Sejarah Mahkamah Konsitusi
Lembaran awal sejarah praktik pengujian undang - undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat saat dipimpin oleh William Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796.
Dalam kasus ini, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan pengujian Undang - Undang Pajak atas Gerbong Kereta Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa undang - undang tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, sehingga tindakan kongres dipandang konstitusional. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah melakukan pengujian undang - undang secara nyata meskipun putusannya tidak membatalkan undang - undang tersebut.
Kemudian pada saat Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803, walaupun pada saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan pengujian undang - undang (judicial review) kepada Mahkamah Agung (MA), akan tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu undang - undang bertentangan dengan konstitusi yang kemudian menjadi cikal bakal kewenangan pengujian undang - undang (judicial review) yang saat ini identik dengan kewenanganan Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria yang bernama Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional sehingga perlu diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK).
Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang - undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberikan kewenangan untuk "membanding undang - undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan pengujian undang - undang (judicial review). Namun usulan Yamin itu disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa :
- Konsep dasar yang dianut dalam Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power);
- Tugas hakim adalah menerapkan undang - undang, bukan menguji undang - undang; dan
- Kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang - undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, kebutuhan akan adanya mekanisme pengujian undang - undang (judicial review) makin lama makin terasa. Hal mana kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi setelah terjadi Reformasi yang membuahkan perubahan Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dalam 4 (empat) tahap. Pada perubahan ke-3 (ketiga) Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi, Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Rancangan Undang - Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya Rancangan Undang - Undang (RUU) tersebut disepakati bersama oleh Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 13 Agustus 2003.
Pada hari itu juga, undang - undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK) ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor menjadi Undang - Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
Dilihat dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi (MK) dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para Hakim Konstitusi menjadi hari lahir Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
Sebagaimana ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), 3 (tiga) lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) mengajukan Hakim Konstitusi masing - masing 3 (tiga) orang. Adapun Hakim Konstitusi yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu :
- Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.;
- I Dewa Gede Palguna; dan
- Letjen TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H.;
- Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.;
- Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.; dan
- Dr. H. Harjono, S.H., MCL., S.H., M.H.
Adapun 3 (tiga) orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA), yaitu :
- Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.;
- Maruarar Siahaan, S.H.; dan
- Sudarsono, S.H.
Adapun 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut di atas merupakan Hakim Konstitusi periode pertama dengan masa jabatan tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 yang pada saat itu melakukan musyawarah untuk menentukan jabatan Ketua dan Wakil ketua Hakim Konstitusi yang kemudian hasilnya yaitu Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. terpilih sebagai Ketua dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. sebagai wakil ketua.
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Drs. Janedjri M. Gaffar ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tanggal 16 Agustus 2003 sampai dengan tanggal 31 Desember 2003.
Kemudian pada tanggal 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) definitif. Dalam perkembangannya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit dan pada tanggal 19 Agustus 2004 terpilih Drs. Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggung jawab dalam menangani hal - hal seperti :
- Pendaftaran permohonan dari para pemohon;
- Pemeriksaan kelengkapan permohonan;
- Pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi;
- Mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah itu pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan pada 15 Oktober 2003 menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi (MK) juga menandai berakhirnya kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam melaksanakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat sementara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Demikian penjelasan singkat mengenai Sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Pengunjung juga membaca :