Bentuk Pertanggungjawaban Malpraktik Apoteker Secara Perdata
Bentuk pelanggaran dan pertanggungjawaban secara perdata disebut dengan Malpraktik Perdata (Civil Malpractice), pertanggungjawaban apoteker pada pelanggaran jenis ini bersumber pada 2 (dua) dasar hukum, yaitu :
- Pertama, terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi farmasetik;
- Kedua, terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian.
- Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan;
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya;
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya; dan
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yaitu :
- Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat);
- Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis);
- Ada kerugian;
- Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita; dan
- Adanya kesalahan (schuld).
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian apoteker, maka pasien harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur yakni sebagai berikut :
- Adanya suatu kewajiban apoteker terhadap pasien;
- Apoteker telah melanggar standar pelayanan kefarmasian yang lazim;
- Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya;
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian apoteker. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara, misalnya karena kelalaian. Pembuktian malpraktik perdata (civil malpractice) dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni :
- Cara Langsung; dan
- Cara Tidak Langsung.
Dengan menggunakan rumus 4D dimana ada kewajiban yang dilanggar yaitu :
- Duty (kewajiban);
- Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban);
- Direct Causation (penyebab langsung); dan
- Damage (kerugian)
Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan kefarmasian (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria :
- Fakta tidak mungkin ada atau terjadi apabila tenaga apoteker tidak lalai;
- Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab apoteker; dan
- Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Pertanggungjawaban perdata malpraktik dalam peraturan hukum yaitu :
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer);
- Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; dan
- Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata dengan berdasarkan 3 (tiga) prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yaitu sebagai berikut :
- Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Ketentuan ini menyebutkan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut. undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri, menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik). Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang seorang dalam pergaulan hidup. - Pasal 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Ketentuan ini menyatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Seorang apoteker dapat dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. - Pasal 1367 Kitab Undang - undang Hukum Perdata (KUHPer)
Ketentuan ini menentukan bahwa seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian maka pada pokoknya, ketentuan Pasal 1367 mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut.
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian apoteker dapat melimpahkan kewenangan terhadap tenaga kefarmasian lainnya yaitu apoteker sejawatnya atau tenaga teknis kefarmasian sebagai orang yang di beri pelimpahan kewenangan, untuk menghindari kesalahan dalam memberikan pelimpahan kewenangan maka apoteker harus tetap berpedoman seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 yakni pada ketentuan Pasal 65 ayat (3) dimana pelimpahan tindakan atau kewenangan memenuhi :
- Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
- Pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
- Pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
- Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar pelaksanaan tindakan.
Apoteker dapat terhindar dari tanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan yang dibuat bawahannya (1367) apabila :
- Bawahan yang ditugaskan memiliki kapabilitas;
- Penugasan tertulis;
- Monitoring dan evaluasinya jelas dan tertulis;
- Diberitahukan pada pasien dan pasien menerima
Ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 77 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 43 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan yang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan.
Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk dan Pertanggungjawaban Malpraktik Apoteker Secara Perdata yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.