Analisis UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000
UN Firearms Protocol merupakan sebuah instrumen internasional berupa protokol tambahan dari UNTOC 2000 yang menentang produksi dan perdagangan senjata gelap, bagian dan komponennya, serta amunisi. Setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini di dalam hukum nasionalnya harus dilakukan pemidanaan terhadap segala tindakan yang berkaitan dengan kegiatan penyelundupan senjata.
Protokol ini terdiri dari 21 (dua puluh) pasal yang memberikan pengaturan mengenai upaya untuk memerangi penyelundupan senjata lintas negara yang dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional terorganisir. Analisis dari pasal-pasal yang membahas ketentuan umum dari Protokol ini akan dijelaskan sebagaimana berikut di bawah ini:
Pasal 3 dan 4 tentang Definisi dan Ruang Lingkup
Dalam UN Firearms Protocol menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan senjata (firearms) adalah senjata berlaras yang dapat dibawa dengan mudah, yang mengeluarkan, dirancang untuk mengeluarkan atau siap dikonversikan untuk mengeluarkan sebuah tembakan, peluru atau proyektil yang berasal dari suatu bahan peledak, tidak termasuk senjata antik atau replikanya. Senjata antik dan replikanya tersebut dapat ditetapkan oleh hukum nasional. Dalam hal tidak terdapat penetapan tersebut, senjata antik dapat digolongkan sebagai senjata yang diproduksi setelah tahun 1899 (vide: Pasal 3 a).
Senjata (parts and components) serta amunisi (ammunition) yang juga termasuk dalam kategori senjata yang dilarang untuk diproduksi dan diperdagangkan secara ilegal sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 3 b dan c konvensi ini.
Adapun yang dimaksud dengan produksi ilegal serta perdagangan senjata gelap itu sendiri juga didefinisikan oleh Protokol ini. Produksi illegal (illicit manufacturing) dari senjata tersebut diartikan sebagai proses produksi atau perakitan senjata, bagian dan komponennya atau amunisi sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 3 d konvensi ini, yakni yang:
- Berasal dari bagian dan komponen yang diperdagangkan secara ilegal;
- Keberadaan dari kegiatan produksi dan perakitan tersebut tidak memiliki lisensi/ kewenangan yang diberikan oleh otoritas terkait dari negara peserta; dan
- Tanpa marking senjata pada saat senjata tersebut diproduksi.
Sementara itu, perdagangan senjata gelap atau penyelundupan senjata (illicit trafficking) diartikan sebagai kegiatan impor, ekspor, penerimaan, penjualan, pengiriman, pemindahan atau transfer senjata, bagian dan komponennya serta amunisi dari atau melewati wilayah teritorial dari suatu negara peserta ke wilayah negara peserta yang lain, jika dalam hal ini salah satu negara peserta yang bersangkutan tidak memberikan kuasa berdasarkan ketentuan Protokol atau jika senjata tersebut tidak diberi marking berdasarkan ketentuan Pasal 8 Protokol (vide: Pasal 3 e).
Protokol juga memberikan istilah penelusuran (tracing) yang berarti penelusuran atau pelacakan senjata secara sistematis dan jika memungkinkan termasuk juga penelusuran bagian dan komponen senjata tersebut serta amunisi dari produsen hingga pembeli senjata dengan tujuan untuk membantu otoritas kompeten dari negara peserta dalam hal pendeteksian, penyelidikan serta pemeriksaan kegiatan produksi dan perdagangan ilegal senjata tersebut (vide: Pasal 3 f).
Protokol ini digunakan sebagai upaya pencegahan kegiatan produksi dan perdagangan senjata secara ilegal dan untuk tindakan penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana tersebut yang mana bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisir (vide: Pasal 4 ayat 1). Dari sini jelas terlihat protokol ini hanya mengatur mengenai kegiatan penyelundupan senjata lintas negara yang dalam kegiatan tersebut terdapat keterlibatan kelompok kejahatan terorganisir.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa terdapat pembatasaan terhadap pelaksanaan UN Firearms Protocol karena Protokol ini tidak dapat digunakan untuk transaksi dari negara ke negara jika penggunaan ketentuan dari Protokol ini akan mengenyampingkan hak dari negara peserta untuk melakukan tindakan yang terkait dengan keamanan nasionalnya sesuai dengan ketentuan dalam Piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Terkait dengan hal ini, maka penting untuk membedakan antara industri persenjataan resmi milik negara dengan yang swasta termasuk juga agen (dealer) senjata swasta.
Pasal 5 tentang Pemidanaan
UN Firearms Protocol membebankan kepada setiap negara peserta kewajiban untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memidanakan tindakan yang tergolong sebagai kegiatan memproduksi serta memperdagangkan senjata, bagian dan komponennya serta amunisi secara illegal dan juga terhadap tindakan memalsukan atau menghapus, memindahkan atau mengubah marking dari suatu senjata secara ilegal.
Terhadap tindakan percobaan untuk melakukan dan ikut berpartisipasi sebagai kaki tangan serta terhadap tindakan yang termasuk dalam kategori pengorganisasian, pengarahan, pembantuan, persekongkolan, fasilitasi atau penasehatan dari pelaksanaan tindak pidana tersebut di atas, maka negara peserta juga harus melakukan pemidanaan (vide: Pasal 5).
Pasal 6 tentang Penyitaan, Penahanan dan Penempatan
Tanpa mengenyampingkan pemberian informasi kepada sesama negara peserta yang terkait dengan penyelundupan senjata lintas negara yang melibatkan kelompok kejahatan terorganisir, maka negara peserta diwajibkan untuk membuat aturan yang maksimal dalam sistem hukum nasionalnya yang diperlukan untuk memungkinkannya dilakukan penyitaan terhadap senjata, bagian dan komponennya serta amunisi yang diproduksi atau diperdagangkan secara ilegal (vide: Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 12.).
Aturan yang sejenis juga diperlukan untuk mencegah senjata ilegal tersebut jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak berwenang yaitu melalui upaya penahanan dan pemusnahan senjata tersebut, kecuali jika upaya penempatan terhadap senjata ilegal tersebut telah disahkan secara resmi, yakni dengan menyatakan bahwa senjata tersebut telah diberi marking dan metode penempatan dari senjata dan amunisi tersebut telah dimasukkan ke dalam arsip atau telah didata (vide: Pasal 6 ayat 2).
Pasal 9 tentang Tindakan Menonaktifkan Senjata
Negara peserta yang dalam hukum nasionalnya tidak mengakui senjata api yang dinonaktifkan sebagai senjata api harus mengambil langkah-langkah penting untuk mencegah dilakukannya tindakan pengaktifan kembali secara ilegal senjata yang telah dinonaktifkan sesuai dengan prinsip-prinsip umum dari tindakan penonaktifan sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 9 konvensi ini, yaitu:
- Bagian-bagian penting dari senjata yang dinonaktifkan menjadi tidak bisa dioperasikan secara permanen dan tidak bisa dipindahkan, diganti atau dimodifikasi sedemikian rupa yang mengakibatkan senjata tersebut dapat diaktifkan kembali;
- Persetujuan yang dibuat dalam rangka tindakan penonaktifan harus diperiksa oleh suatu otoritas kompeten yang menjamin bahwa modifikasi terhadap suatu senjata menjadikan senjata tersebut tidak bisa dioperasikan secara permanen;
- Verifikasi yang dilakukan oleh otoritas kompeten tersebut mencakup sebuah sertifikat atau catatan yang menjadi bukti penonaktifan senjata atau sebuah tanda yang terlihat jelas pada senjata tersebut.
Pasal 10 tentang Syarat Umum dalam Sistem Otorisasi dan Lisensi Ekspor dan Impor
Protokol menyatakan bahwa setiap negara peserta berkewajiban untuk membentuk suatu sistem yang efektif dalam hal otorisasi dan lisensi impor dan ekspor senjata serta dalam hal transit internasional. Sebelum pemberian lisensi atau otorisasi ekspor untuk pengiriman senjata, bagian dan komponennya, serta amunisi, maka negara peserta harus memeriksa bahwa negara pengimpor telah mengeluarkan lisensi atau otorisasi impor dan dalam hal negara transit, maka negara tersebut setidaknya harus memberikan pemberitahuan tertulis sebelum pengiriman berlangsung bahwa negara tersebut tidak berkeberatan atas transit tersebut, tentu saja tanpa mengenyampingkan perjanjian bilateral atau multilateral atau persetujuan tentang landlocked States (vide: Pasal 10).
Mengenai otorisasi dan lisensi ekspor dan impor ini bersamaan dengan dokumen-dokumen yang menyertainya setidaknya harus berisi informasi yang mencakup tempat dan tanggal pengeluaran, tanggal batas akhir/ daluwarsa, negara pengekspor, negara pengimpor, penerima akhir, gambaran dan jumlah senjata yang bersangkutan serta negara transit dalam hal dilakukan transit.
Selain itu untuk mencegah terjadinya tindakan ilegal dalam ekspor dan impor senjata ini, negara peserta baik yang bertindak sebagai negara pengimpor atau negara pengekspor harus melaksanakan upaya-upaya pencegahan seperti saling memberikan informasi mengenai kegiatan ekspor dan impor tersebut serta menetapkan prosedur sederhana berkaitan dengan ekspor dan impor senjata untuk tujuan yang sah secara hukum seperti untuk keperluan berburu, olahraga menembak dan pameran.
Pasal 11 tentang Langkah Pencegahan dan Pengamanan
Penyelundupan senjata selain berbentuk produksi dan perdagangan senjata secara illegal juga dapat dilakukan melalui pencurian, perampasan dan pengambil alihan senjata. Berkaitan dengan hal tersebut, maka untuk mendeteksi, mencegah serta mengatasinya, maka setiap negara perserta harus melakukan upaya-upaya pengamanan senjata, bagian dan komponennya serta amunisi pada saat senjata tersebut diproduksi, diimpor, diekspor dan ketika transit melalui wilayahnya.
Selain itu, negara peserta juga harus meningkatkan keefektifan pengawasan terhadap impor, ekspor serta transit senjata yang mencakup kontrol perbatasan dan kerja sama polisi dan instansi beacukai. Dari sini dapat terlihat bahwa yang dimaksud otoritas kompeten untuk melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan pengamanan terkait dengan penyelundupan senjata adalah polisi dan bea cukai.
Pengertian otoritas kompeten ini tidak diperluas hingga meliputi Non Governmental Organization (NGO) terkait. Untuk itu, jika suatu Non Governmental Organization (NGO) ingin memanfaatkan ketentuan dalam Protokol ini, maka mereka harus bertindak atas nama otoritas kompeten dalam negara yang bersangkutan dengan persetujuan sebelumnya ataupun melaksanakan kegiatannya secara berdampingan dengan otoritas kompeten tersebut (UNIDIR: 136).
Dari pemaparan mengenai analisis UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000 Terkait Pengaturan Masalah Penyeludupan Senjata Ilegal Sebagai Kejahatan Transnasional Terorganisir, penulis berpendapat bahwa mengenai aturan yang termuat dalam UN Firearms Protocol sudah sangat jelas mengatur mengenai penyeludupan senjata ilegal mulai dari ruang lingkup, pemidanaan serta pencegahan sudah diatur didalamnya. Hanya saja masih banyak negara yang belum menerapkan ketentuan UNTOC tersebut termasuk Indonesia.
Indonesia sendiri pada dasarnya memiliki beberapa undang-undang yang mengatur kepemilikan, perizinan dan pelarangan kepemilikan senjata api secara terpisah, misalnya:
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1948;
- Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951;
- Undang-Undang No. 20 Tahun 1960; dan
- Undang-UndangNo. 2 Tahun 2002.
Masing-masing angkatan bersenjata seperti TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Kepolisian Republik Indonesia telah memiliki standar baku dalam stockpile management. Namun demikian, belum terdapat undang-undang yang mengatur secara komprehensif mengenai aspek-aspek registrasi, marketing and tracing, transfer maupun brokering dalam pengadaannya.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu undang-undang mengenai Small Arms and Light Weapons (SALW) yang lebih komprehensif yang mengatur semua aspek terkait Small Arms and Light Weapons seperti penyimpanan, registrasi, marketing and tracing, brokering dan transfer. Secara nasional, Indonesia pada tahun 2018 telah menggulirkan opsi pembahasan untuk mengikatkan diri dalam UNTOC Firearms Protocol untuk memperkuat implementasi dalam negeri. Akan tetapi, sampai sekarang belum juga terealisasikan (Kementerian Luar Negeri, "Isu Senjata Konvensional", 2019).
Demikian penjelasan singkat mengenai Analisis UN Firearms Protocol Sebagai Protokol Pelengkap UNTOC 2000 yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih ke depannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.