang dianut masing-masing orang tuanya serta saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan
berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah
agama dan keyakinan. Akan tetapi harapan tersebut belum tentu terwujud dan bahkan menimbulkan resiko perselisihan demi perselisihan yang muncul pada saat setelah perkawinan.
Akhirnya setelah melangsungkan perkawinan, suami dan istri
tadi masing-masing akan merasa kesepian di tengah keluarga besarnya karena mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya.
Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan
dan perkembangan kepribadian dimana nilai-nilai agama sangat
berperan. Jikalau agama malah menjadi sumber konflik tentulah akan kurang bagus bagi pertumbuhan dan pendidikan spritual anak.
Demikian penjelasan singkat mengenai Aspek Psikologis Perkawinan Beda Agama yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.