Penyebab Orang Mentaati Hukum
Kaidah hukum adalah pertimbangan nilai, yakni pertimbangan tentang
sesuatu yang seharusnya kita lakukan dan tidak kita lakukan dalam pergaulan
sesama manusia yang menghendaki diikuti sebagai otoritet dan dengan demikian
mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Sebagian pandangan yang banyak
dianut berpendapat bahwa ciri kaidah hukum ialah ia dipertahankan oleh paksaan
pemerintahan atau setidak - tidaknya oleh paksaan yang di organisir (Apeldoorn,
1962: 347).
Peraturan-peraturan hukum mewajibkan secara etis, tetapi itu tidak berarti
bahwa semua peraturan hukum mewajibkan secara demikian, sejauh ada
hubungan dengan martabat manusia, apabila tidak ada hubungan maka kewajiban etis tidak ada.
Demikian dapat terjadi bahwa peraturan-peraturan mewajibkan secara yuridis
tanpa mewajibkan secara etis, yaitu kalau suatu peraturan ditentukan oleh
pemerintah yang sah, yang tidak melawan keadilan, akan tetapi juga tidak ada
hubungan dengan martabat manusia. Soal lain ialah kapan kewajiban etis menjadi kewajiban yuridis. Menurut pandangan sekarang ini hukum alam tidak
mewajibkan secara hukum, sebelum ditentukan secara positif.
Demikian seluruh hukum internasional berlaku secara yuridis sesudah
diterima oleh negara-negara yang bersangkutan. Misalnya dulu para penguasa
dianggap kebal terhadap kewajiban yuridis untuk mentaati hukum yang berlaku.
Sekarang ini diterima bahwa hukum berlaku bagi semua manusia. Apabila seorang
dikecualikan karena kedudukan yang tertentu, maka hal ini perlu diungkapkan dalam
hukum positif supaya berlaku.
Filsafat hukum mencoba untuk mencari dasar kekuatan mengikat dari pada
hukum, yaitu apakah ditaatinya hukum itu disebabkan oleh karena hukum itu
dibentuk oleh pejabat yang berwewenang atau memang masyarakat mengakuinya
karena dinilai hukum tersebut sebagai suatu hukum yang hidup dalam masyarakat
itu (Apedoorn L. J. ,1971: 443). Dalam hubungan dengan pertanyaan tersebut, terdapat beberapa teori
penting yang patut diketengahkan:
- Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi)
- Teori yang bersifat langsung; dan
- Teori yang bersifat tidak langsung.
- Teori Perjanjian Masyarakat
- Hugo de Groot (Grotius) (1583-1645);
- Thomas Hobbes (1588-1679);
- John Locke (1631-1705); dan
- J. J. Rousseau (1712-1778).
- Teori Kedaulatan Negara;
- Teori Kedaulatan Hukum.
Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini langsung berpegang kepada pendapat bahwa:
"... segala hukum adalah hukum Ketuhanan"
Tuhan sendirilah yang menetapkan hukum dan
pemerintah-pemerintah dunia adalah pesuruh-pesuruh kehendak Ketuhanan.
Hukum dianggap sebagai kehendak atau kemauan Tuhan. Manusia sebagai
salah satu ciptaanNya wajib taat pada hukum Ketuhanan ini.
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat langsung ini hendak membenarkan
perlunya hukum yang dibuat oleh raja-raja yang menjelmakan dirinya sebagai
Tuhan di dunia harus ditaati oleh setiap penduduknya. Sebagai contoh raja-raja
Firaun di Mesir dahulu.
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat tidak langsung
Teori kedaulatan Tuhan yang bersifat tidak langsung, menganggap raja-raja bukan sebagai Tuhan akan
tetapi wakil Tuhan di dunia. Dalam kaitan ini dengan sendirinya yang dibuatnya
wajib pula ditaati oleh segenap warganya. Pandangan ini walau berkembang
hingga zaman Renaissance, namun hingga saat ini masih juga ada yang
mendasarkan otoritas hukum pada faktor Ketuhanan itu.
Teori Perjanjian Masyarakat
Pendasar-pendasar dari teori perjanjian masyarakat ialah Hugo de Groot
atau Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan juga
Immanuel Kant.
Pada pokoknya teori ini berpendapat bahwa orang taat dan tunduk pada
hukum oleh karena berjanji untuk mentaatinya. Hukum dianggap sebagai
kehendak bersama, suatu hasil konsensus (perjanjian) dari segenap anggota
masyarakat.
Tentang perjanjian ini, terdapat perbedaan pendapat antara Thomas Hobbes,
John Locke dan J. J. Rousseau.
Thonas Hobbes (1588-1679)
Dalam bukunya De Cive (1642) dan Leviathan (1651), Thonas
Hobbes membentangkan pendapatnya yang intinya sebagai berikut: Pada mulanya
manusia itu hidup dalam suasana belum omnium contra omnes (the war of all
against all), selalu dalam keadaan berperang. Agar tercipta suasana damai dan
tenteram, lalu diadakan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu
disusul dengan perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum
subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan
yang dimiliki oleh pemimpin ini adalah mutlak. Timbullah kekuasaan yang
bersifat absolut.
John Locke (1631-1705)
Konstruksi John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil
Government (1690), agak berbeda karena pada waktu perjanjian itu disertakan
pula syarat-syarat yang antara lain kekuasaan yang diberikan dibatasi dan dilarang melanggar hak-hak asasi manusia. Teorinya menghasilkan kekuasaan yang
dibatasi oleh konstitusi.
J. J. Rousseau (1712-1778)
J. J. Rousseau dalam bukunya Le Contract Social ou Principes de Droit
Politique (1672), berpendapat bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh anggota
masyarakat tetap berada pada individu-individu dan tidak diserahkan pada
seseorang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu. Konstruksi
yang dihasilkannya seperti ini hanya sesuai bagi suatu negara dengan wilayah
sempit dan penduduk sedikit. Pemikirannya tidak dapat diterapkan untuk suatu
negara modern dengan wilayah negara yang luas dan banyak penduduk.
Teori Kedaulatan Negara
Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum itu karena
negara menghendakinya.
Hans Kelsen dalam bukunya Hauptprobleme der Staaslehre (1881), Das
Problem der Souveranitatund die Theorie des Volkerechts (1920), Allgemeine
Staatslehre (1925) dan Reine Rechtslehre (1934) menganggap bahwa hukum
merupakan Wille des Staates atau orang tunduk pada hukum karena merasa wajib
mentaatinya karena hukum itu adalah kehendak negara.
Teori Kedaulatan Hukum
Hukum mengikat bukan hanya karena negara menghendakinya, akan tetapi
karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum
karena nilai bathinnya yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat ini
diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya Die Lehre der
Rechtssouveranitat (1906). Selanjutnya beliau berpendapat bahwa bahwa
kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap
individu yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
Terdapat banyak kritik terhadap pendapat di atas. Pertanyaan-pertanyaan
berkisar pada apa yang dimaksud dengan kesadaran hukum itu? Apa yang
diartikan sebagai perasaan hukum itu? Prof. Krabbe mencoba menjawab dengan mengetengahkan perumusan baru
yaitu hukum itu berasal dari perasaan hukum bagian terbesar dari anggota masyarakat jadi bukan perasaan hukum setiap individu. Salah satu murid dari Prof. Krabbe yang
terkenal yakni Prof. Mr. R. Kranenburg dalam bukunya Positief Recht an
Rechtsbewustzijn (1928) berusaha membelanya dengan teorinya yang terkenal Asas keseimbangan (evenredigheidspostulat).
Demikian penjelasan singkat mengenai Penyebab Orang Mentaati Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.