Kekerasan Terhadap Anak
Kasus kekerasan khususnya terhadap anak tidak pernah sepi dari
pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik Masalah kekerasan
terhadap anak telah banyak menjadi topik pembicaraan dalam forum-forum
informal maupun menjadi topik dalam pembicaraan formal dan ilmiah. Bahkan
juga banyak para pakar dan pemerhati yang telah menulis dalam bentuk jurnal maupun
dalam bentuk buku.
Berbicara masalah kekerasan terhadap anak, cakupannya cukup luas karena
tindakan tersebut dapat terjadi pada masyarakat umum, dunia pendidikan
(sekolah-sekolah) dan tidak kalah pentingnya adalah kekerasan terhadap anak
yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Kekerasan yang terjadi di lingkup
rumah tangga mempunyai keunikan sendiri karena pelakunya adalah orang-orang
yang mempunyai hubungan dekat bahkan mempunyai hubungan darah yang sangat
dekat dan dikenal dengan baik seperti Orang tua (ayah dan ibu), Saudara (kakak dan adik) atau majikan terhadap pembantu rumah tangganya.
Kekerasan terhadap anak dapat terjadi terhadap anak laki-laki maupun
terhadap anak perempuan. Kekerasan yang terjadi terhadap anak perempuan ada
yang spesifik seperti kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan. Keunikan lainnya
berkaitan dengan kekerasan yang terjadi terhadap anak perempuan adalah karena
kekerasan ini berbasis gender. Pada masyarakat, anak laki-laki mendapat
kedudukan sangat tinggi sehingga seringkali terjadi kekerasan seperti pengguguran kandungan karena diketahui bayi dalam kandungannya itu adalah bayi perempuan bahkan bayi itu dibuang atau dibunuh karena ia lahir sebagai perempuan.
Dalam makalah pendampingan Anak dan Remaja disebutkan bahwa
ketimpangan kuasa ikut berperan dalam menciptakan terjadinya pelaku
kekerasan sehingga mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap anak di
dalam rumah tangga. Adapun kekuasaan ayah lebih besar dari ibu,
kekuasaan ibu lebih besar dari anak, kekuasaan anak yang lebih tua lebih besar dari
anak yang lebih kecil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kekerasan dalam
rumah tangga yang sering terjadi adalah kekerasan oleh suami (ayah) terhadap ibu
(istri), kekerasan orang tua terhadap anak atau kekerasan oleh anak yang
lebih tua terhadap anak yang lebih kecil.
Penyalahgunaan kekuasaan dapat juga menjadi pemicu terjadinya
kekerasan seperti dalam kekerasan anak dalam rumah tangga, dimana kekuasaan ayah untuk menghukum si anak yang pemberian hukuman seharusnya ditujukan untuk mendidik anak, akan tetapi
sering kali dilaksanakan secara berlebihan sehingga terjadilah kekerasan pisik
seperti penganiayaan sampai pada pembunuhan. Kekuasaan sang ibu dalam
mendidik anak juga sering kali berlebihan sehingga yang terjadi justru kekerasan
psikologis seperti mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati si anak.
Kekuasaan itu lahir dari ketidakberimbangnya relasi sosial yang disebabkan
oleh potensi memiliki (having) dari individu atau kelompok sosial tertentu. Seperti halnya anak menjadi hak milik orang tuanya dan istri menjadi hak milik
suaminya, maka dengan dalil menjadi milik ayah atau suami menjadikan alasan untuk bisa
melakukan tindakan apa saja termasuk kekerasan terhadap anak atau istri.
Ketidakberimbangnya relasi sosial juga menyebabkan adanya
kelompok atau individu yang lebih kuat mendominasi kelompok atau individu yang lebih
lemah. Dominasi merupakan tampilan watak dari sebuah kekuasaan sistemik. Secara teknis, dominasi tampil dalam praktek eksploitasi dan intervensi atau
campur tangan yang berlebihan dari kelompok yang lebih kuat kepada
kelompok atau individu yang lebih lemah.
Anak (termasuk di dalamnya anak jalanan,
anak pinggiran) tergolong pada kelompok atau individu yang lemah yang berpotensi
mendapatkan kekerasan dalam berbagai bentuk seperti antara lain :
- Penganiayaan;
- Ekploitasi Seksual;
- Perdagangan Anak.
- dan sebagainya.
Adapun eksploitasi tampil dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
- Sebagai tindakan penghisapan atas potensi dan hasil dari pertukaran dalam suatu relasi sosial. Dalam hal ini orang tua memposisikan anak sebagai aset ekonomi keluarga;
- Ekploitasi yang lain adalah dalam bentuk pemanfaatan dimana anak diposisikan sebagai milik sehingga dapat diperlakukan apa saja sesuai kehendak orang tua.
Budaya tidak kalah pentingnya sebagai akar permasalahan terjadinya
kekerasan terhadap anak. Internalisasi nilai dan sikap kekuasaan paternalistik
(kebapakan) di dalam keluarga jelas menempatkan anak pada posisi yang paling
bawah dan paling lemah sehingga dianggap paling layak untuk dianggap paling tidak
tahu apa-apa.
Apapun yang diucapkan oleh orang tua serta merta harus diterima oleh anak karena sudah dipastikan yang diucapkan itu lebih benar atau paling tidak lebih baik dari pada pendapat
anak walaupun ucapan orang tua mungkin dirasakan menyiksa diri si anak. Adapun kekerasan
semacam ini disebut sebagai kekerasan kultural.
Kekerasan kultural sering kali juga dialami oleh anak-anak di sekolah. Guru adalah profesi yang
mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyongsong pembangunan dalam mengisi
kemerdekaan. Menyandang profesi guru adalah manusia yang pantas untuk ditiru dalam
kehidupan bermasyarakat khususnya oleh murid sehingga dapat dikatakan guru adalah teladan yang indah
bagi dunia pendidikan.
Guru adalah sosok yang memegang otoritas dilingkungan sekolah dengan persepsi ucapan guru adalah kebenaran. Oleh karena itu ada peribahasa yang mengatakan "guru patut ditiru dan
digugu" yang artinya bahwa seorang anak (murid) harus tunduk pada ucapan guru. Terkadang kalau murid tidak tunduk pada ucapan guru, maka guru menggunakan kekuatan pisik untuk memaksa dan menundukkan si anak
supaya wibawa kekuasaannya tetap terjaga.
Seiring berjalannya waktu malah terjadi kasus sebaliknya yaitu kekerasan yang dilakukan oleh muruh terhadap muridnya seperti salah satu contohnya seorang guru kesenian SMAN 1 Torju,
Kabupaten Sampang, Jawa Timur bernama Ahmad Budi Cahyono (Guru Budi) tewas
digebuk muridnya. Peristiwa ini sangat sadis dan tragis. Adapun yang membuat semakin memilukan ketika diketahui ternyata guru Budi masih berstatus sebagai tenaga pengajar honorer alias guru tidak tetap.
Latar belakang politik juga tidak kalah pentingnya sebagai pemicu
kekerasan terhadap anak terutama anak-anak di daerah konflik. Kekerasan politik
dilakukan dengan berbagai cara seperti pisik, intimidasi, teror baik itu teror psikologis
maupun teror fisik.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa akar permasalahan anak
mendapat kekerasan sangatlah komplek karena menyangkut berbagai bidang termasuk bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Demikian penjelasan singkat mengenai Kekerasan Terhadap Anak yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.