Pertumbuhan Hukum Internasional Modern
Peristiwa yang meletakkan dasar-dasar bagi masyarakat internasional
modern adalah Perjanjian Perdamaian Westphalia tahun 1648, yaitu
perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang Eropa 30 (tiga puluh) tahun. Hal
ini disebabkan antara lain karena:
- Perjanjian tersebut mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi Suci untuk menegakkan kembali Imperium Romawi Suci; dan
- Sengan perjanjian tersebut hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
Sebenarnya tidaklah tepat jika dikatakan bahwa perjanjian perdamaian
Westphalia tersebut dinyatakan sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan
suatu zaman baru dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak mempunyai kaitan dengan masa lampau. Perjanjian tersebut tidak lain
merupakan kelanjutan dari gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan
manusia terutama perebutan kekuasaan duniawi antara negara dengan gereja
pada masa abad pertengahan. Karena itu akan lebih tepat jika perjanjian
perdamaian tersebut dinyatakan sebagai titik kulminasi dari suatu proses
yang dimulai dari zaman abad pertengahan tersebut. Adapun ciri-ciri masyarakat internasional berdasarkan pada perjanjian
perdamaian Westphalia (Mochtar Kusumaatmadja, 1990: 22-23) adalah sebagai berikut :
- Negara-negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat sehingga setiap negara di dalam batas-batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif;
- Hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat;
- Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala negara;
- Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi;
- Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini;
- Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional;
- Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin yang bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaaan kekerasan, dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional (perang yang benar).
Sebelum perjanjian perdamaian Westhpalia, pemikiran-pemikiran
mengenai hukum internasional sudah mulai berkembang. Adapun pemikir-pemikir
mengenai hukum internasional ini antara lain adalah :
- Fr. Suarez (Spanyol, 1548-1617);
- Fr. de Vitoria (Spanyol);
- Alberico Gentili (Gentilis);
- Grotius (Hugo de Groot);
- Richard Zouche (Inggris);
- Samuel Pufendorf; dan
- Cornelius van Bynkershoek.
Fr. Suarez (Spanyol, 1548-1617)
Menurut Fr. Suarez, hidup dan berkembangnya tertib hukum internasional
didasarkan atas terpenuhinya syarat-syarat yang lazim, yaitu :
- Adanya kehidupan bangsa-bangsa dalam satuan-satuan politik yang berbentuk negara dengan memenuhi syarat-syarat kenegaraan atas dasar kebangsaan; dan
- Adanya hubungan antara negara-negara itu, yang satu sama lain dalam kedudukan saling ketergantungan.
Mengenai ketergantungan, Suarez-lah yang mula pertama
mengemukakan. Ia menyatakan akan adanya saling ketergantungan negara-negara itu satu sama lain. Konsepsinya mengenai masyarakat bangsa-bangsa
mengandung sifat yang universal ini, berlaku satu prinsip hukum dasar yang
mengikat semua bangsa-bangsa, yaitu jus naturale atas mana jus gentium
harus berpangkal dan karenanya memperoleh sifat normatifnya.
Dalam
bidang hukum perjanjian internasional dasar langsung diindahkannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suatu perjanjian adalah kejujuran suatu prinsip
hukum kodrat. Karyanya yang terbesar adalah De Legibus ac Deo
Legislatore.
Fr. de Vitoria (Spanyol)
Fr. de Vitoria menulis sebuah buku yang diberi judul Relectio des Indis. Di dalam
buku ini, Fr. de Vitoria mengungkapkan bagaimana hubungan antara orang-orang
Spanyol dan Portugis dengan orang-orang Indian di Amerika. Isi yang
terpenting dari buku ini adalah negara-negara di dalam tingkah lakunya tidak
dapat bertindak sekehendak hatinya.
Dalam hubungannya dengan hukum
bangsa-bangsa (ia menamakannya jus intergentes), hukum ini tidak hanya
terbatas pada dunia Kristen Eropa, melainkan berlaku bagi seluruh umat
manusia. Di dalam Konperensi negara-negara Amerika di Montevideo tahun 1933,
ia mendapat penghargaan sebagai peletak dasar hukum internasional
modern.
Alberico Gentili (Gentilis)
Berbeda dengan penulis-penulis di muka yang menulis karyanya
mengenai hukum internasional masih mendasarkan ajaran mereka atas
falsafah keagamaan sehingga tidak ada pemisahan antara hukum, etika dan
teologi, maka Alberico Gentili (Gentilis) secara tegas telah memisahkan antara hukum dengan
etika dan teologi. Karyanya yang terkenal berjudul De Yure Belli yang terbit
tahun 1596. Di kalangan ahli hukum internasional Alberico Gentili (Gentilis) sering dianggap sebagai
peletak dasar sistem hukum antar bangsa.
Grotius (Hugo de Groot)
Grotius (Hugo de Groot) dikenal sebagai seorang ahli hukum dan sekaligus seorang diplomat.
Buku karyanya yang terkenal berjudul De Jure Belli ac Pacis (tentang
Hukum Perang dan Damai) yang diterbitkan pertama kali tahun 1625.
Menurut Grotius (Hugo de Groot), cara tanggap dan pembinaaan hukum internasional atas dasar
pertimbangan sifat bawaan hukum itu sendiri yang harus memiliki sifat yang
universal dan dapat diterima oleh siapa pun terlepas dari pandangan etis atau
agama. Prinsip universal ini berfungsi sebagai dasar dalam susunan tertib
hukum internasional menurutnya adalah hukum kodrat atau hukum alam
(natuurrecht, Law of Nature).
Hukum kodrat menurut Grotius (Hugo de Groot) adalah suatu susunan aturan-aturan yang
manusia mampu menemukan dengan menggunakan akal budinya (dictates of
reason). Jadi sebagai hasil karya akan nurani kemanusiaan yang dengan
sendirinya karena bawaan mempunyai kekuatan mengikat harus taati oleh
negara-negara maupun oleh individu-individu.
Di dalam setiap aturan tingkah
laku demikian menjelma nyata sebuah prinsip keadilan dengan sifat
universal karena setiap aturan tingkah laku riil mengandung nilai intrinstik
itu. Dengan demikian akan terwujud suatu sistem hukum antar bangsa-bangsa dan berlaku keadilan yang menjadi universal dari perdamaian.
Di samping dasar hukum kodrat, Grotius (Hugo de Groot) juga mengakui adanya
kenyataan mengenai bagian hukum internasional yang terbentuk sengaja
dalam perjanjian-perjanjian antar negara-negara dan yang terbentuk karena
adat kebiasaan. Oleh karenanya kedua bagian dari hukum internasional ini dinamakan jus voluntarium. Pada masa itu bagian hukum ini jumlahnya
belum begitu banyak, dan mempunyai fungsi untuk penegasan hukum
kodrat atau untuk melenyapkan ketidakpastian.
Dari pengertian hukum kodrat seperti di atas para ahli hukum
internasional pada umumnya mengatakan bahwa hukum kodrat dari Grotius (Hugo de Groot) ini merupakan hukum kodrat yang disekulisir karena didasarkan atas dictates
of reason. Beberapa doktrin Grotius (Hugo de Groot) yang dipandang sebagai doktrin hukum
internasional adalah :
- Seluruh hubungan internasional takluk pada peraturan-peraturan hukum;
- Perbedaan antara perang adil dan perang tidak adil;
- Pengakuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban fundamental individu;
- Doktrin mengenai netralitas terbatas; dan
- Ide perdamaian.
Richard Zouche (Inggris)
Dalam hubungannnya dengan sumber hukum internasional, Richard Zouche lebih
menitikberatkan perhatiannya pada praktik yang dijalankan oleh beberapa
negara dalam mengurus hubungan internasional mereka. Akan tetapi, Richard Zouche juga
tidak mengabaikan peranan penting dari hukum kodrat.
Samuel Pufendorf
Samuel Pufendorf sebagai seorang guru besar Universitas Heidelberg (Jerman) yang
kemudian pindah ke Swedia. Dalam hubungannya dengan sumber hukum
internasional, Samuel Pufendorf hanya mendasarkan diri pada Hukum Alam dan menolak
daya pengikat dari praktik.
Cornelius van Bynkershoek
Cornelius van Bynkershoek sebagai hakim dari negeri Belanda. Dalam hubungannya dengan
sumber hukum internasional, Cornelius van Bynkershoek menitikberatkan pada hukum adat kebiasaan
sebagai sumber terpenting dari hukum internasional.
Selain pemikirannya tersebut, Cornelius van Bynkershoek juga menjadi terkenal
karena dialah yang pertama kali secara tegas mengemukakan teori mengenai
laut wilayah. Menurut Cornelius van Bynkershoek, suatu negara dapat mengklaim laut sebagai
wilayahnya sejauh jarak tembak kanon.
Penulis lainnya yang juga cukup besar sumbangannya mengenai
pertumbuhan hukum internasional adalah Emerich de Vattel dan Von Marten.
Von Marten termasuk penganut aliran positivist karena ia mementingkan
praktek negara sebagai sumber hukum yang terjelma dalam adat kebisaan dan
perjanjian-perjanjian. Sebuah karyanya yang terkenal berjudul Receuil des
Traites (suatu kumpulan perjanjian-perjanjian) yang merupakan suatu
kumpulan perjanjian yang masih berharga sampai sekarang.
Jika disederhanakan dari tokoh-tokoh ahli pikir tersebut di muka terdapat 2 (dua) aliran pokok yang membicarakan tentang hukum internasional,
yaitu :
- Aliran positivist, yaitu suatu aliran yang mendasarkan hukum internasional pada traktat dan adat kebisaan;
- Aliran Hukum Kodrat, yaitu suatu aliran yang mendasarkan hukum internasional pada hukum kodrat. Aliran ini terbagi ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu :
- Kaum Naturalis yang menyatakan bahwa hukum kodrat merupakan satu-satunya dasar hukum internasional; dan
- Kaum Grotians yang menyatakan bahwa dasar hukum internasional selain Hukum Kodrat juga adat kebiasaan dan traktat.
Demikian penjelasan singkat mengenai Pertumbuhan Hukum Internasional Modern yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.