Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara hanya memiliki kompetensi untuk
menguji keabsahan perbuatan tata usaha negara yang dilakukan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang diwujudkan oleh suatu keputusan tata
usaha negara (beschikking).
Dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara. Adapun kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara dapat dibedakan atas 2 (dua), yaitu sebagai berikut:
- Kompetensi Relatif; dan
- Kompetensi Absolut.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya (S. F. Marbun, "Peradilan Tata Usaha Negara", Yogyakarta: Liberty, 2003, hlm. 59). Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas
daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan
dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu
pihak sedang bersengketa (Penggugat atau Tergugat) berkediaman di salah satu
daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan tersebut. Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya dimuat dan diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang menyatakan bahwa:
- Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/ atau Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/ atau Kota;
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau
tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan
Tergugat diatur tersendiri dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat.
- Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
- Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan;
- Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
- Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta;
- Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
Dengan ketentuan tersebut maka pada prinsipnya gugatan diajukan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat sedangkan yang bersifat eksepsional di Pengadilan Tata Usaha Negara
tempat kedudukan Penggugat diatur kemudian setelah ada Peraturan
Pemerintah, akan tetapi sampai sekarang ini Peraturan Pemerintah yang
dimaksud belum ada sehingga belum dapat diterapkan
Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa (S. F. Marbun, "Peradilan Tata Usaha Negara", Yogyakarta: Liberty, 2003, hlm. 59). Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan
yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa.
Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
yang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan perbuatan Badan atau Pejabat
TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan
peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung (MA).
Kompetensi Absolut Pengadilan Tata
Usaha Negara dimuat dan diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan
bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Adapun yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara
menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui persyaratan Keputusan Tata Usaha
Negara yang dapat menjadi obyek di Pengadilan Tata Usaha Negara, yakni meliputi:
- Penetapan tertulis;
- Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
- Berisi tindakan hukum tata usaha negara;
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Bersifat konkrit, individual dan final; dan
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keenam persyaratan tersebut bersifat kumulatif yang artinya untuk
dapat dijadikan objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara,
Keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi keenam persyaratan
tersebut. Selain itu kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara termasuk
pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu dalam
hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan
yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya.
Demikian penjelasan singkat mengenai Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.