Penegakan Hukum Progresif dan Responsif
Teori Hukum Progresif pertama - tama diperkenalkan di Indonesia oleh Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip Bernard L. Tanya, (2006). Teori ini lahir tidak lepas dari gagasan Satjipto Rahardjo yang galau dengan keadaan cara penyelengaraan hukum di Indonesia, dimana hampir sama sekali tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi masa transisi Orde Baru dan yang lebih memprihatinkan lagi hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka (business as usual), tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan (business like).
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi : Hukum yang pro keadilan dan Hukum yang pro rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu untuk kepentingan - kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya argument - argumen logis formal dicari sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Berbeda dengan legalisme yang berpusat pada aturan, hukum progresif menawarkan jalan lain. Paradigma dibalik. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggaraan hukum. Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law) karena pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak aspiratif misalnya aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi secara baru terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada pencari keadilan.
Sudah tentu, untuk mewujudkan pembaruan mendasar seperti ditawarkan hukum progresif itu, butuh sokongan kerangka keyakinan baru berupa sebuah model rujukan yang dapat memandu perubahan yang hendak dilakukan. Keperluan akan model (exemplar) seperti itu didasarkan pada 3 (tiga) pertimbangan, yaitu :
- Pertama, karena hukum progresif berusaha menolak keberadaan status quo mana kala keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, status korup dan semangat merugikan kepentingan rakyat;
- Kedua, dalam hukum progresif melekat semangat perlawanan dan pemberontakan untuk mengakhiri kelumpuhan hukum melalui aksi kreatif dan inovatif para pelaku hukum;
- Ketiga, kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/ atau model akan dapat menyatukan kekuatan-kekuatan hukum progresif pada satu platform aksi karena exemplar selalu menyediakan tiga perangkat lunak yang dibutuhkan sebuah gerakan (movement) :
- Landasan ideologis atau filosofis yang mendasari gerakan yang diperjuangkan;
- Masalah yang dianggap relevan dan penting untuk diperjuangkan dan dikerjakan; serta
- Metode dan prosedur yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan masalah dimaksud.
Kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh sikap submissive terhadap kelengkapan hukum yang ada seperti prosedur, doktrin, dan asas. Sebagai akibatnya, hukum justru menjadi safe bagi koruptor. Dampak lainya, banyak kalangan yang merasa belum mendapatkan keadilan dari hukum. Karena itu, mereka mengajukan alternatif hukum progresif atau hukum responsif (Nonet, Philippe and Philip Selznick, 1978) untuk menjawab rasa keadilan tersebut.
Demikian penjelasan singkat mengenai Penegakan Hukum Progresif dan Responsif yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Daftar Pustaka :
- Bernard L. Tanya, dkk., 2006. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, Hal. 37;
- Stjipto Raharjo, Hukum Progresif (Pejelajahan Suatu Gagasan), Makalah disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4 September 2004;
- Safri Abdullah, 2008. Mahkamah (Dari Keadilan Normatif Menuju Keadilan Substantif), Pustaka Refleksi, Makassar. Hal. 82;
- Rahardjo, Satjipto., 1979. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman - Pengalaman Di Indonesia, Alumni, Bandung. Hal 21;
- Artidjo Alkostar, 2007. Hakim Agung Progresif (https://www.mahkamahagung.com);
- Nonet, Philippe & Philip Selznick, 1978. Law and Society in Transition : Towards Responsive Law, Harper and Row Publisher, London. Hal. 56;
- Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Hal. 23;
- Lili Rasyidi dan I. B Wiyasa Putera, 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. Hal. 34.