BzQbqi7srrl67Hfvhy9V9FxE68wSdBLJV1Yd4xhl

Pengikut

Arah dan Tuntutan Pembangunan Hukum Nasional

Arah dan Tuntutan Pembangunan Hukum Nasional
Pembangunan hukum nasional secara implisit mencerminkan bahwa sampai saat ini di Indonesia masih terjadi proses perubahan sosial menuju ke arah modernisasi yang dikemas dalam proses legislasi yang teratur dan berkesinambungan dengan memasukkan aspek sosiokultural yang mendukung arah perubahan tersebut. 

Filosofi yang dianut dalam pembangunan hukum nasional selama kurang lebih 30 (tiga puluh) tahun yaitu konsep hukum pembangunan yang menempatkan peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, belum mengalami perubahan dan bahkan belum pernah diuji kembali keberhasilannya. Hal ini merupakan salah satu tugas utama yang mendesak (sense of urgency) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah (Departemen Kehakiman), terlebih dengan cepatnya perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan yang telah terjadi sejak masa reformasi.

Telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralistik ke dalam sistem otonomi. Perubahan paradigma tersebut sudah tentu berdampak terhadap sistem hukum yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepada produk-produk hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa dari pada kepentingan rakyat dan produk hukum yang lebih mengedepankan dominasi kepentingan pemerintah pusat dari pada kepentingan pemerintah daerah.

Di samping perubahan paradigma tersebut juga selayaknya kita (cendekiawan hukum dan praktisi hukum) ikut mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di dalam percaturan politik dan kehidupan ketatanegaraan di Indonesia karena terhadap masalah ini kita sering alergi dan mengabaikannya, sedangkan kehidupan perubahan sistem politik dan sistem ketatanegaraan berdampak mendasar terhadap perkembangan sistem hukum. Fenomena yang dimaksud, yaitu:
  1. Kecenderungan sistem otonomi menjadi lebih diperluas sehingga dapat menjadi federalisme;
  2. Kecenderungan sistem multipartai yang berdampak terhadap sistem kabinet presidensial yang selama ini dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kecenderungan ini sudah terjadi dalam kabinet Gotong Royong di bawah Presiden Megawati yaitu dengan sistem koalisi;
  3. Kecenderungan pemisahan (bukan pembedaan) secara tegas (separation bukan differentiation) antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Fenomena ketiga ini sangat berpengaruh terhadap Law Making Process (LMP) dan Law Enforcement Process (LEP);
  4. Masuknya pengaruh-pengaruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke dalam pengambilan keputusan pemerintah dan proses legislasi; 
  5. Adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) yang memerintahkan kepada Presiden untuk melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan menciptakan pemerintah yang bersih dan berwibawa semakin menambah beban pemerintah yang tidak kecil di masa kini dan masa mendatang.
Kelima fenomena yang telah diuraikan di atas merupakan bahan kajian untuk mengantisipasi kemungkinan wujud sistem hukum dan sistem penegakan hukum di masa yang akan datang. Hal ini dipandang sangat penting karena kita sering mengalami inertia dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat baik di bidang politik, sosial maupun ekonomi. 

Adanya perubahan sistem hukum yang mendasar merupakan konsekuensi logis dari perubahan kedua sistem terdahulu. Walau demikian, tidaklah berarti bahwa perubahan sistem hukum tersebut merupakan perubahan yang serta merta, akan tetapi harus ada persiapan yaitu penataan yang bersifat komprehensif dan tidak parsial terhadap sistem hukum yang kini dianut, seperti halnya proses legislasi yang telah dilaksanakan pemerintah sejak era reformasi tahun 1980-an.

Pembangunan hukum nasional masa reformasi saat ini merupakan masa transisi dari sistem pemerintahan sebelumnya kepada sistem demokrasi yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta membuka akses publik kepada kinerja pemerintahan. Konsepsi hukum pembangunan yang menitikberatkan kepada hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat pada masa tahun 1970-an tanpa penjelasan lebih jauh mengenai bentuk atau wujud masyarakat bagaimana yang dikehendaki ke depan, maka konsepsi hukum demikian akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif dan yudikatif. Hal ini sudah terjadi dengan munculnya peristiwa perampasan hak-hak rakyat baik di bidang politik, ekonomi dan sosial di masa lampau dengan alasan untuk pembangunan nasional melalui berbagai peraturan perundang-undangan atau keputusan pemerintah.

Keadaan ini menjadi lebih kompleks karena reformasi yang dibangun sejak tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang cukup untuk mengendapkan dan mendalami esensi reformasi tersebut baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak pihak termasuk kaum cendekiawan saat itu sudah tidak sabar menunggu dan ingin cepat agar pemerintah melaksanakan reformasi dalam keempat bidang tersebut tanpa memberikan kesempatan bernapas, apalagi untuk mengendapkan dan mendalami secara hati-hati seluruh tuntutan reformasi tersebut. 

Sementara kita ketahui, reformasi yang dituangkan ke dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) itu pun belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah. Bahkan ada keraguan di antara para pemikir dan kaum birokrasi tentang validitas bahan-bahan acuan dan data yang telah digunakan dalam penyusunan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) tersebut yang secara fundamental telah mengubah arah dan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya. Apalagi, jika dilihat dari segi waktu yang sangat singkat dengan jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) kurang lebih sebanyak 500 (lima ratus) orang yang berasal dari berbagai partai dan golongan disertai kepentingan yang bervariasi.

Dalam konteks kondisi seperti itu, tidaklah dapat dihindari terjadinya anomali mengenai cita reformasi khususnya di bidang hukum, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam hubungan internasional tuntutan reformasi hukum sesuai dengan komitmen internasional tidak kunjung selesai atau terpenuhi. Keadaan ini sering dirasakan ketika pemerintah harus berpacu dengan waktu, bahkan dalam hitungan hari. 

Dalam keadaan yang terdesak tanpa ada pilihan untuk kembali (point of no return) di tengah reformasi di bidang hukum, sekelompok masyarakat yang menamakan kelompok pro reformasi atau pro demokrasi belum memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang esensi dari reformasi itu sendiri, bahkan cenderung memahami reformasi itu sebagai demokrasi an sich tanpa mempertimbangkan kultur dan karakteristik budaya bangsa ini. Lebih jauh pemahaman tentang penegakan tatanan kehidupan yang demokratis seakan dipahami sebagai menghalalkan pemaksaan kehendak sekalipun dengan cara kekerasan untuk mencapai suatu tujuan di balik alasan klasik untuk kepentingan rakyat.

Dalam konteks kondisi demikian, masalah hukum dalam pembangunan nasional dewasa ini berbeda secara mendasar dengan kondisi pada saat pertama pembangunan hukum nasional dideklarasikan. Ada 4 (empat) masalah mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan, yaitu:
  1. Masalah reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam sistem hukum nasional, di satu sisi dan di sisi lain juga terhadap hukum yang bersifat netral yang berasal atau bersumber dari perjanjian internasional;
  2. Masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif sehingga melahirkan berbagai ekses antara lain egoisme sektoral dan menurunnya kerja sama antar aparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh miskinnya visi dan misi aparatur hukum, antara lain tentang pengertian due process of law, impartial trial, transparency, accountability, dan the right to counsel;
  3. Masalah pemberdayaan masyarakat baik dalam bentuk meningkatkan akses masyarakat ke dalam kinerja pemerintahan maupun peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dimasukkan sebagai budaya hukum dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain karena peningkatan akses masyarakat tanpa disertai peningkatan kesadaran hukum akan menimbulkan ekses pemaksaan kehendak, bahkan memunculkan karakter anarkisme;
  4. Masalah pemberdayaan birokrasi atau yang biasa disebut Beureucratic Engineering (BE) dalam konteks peranan hukum dalam pembangunan. Pemberdayaan dilingkungan birokrasi ini sangat penting antara lain di dalam menjalankan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) Nomor: XI/MPR RI/1999 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta bagaimana melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Seharusnya dipahami bentuk esensinya sebab kedua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI)  tersebut memuat perubahan sikap (attitude) penyelenggara negara untuk tidak melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Masalah keempat ini dalam konteks perkembangan politik dan penegakan hukum di Indonesia sangat strategis dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional pada umumnya karena dengan cara demikian ia dapat mengisi kelemahan konsep hukum pembangunan yang hanya menitikberatkan kepada hukum sebagai sarana perubahan sosial dan tidak mempertimbangkan pendekatan Beureucratic Engineering (BE). Dengan pendekatan Beureucratic Engineering (BE), konsep panutan atau kepemimpinan (leadership) dapat diwujudkan secara bersamaan dan sekaligus dengan konsep perubahan dan pemberdayaan masyarakat (social engineering) melalui hukum sebagai sarana pembaharuan.

Dengan demikian, hukum sebagai sarana pembaharuan sekaligus diharapkan dapat menciptakan harmonisasi antara dua pasangan yaitu birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut bureaucratic and social engineering. Birokrasi memberikan dan melaksanakan keteladanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan masyarakat mengikuti dan patuh kepada birokrasi. Sepanjang perjalanan lebih dari 30 (tiga puluh) tahun sejak Orde Baru sampai sekarang, masalah yang sangat krusial dan menghambat penegakan supremasi hukum adalah sulitnya diperoleh keteladanan atau dalam arti luas: kepemimpinan. Hal ini pula yang menghambat kepatuhan masyarakat dalam memelihara dan mengemban tugas sebagai satu bangsa (one nation) yang menjunjung tinggi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

Demikian penjelasan singkat mengenai Arah dan Tuntutan Pembangunan Hukum Nasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk menjadikan Kami lebih baik kedepannya. Terima kasih.

Daftar Pustaka:
  1. Gaffar, Firoz, ed. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: CYBERconsult, 1999. Hal. 85.
  2. Paul S. Baut dan Luhut M. P. Pangaribuan, 1989. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Cet. I: Yayasan LBH Indonesia, Jakarta. Hal. 38.
  3. E. Fernando M. Manullang, 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai), Cet. I: Kompas, Jakarta. Hal. 38.
  4. Teuku Mohammad Radhie, Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, Hal 3.
  5. Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006), Hal. 91.
  6. Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: PT. Alumni, 2004), Hal. 113-114.
  7. Notohamidjojo, Makna Negara hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), Hal. 27.
Baca Juga:
Erisamdy Prayatna
Blogger | Advocate | Legal Consultant
Father of Muh Al Ghifari Ariqin Pradi

Baca Juga: