Bentuk, Sistem dan Tujuan Perkawinan Adat
Bentuk Perkawinan Adat
Perlu diketahui bahwa di Indonesia dapat di jumpai 3 (tiga) bentuk perkawinan adat yang tersebar di seluruh wilayah, yakni antara
lain:
- Bentuk Perkawinan Jujur atau Bridge-gif Marriage;
- Bentuk Perkawinan Semendo atau Suitor Service Marriage; dan
- Bentuk Perkawinan Bebas atau Exchange Marriage.
Bentuk Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau Bridge-gif Marriage merupakan bentuk perkawinan di mana pihak
laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang
dapat dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki sesuatu yang bersifat magis. Pemberian jujur diwajibkan karena untuk mengembalikan
keseimbangan magis yang semula menjadi goyah oleh karena
terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi
karena telah menikah. Perkawinan jujur sering dijumpai pada
masyarakat Patrineal. Adapun ciri-ciri perkawinan jujur adalah patrilokal,
artinya istri bertempat tinggal di rumah kediaman suami atau di rumah keluarga
suami. Di samping itu perkawinan jenis ini bersifat exogami, yaitu
larangan untuk menikah dengan warga yang se-klan atau se-marga.
Bentuk Perkawinan Semendo
Perkawinan semendo atau Suitor Service Marriage pada hakikatnya bersifat matrilokal
dan exogami. Matrilokal berarti bahwa istri tidak berkewajiban
untuk bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini
biasa dijumpai dalam keadaan darurat di mana perempuan sulit mendapatkan jodoh atau karena laki-laki tidak mampu untuk
memberikan jujur.
Bentuk Perkawinan Bebas
Dalam bentuk kawin bebas atau Exchange Marriage tidak menentukan secara tegas
dimana suami atau isteri akan tinggal, hal ini tergantung pada
keinginan masing-masing pihak. Bentuk kawin bebas ini bersifat
endogami, artinya suatu anjuran untuk kawin dengan warga
kelompok kerabat sendiri.
Sistem Perkawinan Adat
Adapun sistem perkawinan adat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
- Perkawinan Endogami;
- Perkawinan Eksogami; dan
- Perkawinan Eleutherogami.
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini
jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada 1 (satu) daerah saja secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu
daerah Toraja. Walaupun demikian saat ini di daerah ini pun sistem tersebut mulai lenyap
dengan sendirinya karena adanya perubahan konsep pemikiran kalau hubungan darah dengan daerah lainnya menjadi lebih mudah, erat dan meluas karena sistem tersebut
di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja, lagi pula endogami
sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada
di daerah Toraja, yaitu Parental.
Perkawinan Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku
lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan dalam sukunya. Namun
demikian, seiring berjalannya waktu dan berputarnya zaman sistem ini lambat laun mengalami proses perlunakan dengan sedemikian rupa,
sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Adapun sistem ini dapat dijumpai di wilayah:
- Daerah Gayo;
- Daerah Alas;
- Daerah Tapanuli;
- Daerah Minangkabau;
- Daerah Sumatera Selatan;
- Daerah Buru; dan
- Daerah Seram.
Perkawinan Sistem Eleutherogami
Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Sistem Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan dan keharusan-keharusan tersebut. Adapun larangan-larangan yang terdapat dalam sistem
ini adalah larangan
yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut
nasab (keturunan) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung,
cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu aau
larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan) seperti kawin
dengan ibu tiri, mertua, anak tiri. Dalam sistem ini dapat dijumpai
hampir di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Tujuan Perkawinan Adat
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat
kekerabatan adalah sebagai berikut:
- Bertujuan untuk mempertahankan dan/ atau meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan;
- Bertujuan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga atau kerabat;
- Bertujuan untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian; dan
- Bertujuan untuk mempertahankan kewarasan.
Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku
bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan
perkawinan adat bagi masyarakat juga berbeda antara suku bangsa
yang satu dan daerah yang lain, begitu pun juga dengan akibat hukum dan
upacara perkawinannya.
Dalam masyarakat patrineal, perkawinan bertujuan untuk
mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki
(tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan
pembayaran uang jujur). Hal mana setelah terjadi perkawinan maka istrinya akan ikut
(masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya
dalam susunan kekerabatan bapaknya.
Sebaliknya dalam masyarakat
matrineal, perkawinan memiliki tujuan untuk mempertahankan garis
keturunan ibu, sehingga anak perempuan (tertua) harus melaksanakan
bentuk perkawinan ambil suami (semendo). Hal mana setelah terjadinya perkawinan, maka suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan
orang tuanya.
Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk, Sistem dan Tujuan Perkawinan Adat yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya. Terima kasih.
Pengunjung juga membaca: