Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme
Perumusan tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menggunakan cara perumusan baik itu perumusan dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun mengunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan klasifikasi terhadap tindak pidana tersebut.
Contoh dari pasal yang menggunakan perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah Pasal 6 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang isinya menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Secara rinci, ketentuan pasal tersebut dapat diuraikan berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya (J. M. Van Bemmelen, "Hukum Pidana I:
Pidana Material Bagian Umum", diterjemahkan oleh Hasan, tt: Bina Cipta, 1984, hlm. 102-103) sebagaimana berikut di bawah ini :
- Unsur subjektif, yang terdiri dari :
- Setiap orang;
- Dengan sengaja;
- Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.
- Unsur objektif , yang terdiri dari :
- Merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain;
- Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis;
- Atau lingkungan hidup atau fasilitas umum;
- Atau fasilitas internasional.
Pasal 6 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut hanya
menguraikan unsur-unsur dari tindak pidana terorisme, tetapi tidak
memberikan klasifikasi tindakan tersebut sebagai tindakan terorisme.
Hal
yang sama juga terdapat dalam 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang isinya menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama
seumur hidup.
Sekilas pengaturan dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut menyerupai ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, akan tetapi terdapat perbedaan, yaitu
adanya unsur “bermaksud...”, hal mana pada unsur pada rumusan pasal ini menandakan bahwa Pasal 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan pasal tindak pidana tidak
selesai atau percobaan tindak pidana (F. Budi Hardiman, dkk. Terorisme, "Definsi, Aksi dan Regulasi", Jakarta: Imparsial, 2005,
hlm. 68).
Sehingga yang harus dibuktikan
dalam Pasal 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah berupa adanya
maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.
Adapun syarat suatu percobaan
tindak pidana adalah sebagai berikut :
- Sudah ada niat
Menurut J. M. Van Bemmelen dikatakan bahwa niat melakukan kejahatan dalam percobaan mengambil tempat yang di duduki kesengajaan dalam delik dengan sengaja yang diselesaikan (J. M. Van Bemmelen, "Hukum Pidana I: Pidana Material Bagian Umum", diterjemahkan oleh Hasan, tt: Bina Cipta, 1984, hlm. 246). - Permulaan pelaksanaan
Ada dua teori utama dalam hal ini yang menjelaskan mengenai permulaan pelaksanaan. Teori tersebut timbul akibat adanya permasalahan mengenai permulaan pelaksanaan itu sendiri, yaitu apakah permulaan pelaksanaan tersebut harus diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari niat atau maksud si pelaku ataukah sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang telah dimaksud oleh si pelaku untuk ia lakukan. - Teori subjektif.
Dalam hal ini, permulaan pelaksanaan dihubungkan dengan niat yang mendahuluinya (permulaan pelaksanaan tindakan dari niat). Kesimpulan dari teori ini adalah seseorang dikatakan melakukan percobaan oleh karena orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya. - Teori objektif.
Permulaan pelaksanaan dalam teori ini dihubungkan dengan pelaksanaan tindakan dari kejahatan. secara nyata yaitu apabila dalam delik formil jika tindakan itu merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Sedangkan dalam delik materiil, tindakan tersebut langsung menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Van Bemmelen memberi pendapat mengenai permulaan pelaksanaan yaitu "...permulaan pelaksanaan harus merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri dan bukan hanya permulaan pelaksanaan dari niat". Dengan demikian dapat kita simpulkan, yang menjadi titik ukur teori ini mengenai permulaan pelaksanaan adalah kapan peristiwa kejahatan itu nyata terjadi, bukan pada kapan niat itu dilakukan (J. M. Van Bemmelen, "Hukum Pidana I: Pidana Material Bagian Umum", diterjemahkan oleh Hasan, tt: Bina Cipta, 1984, hlm. 248) - Gagalnya atau tidak selesainya tindakan pelaku tindak pidana adalah di luar kehendak pelaku tindak pidana. Adapun yang tidak selesai dalam hal ini adalah kejahatan atau kejahatan dalam undang-undang atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya.
Dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah contoh pasal dalam undang-undang yang cara
perumusannya hanya menguraikan unsur tindak pidananya tanpa
memberikan klasifikasi nama. Kedua pasal tersebut juga menggunakan
pendekatan secara umum, yaitu menjadikan serangkaian tindak pidana
menjadi tindak pidana terorisme.
Pasal yang menggunakan cara perumusan dengan menguraikan
unsur dan memberikan klasifikasi tindak pidana, terdapat dalam ketentuan Pasal 8
sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikategorikan tindak pidana terorisme.
Sebagai contoh, berikut kententuan pasa Pasal 9 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyatakan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerah
atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau
mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,
amnunisi, atau sesuatu bahan peleda dan bahan-bahan lainnya
yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana mai atau penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun.
Dalam pasal tersebut, terdapat uraian unsur-unsur yang secara jelas
diklasifikasikan sebagai tindak pidana terorisme. Pasal ini menggunakan
pendekatan spesifik, yaitu menjadikan tindak pidana biasa sebagai atau
disamakan dengan tindak pidana terorisme.