Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak
- Kekerasan Fisik;
- Kekerasan Seksual;
- Kekerasan Ekonomi; dan
- Kekerasan Psikologis.
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yang menimpa anak-anak terjadi dalam berbagai bentuk, seperti contohnya :
- Pembunuhan;
- Penganiayaan;
- Perengutan Kemerdekaan;
- Pembuangan Bayi;
- Pengguran Kandungan;
- dan sebagainya
Dari apa yang sering diberitakan di media massa, ada kalanya anak dibunuh oleh orang tuanya sendiri karena beberapa alasan antara
lain karena :
- Orang tua tidak sanggup menanggung beban hidup;
- Bayi dibuang karena kelahirannya tidak diharapkan;
- Bayi dalam kandungan digugurkan kelahirannya tidak diharapkan.
Bahkan di beberapa negara yang penghargaannya amat tinggi
terhadap anak laki-laki, bayi dalam kandungan digugurkan kalau ketahuan bayi
tersebut berjenis kelamin perempuan atau kalau lahir bayi tersebut berjenis kelamin perempuan.
Kasus penganiayaan
terhadap anak-anak juga tak pernah sepi dari pemberitaan media massa, seperti
ayah atau ibu yang memukul anaknya, guru yang memukul muridnya dan penganiayaan oleh
siswa atau mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior (baru) ketika dalam proses
ospek.
Demikian juga tidak sedikit kasus penganiayaan yang dilakukan
majikan terhadap asisten rumah tangganya yang mungkin melakukan sedikit
kesalahan. Perengutan kemerdekaan anak terjadi ketika anak dikurung atau disekap
dalam kamar oleh majikan ataupun oleh orang tua karena anak melakukan sedikit
kesalahan.
Kekerasan fisik yang dialami anak dalam kehidupan rumah tangga terutama yang dilakukan oleh orang tua secara teoritis dapat
dikaitkan dengan adanya nilai negatif anak bagi orang tua sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Paul Meyer dan juga Masri Singarimbun yang menyatakan bahwa anak mempunyai nilai
positif dan nilai negatif bagi kehidupan orang tua. Nilai positip anak bagi orang
tua adalah berupa fungsi, nilai, kepuasan, kebaikan dan keuntungan sedangkan
nilai negatif anak bagi orang tua berupa gangguan, disvalues, ongkos, beban,
kesulitan dan kerugian.
Dalam beberapa kasus yang pernah diberitakan media massa baik cetak
maupun elektronik, kekerasan fisik yang terjadi di dalam rumah tangga seperti
pembunuhan, penganiayaan terhadap anak atau pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua (ayah atau ibu) memang sering kali dilatarbelakangai
oleh adanya anggapan bahwa anaknya merupakan beban terutama beban ekonomi
karena harus banyak keluar biaya atau beban mental karena anak-anaknya
nakal sehingga dianggap gangguan karena mengurangi kebebasan dalam menjalani
hidup. Dalam hal-hal seperti itu, orang tua mengambil jalan pintas dengan
melenyapkan si anak dengan cara membunuh ataupun membuangnya ketika masih
bayi.
Kekerasan Seksual
Dari pemberitaan di media massa baik media cetak maupun media elektronik ataupun informasi yang diperoleh dari berbagai dokumen seperti laporan
penelitian, makalah dalam seminar, jurnal atau majalah dan kasus-kasus yang telah
ditangani oleh Pengadilan dapat diketahui berbagai bentuk kekerasan seksual baik
diderita oleh anak laki-laki maupun yang dialami anak perempuan.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual khususnya terhadap anak perempuan meliputi :
- Pemerkosaan;
- Pelacuran;
- Trafficking (perdagangan anak);
- Eksploitasi seksual seperti sodomi dan phaedophilia,
Adapun terkait dengan pemerkosaan, Nitibaskara menyebutkan terdapat 3 (tiga) jenis atau bentuk pemerkosaan, yaitu terdiri dari :
- Seductive Rape, yakni pemerkosaan yang dilakukan dengan cara membujuk korban;
- Sadistic Rape, yakni penyalahgunaan seksual yang dilakukan dengan cara menganiaya si korban; dan
- Dominism Rape, yakni penyalahgunaan seksual yang biasanya terjadi di lingkungan keluarga seperti ayah terhadap anak ataupun kakek terhadap cucu.
Kasus-kasus pemerkosaan ataupun penyalahgunaan seksual dalam bentuk
lainnya selain dilakukan dengan cara-cara tersebut di atas, ada juga yang
dilakukan dengan menggunakan pendekatan mistik dan antropologis seperti kasus
yang pernah menghebohkan di Kediri tahun 1986 dimana suatu perguruan ilmu
kekebalan mengajarkan murid-muridnya untuk memperkosa anak-anak kecil
sampai minimal 40 (empat puluh) kali supaya bisa lulus. Perguruan ini mempunyai kepercayaan
bahwa darah anak kecil mampu memberikan kekuatan untuk menjadi kebal.
Dilihat dari hubungan si pelaku dengan anak yang menjadi korban banyak
diantaranya pelakunya adalah orang-orang yang dikenal dengan baik bahkan ada
yang mempunyai hubungan keluarga seperti orang tuanya, gurunya ataupun majikannya.
Menghadapi orang-orang yang dikenal dan mempunyai kedekatan, justru anak-anak
menjadi tidak berdaya karena adanya rasa percaya dan patuh kepadanya.
Kekerasan Ekonomi
Selain kekerasan pisik dan kekerasan seksual sebagaimana telah dijelaskan
di atas, kekerasan ekonomi juga banyak dialami oleh anak-anak. Adapun yang dimaksusd
dengan kekerasan ekonomi terhadap anak di sini adalah tindakan yang dialami
oleh anak-anak untuk memenuhi kepentingan ekonomi pihak lain (termasuk keluarga dan majikan) ataupun kepentingan dirinya sendiri yang menyebabkan anak-anak yang bersangkutan tidak dapat memenuhi hak-hak dasarnya untuk tumbuh
berkembang sebagai layaknya anak-anak pada umumnya.
Mereka (anak-anak yang mengalami kekerasan ekonomi) pada umumnya
berasal dari keluarga miskin yang terpaksa bekerja untuk membantu orang tuanya
menyambung hidup keluarga ataupun untuk hidupnya sendiri. Ada berbagai bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang tergolong terpaksa
bekerja, yakni antara lain sebagai :
- Pekerja Jalanan (Anak Jalanan);
- Pekerja Rumah Tangga (Pembantu Rumah Tangga); dan
- Pekerja Industri (Buruh Pabrik).
Walaupun mereka terpaksa bekerja, pada umumnya kehidupannya lebih terjamin meskipun terkadang juga tergantung dari majikan tempat dia bekerja. Ada kalanya mereka tidak luput dari
kekerasan ekonomi lainnya seperti eksploitasi tenaga kerja (disuruh bekerja
melebihi dari jam kerja sepantasnya) dengan pembayaran upah yang
rendah.
Selain itu dalam beberapa kasus, anak-anak itu juga sering mendapat
perlakukan pelecehan seksual atau kekerasan pisik (penganiayaan) dari majikannya apabila melakukan sedikit kesalahan. Adapun anak-anak yang bekerja di jalanan sebagai
anak jalanan melakukan kegiatan berdagang seperti menjual permen,
rokok, mengecer koran dan menjajakan makanan. Bentuk kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh anak-anak jalanan adalah menjual jasa, antara lain menjadi tukang
semir sepatu, tukang lap mobil, mengangkut barang, menjadi pengamen dan kegiatan
yang paling sering dilakukan oleh anak-anak jalanan itu adalah mengemis.
Jika ditelusuri lebih jauh, anak-anak yang terpaksa bekerja dapat dibedakan
atas anak yang terpaksa bekerja membantu orang tuanya untuk menghidupi keluarga
karena keadaannya memaksa walaupun sebenarnya orang tuanya tahu dan
menyadari bahwa seharusnya ia tidak memperlakukan anaknya untuk bekerja.
Di
pihak lain, ada juga kondisi dimana orang tuanya dengan sengaja menyuruh
anaknya bekerja karena anak memang dianggap sebagai aset ekonomi bagi
keluarga. Selain itu, ada juga anak terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya
sendiri karena mereka ditelantarkan oleh orang tuanya atau bisa juga menjadi anak terlantar karena
tidak punya keluarga lagi. Apapun alasan yang ada dibelakangnya, pada prinsipnya
anak-anak yang terpaksa bekerja tidak dapat menikmati hak-hak dasarnya sebagai
anak pada umumnya.
Anak-anak yang terpaksa bekerja (seharusnya tidak boleh dipekerjakan atau bekerja)
jaminan hidupnya harus ditanggung oleh negara karena mereka tergolong anak-anak terlantar secara ekonomi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 34
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan sebagai berikut:
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Di antara mereka yang masih tergolong usia anak-anak, ada katagori anak
yang secara legal (menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku) memang
sudah diperbolehkan bekerja sebagai pekerja anak dan memperoleh perlindungan
hukum. Adapun tentang batas usia anak yang boleh bekerja ternyata penetapannya berbeda-beda. Perbedaan mengenai batas usia kerja perlu diadakan mengingat
beberapa kenyataan, yaitu :
- Perbedaan bentuk dan jenis pekerjaan seperi misalnya pekerjaan di sektor industri, pertanian, perikanan atau bangunan, maka akan timbul tuntutan pekerjaan yang berbeda terhadap tenaga dan daya tahan jasmani anak dan tanggung jawab kerja dari anak;
- Perbedaan lokasi dan lingkungan fisik dari pekerjaan, misalnya pekerjaan di darat, di laut, di sungai, di hutan, dan lain-lain yang masing-masing dapat menimbulkan efek tertentu terhadap keamanan dan kesehatan anak;
- Perbedaan lingkungan sosial dari pekerjaan, misalnya apakah anak bekerja dalam kelompok kecil atau kelompok besar, apakah anak-anak akan bekerja dengan anak-anak seusia ataukah dengan orang dewasa, ataukah mereka akan bekerja sesama anak laki-laki saja ataukah bersama anak-anak perempuan. Perbedaan lingkungan sosial akan berpengaruh berbeda terhadap proses sosialisasi terhadap anak yang bekerja;
- Perbedaan waktu, yaitu kapan pekerjaan dilakukan, apakah siang ataukah malam hari. Hal ini berpengaruh terhadap kesehatan dan keamanan anak bekerja;
- Perbedaan jangka waktu kerja, yaitu lamanya anak bekerja, hal mana tentu berbeda efeknya terhadap kesehatan dan pendidikan anak.
Anak-anak yang telah diperbolehkan bekerja menurut aturan hukum
yang berlaku yaitu yang telah mendapat jaminan baik sosial maupun ekonomi dan mendapat perlindungan secara hukum.
Kekerasan Psikologis
Dalam perjalanan hidup anak, selain mendapat kekerasan pisik, seksual,
ekonomi, tidak jarang juga anak-anak mengalami kekerasan psikologis dalam
berbagai bentuk, antara lain mendapat kata-kata kotor yang menyakitkan hati baik yang dilakukan oleh orang tua ataupun oleh majikan ditempat ia bekerja, diusir, diejek,
dicemoh, dilecehkan karena cacat pisik, karena kemiskinannya ataupun karena
kebodohannya.
Demikian penjelasan singkat mengenai Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.