Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional
Dalam pembahasan mengenai
prinsip-prinsip dasar
pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional merupakan
landasan yang dijadikan dalam
menjalankan tugas dan fungsi dari
Mahkamah Pidana Internasional
itu sendiri. Menurut Boer Mauna
(2005: 297-301) dalam bukunya
Hukum Internasional; Pengertian,
Peranan, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global memberikan
beberapa prinsip dasar yang
terdapat dalam Mahkamah
Pidana Internasional, antara lain
sebagai berikut:
- Prinsip Komplementer;
- Prinsip Penerimaan;
- Prinsip Otomatis (Automatic Principle);
- Prinsip Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal);
- Prinsip Nullum Crimen Sine Lege;
- Prinsip Nebis in Idem;
- Prinsip Ratio Loctie (yurisdiksi Teritorial);
- Prinsip Tanggung Jawab Pidana secara Individual;
- Prinsip Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence); dan
- Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan untuk menghentikan Penuntutan;
Prinsip Komplementer
Prinsip ini dijelaskan di
dalam Mukadimah Statuta
Roma tahun 1998, bahwa
maksud dari prinsip ini
adalah Mahkamah Pidana
Internasional merupakan
pelengkap dari yurisdiksi
pidana nasional. Pasal 1
Statuta Roma tahun 1998
memberikan penjelasan
mengenai prinsip
komplementer
(Complementary Principle).
Berdasarkan hal tersebut merupakan pengakuan
terhadap prinsip kedaulatan
negara dan harapan
masyarakat internasional
agar sistem hukum nasional
memuat pengaturan hukum
untuk mengadili dan
menghukum tindak pidana yang menjadi keprihatinan
dan kesengsaraan dunia.
Sehingga dengan
terbentuknya Mahkamah
Pidana Internasional tidak
bermaksud untuk
menggantikan
keberadaannya peranan
yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.
Prinsip Penerimaan
Prinsip ini merupakan prinsip yang
dimiliki oleh mahkamah
dalam mengadili suatu
perkara di bawah ruang tetap
admissibility (masalah
penerimaan perkara) yang
tercantum di dalam Pasal 17
Statuta Roma tahun 1998.
Hal tersebut merujuk pada
hubungan antara sistem
hukum nasional dan
Mahkamah Pidana
Internasional dalam
menentukan suatu kasus
dinyatakan tidak dapat
diterima apabila :
- Perkaranya sedang diperiksa dan diadili oleh negara setempat kecuali negara tersebut tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;
- Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan, kecuali jika keputusan itu sebagai akibat dari ketidakmauan (unwilling) atau ketidakmampuan (unable) negara itu untuk sungguh-sungguh melakukan penuntutan
- Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi dasar tuntutan mahkamah pidana internasional seperti yang disebutkan didalam Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998; dan
- Kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari Mahkamah Pidana Internasional
Prinsip Otomatis (Automatic
Principle)
Menurut prinsip ini, pelaksanaan yurisdiksi
mahkamah atas dasar
tindakan tindakan pidana
yang tercantum dalam
Statuta Roma tahun 1998
dengan tidak memerlukan
persetujuan dari negara-negara pihak yang
bersangkutan. Semua negara
secara langsung (otomatis)
menerima yurisdiksi
mahkamah atas semua
kejahatan yang menjadi
yurisdiksi dari mahkamah,
yang demikian itu terdapat
dalam paragraph 12 ayat (1)
Statuta Roma tahun 1998.
Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma tahun
1998 menjelaskan bahwa
mahkamah dapat
menjalankan yurisdiksinya
jika kejahatan terjadi di
wilayah negara pihak-pihak
dan orang yang melakukan
kejahatan tersebut adalah
warga negara dari negara
anggota statuta tersebut.
Kemudian bagi negara yang bukan anggota dari statuta
ini, maka negara tersebut
melalui suatu pernyataan
dapat menerima pelaksaaan
yurisdiksi mahkamah atas
tindak pidana seperti yang
diatur dalam Pasal 12 ayat (3)
Statuta Roma tahun 1998.
Prinsip Ratio Temporis
(Yurisdiksi Temporal)
Maksud dari prinsip ini
terkait waktu berlakunya
Statuta Roma tahun 1998
tidak berlaku bagi kejahatan
yang terjadi sebelum adanya
Statuta ini. Bagi negara-negara yang menjadi anggota
Statuta Roma tahun 1998
dinyatakan telah berlaku,
mahkamah mempunyai
yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan
setelah berlakunya statuta
bagi negara-negara anggota
tersebut.
Sebagai contoh,
Negara Colombia
meratifikasi Statuta Roma
tahun 1998 pada tanggal 1
November 2000, sedangkan
statuta tersebut mulai berlaku
semenjak tanggal 1 Juli 2000.
Oleh karena itu, mahkamah
tidak boleh menuntut kejahatan-kejahatan yang
terjadi di negara Colombia
antara tanggal 1 Juli sampai
dengan 1 November 2000.
Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 24 Statuta Roma tahun
1998, bahwa seseorang tidak
bertanggung jawab secara
pidana untuk suatu tindakan
sebelum berlakunya Statuta
Roma tahun 1998 bagi negara
yang bersangkutan. Inilah
yang dinamakan prinsip non
retroactive ratio personal.
Prinsip Nullum Crimen Sine
Lege
Maksud dari prinsip ini
terdapat di dalam Pasal 22
Statuta Roma tahun 1998
di bawah asas-asas umum
dalam hukum pidana.
Dijelaskan bahwa tidak
seorangpun dapat
bertanggung jawab secara
pidana berdasarkan statuta,
kecuali tindakan tersebut
waktu dilakukan merupakan
suatu tindak pidana yang
berada dalam yurisdiksi dan
kewenangan mahkamah.
Selanjutnya prinsip nullum
crimen sine lege diperjelas oleh
Pasal 23 Statuta Roma tahun
1998 bahwa seseorang yang
telah didakwa mahkamah
hanya dapat dijatuhi pidana
sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Statuta Roma
tahun 1998.
Prinsip Nebis in Idem
Prinsip ini terdapat dalam
Pasal 20 Statuta Roma tahun
1998 bahwa seseorang tidak dapat dituntut lagi oleh
mahkamah atas tindak
pidana yang sama yang telah
diputuskan atau dibebaskan
oleh mahkamah. Oleh karena
itu, seseorang tidak dapat
diadili lagi oleh mahkamah
atau pengadilan lain untuk
suatu tindak pidana yang
sama sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 5
Statuta Roma tahun 1998,
dimana tindak pidana itu
telah diputuskan dengan
putusan pidana atau
dibebaskan oleh mahkamah.
Prinsip Ratio Loctie
(yurisdiksi Teritorial)
Prinsip ini merupakan prinsip bagi mahkamah yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah negara-negara anggota tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku. Prinsip umum ini diatur didalam Pasal 12 ayat (2) butir (a) Statuta Roma tahun 1998. Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang menerima yurisdiksinya atas ad hoc dan wilayah yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan.
Prinsip Tanggung Jawab
Pidana secara Individual
Menurut Pasal 25 Statuta
Roma tahun 1998,
mahkamah mempunyai
yurisdiksi atas individu
sebagai natural person.
Seseorang yang melakukan tindak pidana di wilayah
yurisdiksi mahkamah
bertanggung jawab secara
pribadi dan dapat dihukum
sesuai isi dalam Statuta Roma
tahun 1998.
Ketentuan ini
merupakan pencerminan
untuk mengadili dan
menghukum individu dan
bukan negara. Kejahatan
terhadap hukum
internasional dilakukan oleh
individu dan bukan entitas
yang abstrak. Hanya dengan
menghukum individu yang
melakukan kejahatan, hukum
internasional dapat
ditegakkan seperti kasus yang
terjadi dan diadili oleh
Pengadilan Nuremberg tahun
1946.
Prinsip Praduga tak bersalah
(Presumption of Innocence)
Maksud dari prinsip ini
adalah bahwa setiap orang
harus dianggap tidak bersalah
sampai dengan terdapatnya
putusan dari pengadilan
bawah mereka terbukti dan
dinyatakan bersalah. Diatur
dalam Pasal 66 Statuta Roma
tahun 1998 yang menyatakan
setiap orang dianggap tidak
bersalah sampai terbukti
bersalah dihadapan
mahkamah sesuai dengan
hukum yang berlaku. Beban
pembuktian dan tanggung
jawab terdapat kepada Jaksa
Penuntutan yang akan
membuktikan terdakwa
bersalah.
Prinsip Hak Veto Dewan
Keamanan untuk
menghentikan Penuntutan
Prinsip ini merupakan hak yang dimiliki oleh Dewan Keamanan (Security Council) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk dapat mencegah mahkamah dalam melaksanakan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal 16 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut pasal tersebut bahwa tidak ada penyidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai statuta untuk jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII Piagam meminta mahkamah untuk menangguhkan penyidikan atau penuntutan.
Permintaan tersebut dapat diperbaharui oleh Dewan dalam keadaan yang sama. Inilah yang dinamakan prinsip defferal atau penangguhan yang dapat diperbaharui. Kebijaksanaan ini dalam praktiknya bisa saja terjadi berlangsung terus menerus. Namun, meskipun permintaan defferal oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat diperbaharui atau diulangi kembali, terdapat kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan politik dan berkurangnya unaminitas atau keseragaman pendapat di kalangan negara anggota tetap yang mempunyai hak veto sehingga hal tersebut tidak memungkinkan tercapainya lagi konsensus untuk mengajukan defferal kembali.
Demikian penjelasan singkat mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Mahkamah Internasional (International Criminal Court) yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.