Aliran Sejarah pada Filsafat Hukum
Empirisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar
hanyalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman (experience). John
Locke (1632-1704) adalah orang yang pertama kali merumuskan secara
sistematis tentang Empirisme. Empirisme melahirkan dua pandangan yang saling
bertolak belakang. Empirisme, di satu pihak telah melahirkan filsafat
Positivisme, yaitu pengalaman dengan menggunakan metode ilmiah (scientific
method) yang kemudian melahirkan juga Positivisme Hukum yang berpandangan
bahwa hukum tidak lain dari pada hukum yang dibuat oleh manusia yang dengan
ini menolak pandangan metafisika dari teori hukum alam. Di lain pihak,
empirisme melahirkan kecenderungan mengungkapkan fakta-fakta tentang
sejarah termasuk juga sejarah hukum. Penelitian sejarah menunjukkan bahwa
hukum lahir dari kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Abad 19 di Eropa melahirkan aliran-aliran yang memberikan tekanan
penting terhadap sejarah, yaitu aliran sejarah (historical school) atau ilmu hukum
bersifat sejarah (historical jurisprudence) dan Marxisme. Walaupun kedua
pandangan tersebut dapat dikatakan tidak ada kaitannya satu dengan yang lain,
tetapi karena keduanya memberikan perhatian terhadap sejarah maka dibicarakan
bersama-sama dalam bagian ini.
Pelopor aliran sejarah atau ilmu hukum bersifat sejarah (historical
jurisprudence) yaitu Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) seorang ahli hukum
bangsa Jerman.
Ajaran Savigny merupakan reaksi terhadap maksud pemerintah Jerman
waktu itu untuk memberlakukan Code Civil Perancis di negara Jerman, suatu
politik hukum yang didasarkan pada teori hukum alam bahwa terdapat hukum
yang di mana-mana sama. Adapun Savigny menentang pandangan ini dengan mengemukakan pandangan yang sebaliknya, yaitu bahwa tiap bangsa memiliki
hukum yang berbeda dengan hukum bangsa lainnya.
Hukum, menurut von Savigny adalah kehidupan manusia itu sendiri,
dilihat dari sudut tertentu (Das Recht ist das Leben der Menschen selbst, von
einer besondern Seite angesehen).
Baginya, hukum sama halnya dengan bahasa, yaitu kedua-duanya tidak
dibuat tapi lahir dari Volkgeist atau jiwa bangsa. Ungkapan termasyur dari von
Savigny, yaitu hukum tidak dibuat, tetapi ada dan tumbuh bersama-sama bangsa (das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke).
Titik tolak pandangannya yaitu di dunia ini terdapat banyak bangsa dan
tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu Volksgeist (jiwa bangsa) masing-masing Jiwa
bangsa ini berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminannya nampak
pada kebudayaannnya masing-masing yang berbeda -beda. Hukum bersumber dari
jiwa bangsa oleh karena itu akan berbeda pada setiap waktu dan tempat. Tidaklah
masuk akal kalau terdapat hukum yang sifatnya universal dan abadi.
Selanjutnya von Savigny mengatakan bahwa apa yang menjadi isi dari
hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum
berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah
laku individu kepada masyarakat yang kompleks, di mana kesadaran hukum
rakyat nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya.
Walaupun teori hukum dari von Savigny dan pengikut-pengikutnya cukup
luas pengaruhnya, tetapi terdapat kelemahannya. Yang terpenting adalah tidak
diberinya tempat bagi ketentuan yang sifatnya tertulis (perundang-undangan).
Bagaimanapun dalam masyarakat modern, ketentuan yang bentuknya tertulis
diperlukan demi adanya kepastian hukum terutama untuk menghindarkan
tindakan sewenang-wenang dari kekuasaan yang bersifat absolut. Kelemahan
lainnya adalah terletak pada konsepsinya tentang kesadaran hukum yang sifatnya
sangat abstrak (Lilli Rasjidi, 85). Menurut von Savigny, orang harus mencari hukum dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri karena setiap bangsa memiliki hukumnya sendiri
yang berbeda dengan hukum bangsa lain.
Di awal abad 19, legisme memiliki pengaruh yang kuat di Eropa, tetapi
aliran sejarah menimbulkan pengakuan terhadap kebiasaan sebagai sumber
hukum.
Buah pikiran von Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya
yang terkenal G. Puchta yang mempunyai pengaruh besar di Hindia Belanda
(Indonesia) melalui para ahli hukum Belanda. Demikian besar pengaruhnya
sehingga melahirkan suatu cabang ilmu hukum baru yang kita kenal dengan
hukum adat dengan dipelopori oleh Cornelis van Vollenhoven, Ter Haar, serta
tokoh-tokoh hukum lainnya.
Marxisme
Karl Heinrich Marx (1818-1883) adalah seorang filosof, pakar ekonomi
politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Marx terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai
pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai
masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan
kelas" (kalimat pembuka dari Manifesto Komunis).
Marx juga menyebut tentang "the materialist conception of history" yang
kemudian dikenal sebagai historical materialism yang intinya bahwa sejarah
manusia ditentukan oleh materi.
Pandangan Karl Marx kemudian melahirkan sistem-sistem hukum yang
dikelompokkan sebagai family of socialist law.
Pandangan Karl Marx tentang political emancipation, yaitu status yang
sama dari warga negara sehubungan dengan negara, persamaan di depan hukum,
tanpa menghiraukan agama, hak milik, dan karakteristik privat lainnya (equal
status of individual citizens in relation to the state, equality before the law,
regardless of religion, property, or other “private” characteristics of individual persons) equal status of individual citizens in relation to the state, equality before
the law, regardless of religion, property, or other “private” characteristics of
individual persons kemudian menjadi inspirasi dari Teori Kritis.
Demikian penjelasan singkat mengenai Aliran Sejarah pada Filsafat Hukum yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan tulisan ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.