Sifat dan Hakikat Hukum Internasional
Dalam sistem Hukum Internasional tidak mempunyai badan legislatif
yang produk hukumnya mengikat. Meskipun ada Majelis Umum dalam
rangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak otomatis mengikat negara anggota.
Hukum Internasional tidak mempunyai sistem pengadilan yang
putusannya mengikat pihak yang bersengketa. Memang dalam rangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ), walaupun demikian untuk beperkara di Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, misalkan hanya negara anggota yang dapat beperkara di depan Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) (vide: Pasal 34 (1) Statuta ICJ) dan
mereka harus ada kesepakatan untuk menyerahkan perkaranya di Badan Peradilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) (vide: Pasal
36 (2) Statuta ICJ).
Tidak ada badan eksekutif atau pemerintahan pusat sebagaimana
halnya negara karena kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Hukum
Internasional itu maka seorang filosof Inggris John Austin kembali ke abad
19 tentang teori hukum mengatakan :
"law based upon the notion of a sovereign issuing a command backed by a sanction or punishment".
Jika
Hukum Internasional tidak sesuai dengan definisi tersebut maka Hukum
Internasional bukan bersifat hukum hanya dikategorikan sebagai "positive
morality". Menurut Mochtar Kusumaatmadja yang juga mengutip pendapat
Austin memberikan definisi sebagai berikut :
"Every law or the rule (taken with the largest signification which can be given to the term properly) is a command ...."
Menurut dia Hukum Internasional itu bukan hukum dalam arti
yang sebenarnya (properly so called), ia menempatkan segolongan dengan
the laws of honour dan the laws by fashion sebagai rules of positive
morality.
Pendapat yang tidak menerima bahwa Hukum Internasional itu
mempunyai sifat hukum karena tidak melihat pada kenyataan bahwa hukum
tidak ditentukan oleh adanya badan-badan tadi. Walaupun harus diakui
bahwa dengan adanya lembaga-lembaga tadi hukum dapat ditegakkan secara
efektif, tetapi tidak berarti bahwa tidak adanya badan-badan tadi maka
Hukum Internasional tidak bersifat hukum jadi harus dibedakan antara
efektivitas hukum dan sifat hukum.
Tidak adanya badan legislatif pusat oleh masyarakat internasional diisi
oleh adanya perjanjian-perjanjian antara mereka yang mengikat mereka. Juga
adanya kebiasaan-kebiasaan internasional yang merupakan praktek negara-negara yang dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional. Di dalam Hukum Internasional tidak ada sangsi yang dapat dipaksakan
sebagaimana halnya dalam hukum nasional.
Memang di dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada sangsi yang dapat dipaksakan melalui resolusi Dewan Keamanan
terhadap yang melakukan pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan
internasional atau melakukan agresi. Penjatuhan sangsi melalui sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini masih harus mendapat kesepakatan dari 5 (lima) anggota tetap Dewan
Keamanan. Demikian pula dalam sistem Hukum Internasional sebagaimana yang
dikemukakan di atas tidak ada pengadilan yang mempunyai kewenangan
memaksakan yurisdiksinya sebagaimana dalam sistem hukum nasional.
Tidak adanya badan legislatif, badan penegakan hukum atau badan
peradilan tidak mengurangi sifat hukum dalam Hukum Internasional karena
Hukum Internasional mempunyai mekanismenya sendiri untuk menutupi
kekurangan tersebut.
Sebagian besar dari Hukum Internasional dirumuskan dalam pengertian
hukum yang jelas dan untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, untuk hal
ini bahwa pelaksanaan Hukum Internasional tidak memerlukan suatu
tindakan pelaksanaan secara khusus. Sebagian besar dari kasus-kasus di mana
peraturan dalam Hukum Internasional sebenarnya dilanggar, tetapi
memberikan kemungkinan membayar kompensasi pada negara yang
dirugikan akibat tindakan yang disengaja atau secara tidak sengaja atau
sebagai akibat dari putusan pengadilan.
Dengan demikian sebagian besar dari peraturan-peraturan Hukum
Internasional pada umumnya tidak terpengaruh dari kelemahan sistem
pelaksanaannya. Masalah-masalah pelaksanaan Hukum Internasional
mengikuti arah kekuatan kepentingan bangsa tertentu, dalam hal ini lebih
dipertimbangkan kekuasaan selain dari keputusan hukum. Jadi di sini faktor
kekuasaan (power politics) lebih menentukan.
Fitzmaurice dalam karangannya The foundations of the Authority of
International Law and the Problem of Enforcement menyebutkan bahwa pelaksanaan dari
sistem Hukum Internasional seperti halnya dalam setiap sistem hukum yang merupakan hal yang penting dan bahwa Hukum Internasional mempunyai
sifat ini. Selanjutnya Fitzmaurice mengutip pendapat Kelsen :
"... international law is true law because, broadly speaking, it provides sanctions, such as the adoption of reprisals, war and the use of force generally, and make the employment of these sanctions lawful as a counter-measure against a legal wrong, but unlawful in all other cases".
Jadi menurut Kelsen, Hukum
Internasional adalah hukum karena Hukum Internasional mempunyai sanksi
seperti pembalasan (reprisals), perang atau penggunaan kekerasan sebagai
akibat adanya tindakan yang salah menurut hukum.
Menurut Fitmaurice kewenangan dasar Hukum Internasional sama dengan kewenangan negara
sebagai anggota masyarakat internasional mengakui Hukum Internasional
sebagai norma yang mengikat, dan mengakui sebagai suatu sistem secara
ipso facto mengikat mereka sebagai anggota masyarakat internasional
terlepas dari kemauan sendiri-sendiri dari negara
Demikian penjelasan singkat mengenai Sifat dan Hakikat Hukum Internasional yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.