Pembagian Warisan menurut Hukum Adat
Pembagian warisan dengan menggunakan hukum waris adat didasarkan pada aturan suku yang masih dipegang teguh dan dijalankan hingga saat ini. Adapun hukum waris adat memiliki aturan adat yang berbeda - beda yang menjadikan sistem penerapannya bisa berlainan jika berdasarkan dengan adat masing - masing daerah atau komunitas. Adapun pada dasarnya ada beberapa sistem yang dijadikan patokan dalam hukum waris adat, yakni terdiri dari :
- Sistem Individual;
- Sistem Patrilineal;
- Sistem Matrilineal; dan
- Sistem Parental atau Bilateral.
Sistem Individual
Dalam sistem kewarisan individual, kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki diakui dan secara bersama - sama mendapat harta warisan dari pewaris, meskipun pembagian warisan lebih besar kepada anak laki - laki dari pada anak perempuan, namun hak mewaris dalam harta warisan para ahli waris mendapatkan hak masing - masing. Meskipun anak perempuan hanya mendapatkan bagian tidak sama besar dengan anak laki, namun dalam pembagiannnya anak perempuan mendapatkan bagian setengah dari harta warisan. Dengan adanya sistem pewarisan individual ini memberikan hak secara individu atau perorangan kepada ahli waris mengenai harta warisan. Adapun sistem ini digunakan salah satunya oleh Masyarakat Adat Suku Akit di Riau.
Menurut hukum Adat Suku Akit, subjek dari
harta warisan adalah anak - anak dari pewaris dan jika si pewaris tidak mempunyai
anak, harta warisan jatuh kepada kerabat si pewaris yaitu Nenek laki-laki atau
Nenek perempuan, Bah, Ngah, dan Wak sedangkan objek pewarisan adalah
harta benda baik berwujud materi maupun harta non materi. Adapun objek harta warisan
dalam masyarakat suku akit adalah Rumah, Tanah dan Kebun. Masyarakat adat suku akit melakukan proses pembagian warisan terdiri
dari 3 (Tiga) cara yaitu :
- Penghibahan (Peninggal Aeh Heta);
- Wasiat; dan
- Sesudah Pewaris Wafat.
Penghibahan (Peninggal Aeh Heta)
Pada masyarakat Adat suku Akit di Kecamatan Rupat Utara, penghibahan
dilakukan dengan cara musyawarah mufakat yang dihadiri oleh seluruh ahli waris
dengan disaksikan oleh Wali dan Waris, bahkan para tetangga. jika terjadi ketidak
cocokkan diantara para ahli waris, maka orang tua akan memanggil Wali atau
Waris untuk menjadi saksi serta memberikan nasehat kepada ahli waris. Apabila
para ahli waris belum juga menerima putusan orang tuanya dalam tahap itu, maka
tahap berikutnya adalah dengan memanggil RW dan Kepala dusun serta Ketua Adat untuk menjadi saksi.
Jika tahap ini para ahli waris juga belum sepakat, maka
orang tua tetap melakukan kewajibannya membagi harta benda sesuai
keputusannya. Apabila ahli waris tidak setuju terhadap keputusan dan pembagian
harta benda tersebut, maka yang bersangkutan di persilahkan menggugat ke
tingkat yang lebih tinggi misalnya kepada Kepala Desa. Namun tidak pernah ada
gugatan ke pengadilan setelah orang tua yang memutus dan membagi waris
melalui hibah tersebut meninggal dunia karena gugatan saat orang tua yang masih
hidup jarang terjadi dikarenakan hibah merupakan kehendak orang tua
sepenuhnya selaku pewaris yang mempunyai hak atas harta kekayaan.
pada masyarakat Adat Suku Akit Apabila seorang anak
telah mendapat pemberian semasa hidup dari bapaknya demikian banyaknya,
sehingga boleh dianggap ia telah mendapat bagian penuh dari harta peninggalan
bapaknya, maka anak itu tidak berhak lagi atas barang-barang lain yang dibagibagi setelah bapaknya meninggal dunia. Tetapi, apabila setelah melihat banyaknya
barang-barang harta peninggalan, ternyata yang telah diterima oleh anak tersebut
masih belum cukup, maka ia akan mendapatkan tambahan pada saat harta
peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya menjadi sama dengan
bagian saudara-saudaranya yang lain.
Wasiat
Bagi masyarakat suku Akit, sebelum pewaris wafat, pewaris telah
memberikan wasiat kepada ahli warisnya. Biasanya wasiat yang diberikan
tersebut telah diketahui oleh keluarga dan Ketua Adat. Setiap wasiat yang
diberikan pewaris wajib dilaksanakan oleh ahli waris. Pada pelaksanaan
pembagian warisan yaitu 7 (tujuh) hari setelah pewaris wafat, wasiat yang
diberikan kepada ahli waris di laksanakan oleh seluruh ahli waris. Bagi
masyarakat suku Akit wasiat yang diberikan oleh pewaris harus ditaati dan
diutamakan karena suku Akit sangat patuh pada wasiat yang ditinggalkan oleh
pewaris.
Sesudah Pewaris Wafat
Pada masyarakat adat suku Akit, setelah pewaris meninggal dunia proses
pembagian warisan dilaksanakan pada tujuh harinya pewaris. Di saat itu seluruh
Ahli waris berkumpul untuk membicarakan seluruh biaya yang keluar dan
pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris ketika masih hidup.
Namun adanya juga masyarakat suku Akit membagikan harta warisan 1 (satu)
tahun setelah pewaris meninggal dunia, tergantung kepada masing - masing
keluarga dalam masyarakat suku Akit. Apabila harta warisan akan dibagi maka
yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain adalah :
- Orang tua yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris);
- Anak tertua lelaki atau perempuan;
- Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana;
- Anggota kerabat tetangga;
- Pemuka masyarakat adat; dan
- Pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru bagi
Di lingkungan masyarakat suku Akit dalam pembagian warisan yang
menjadi juru bagi adalah anak laki-laki tertua dan orang tua (duda ataupun janda),
sedangkan paman hanya sebagai penasehat dalam pembagian warisan tersebut.
Kedudukan anak laki-laki tertua sangat besar karena sebagai penanggung jawab
utama terhadap harta warisan orang tua dan bertanggung jawab terhadap keutuhan
keluarga.
Sistem Patrilineal
Sistem ini menganut pembagian warisan berdasarkan keturunan dari bapak atau ayah sehingga perempuan tidak mendapatkan porsi bagian dari warisan. Hukum waris adat dengan sistem patrilineal semacam ini masih diterapkan oleh beberapa suku di Batak, Gayo, Nias, Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan lainnya.
Dalam sistem waris di Masyarakat Suku Batak
berisi aturan bahwa hanya anak
laki - laki yang mempunyai hak
atas waris orang tuanya sedangkan anak perempuan
tidak berhak menerima waris karena dalam praktek anak laki - laki mempunyai kewajiban
untuk membiayai pendidikan
saudara perempuan atau
memberikan sebidang tanah yang bukan berasal dari waris
orang tuanya.
Sistem Matrilineal
Hukum waris adat menggunakan sistem matrilineal berlawanan dengan sistem patrilineal yang mana pembagian warisan hanya diambil dari garis keturunan ibu. Sistem ini masih digunakan di Minangkabau, Timor dan Enggano. Dibandingkan dengan sistem adat patrilineal, sistem adat matrilineal jauh lebih sedikit akan tetapi pada kenyataan sampai saat ini tetap masih dijalankan secara turun - temurun.
- Harta Pusaka Tinggi;
- Harta Pusaka Rendah;
- Harta Pencaharian;
- Harta Surang;
- Harta Serikat (sekutu);
- dll
Sistem Parental atau Bilateral
Sistem ini merupakan jalan tengah yang menganut pembagian harta warisan berdasarkan garis keturunan dari ayah dan ibu. Jadi tidak hanya salah satunya saja. Di dalam hukum waris adat ini, kedudukan laki- laki dan perempuan dianggap setara sehingga masing - masing garis keturunan bisa mendapatkan warisan yang merata. Sistem adat ini masih digunakan di daerah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya.
Demikian penjelasan singkat mengenai Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.