Globalisasi Hukum Mengiringi Globalisasi Ekonomi
Indonesia juga mengalami seperti yang dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya, meskipun tidak secara tegas pemerintah menyatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu penganut sistem ekonomi pasar, sesungguhnya Indonesia sudah mulai menerapkan sistem ekonomi ini untuk memandu perekonomiannya sejak terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan dunia baik secara regional maupun multilateral seperti GATT, AFTA, WTO dan lain-lain.
Reorientasi sistem ekonomi ke arah ekonomi pasar juga sebenarnya telah dilakukan sejak diluncurkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan deregulasi pada tahun 1983. Dimana kebijaksanaan deregulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia. Dalam hal ini Pemerintah mulai mengarahkan pengalokasian segala sumber daya dan harga menurut keinginan dan kehendak pasar. Bahkan lebih jauh menurut Normin S. Pakpahan, selama tiga dasawarsa sejak Pelita I sesungguhnya Indonesia telah menyelenggarakan ekonomi pasar.
Dan kemudian yang terjadi pada sebagian besar negara berkembang ternyata menimpa juga pada Indonesia, dimana sistem ekonomi pasar yang di adopsi Indonesia tidak dapat berkerja secara maksimal seperti yang diharapkan sebelumnya, hal itu dikarenakan banyaknya kendala internal yang ada pada Indonesia sendiri yang kemudian membuat perekonomian pasar tidak bisa berjalan secara baik. Sistem ekonomi pasar yang diharapkan dapat menyehatkan perekonomian Indonesia yang terjadi justru sebaliknya sistem ekonomi pasar malahan menyuburkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar dan menyebabkan pasar menjadi semakin tidak efesien.
Merujuk pada pandangan aliran ekonomi neo klasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa biaya apapun (costless) karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual (producers) saling berkompetisi menghasilkan biaya yang rendah. Akan tetapi, pada kenyataannya faktanya adalah sebaliknya, dimana informasi, kompetisi, sistem kontrak dan proses jual beli dapat sangat asimetris.
Tidak berfungsinya sistem ekonomi pasar juga disebabkan Indonesia sebelumnya tidak tersedia aturan main atau kelembagaan terlebih dahulu di dalam pasar yang akan mengarahkan perilaku-perilaku pelaku ekonomi di dalam pasar agar mereka tidak berperilaku menyimpang di dalam pasar dengan berusaha menghindari terjadinya persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi dengan maksud agar mereka dapat mengeksploitasi surplus konsumen sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Salah satu kelembagaan non pasar yang diharapkan dapat melindungi pasar agar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung adalah melalui adanya kelembagaan hukum ekonomi yang kuat. Ketiadaan kelembagaan hukum ekonomi yang kuat diduga sebagai penyebab ekonomi pasar tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Kelembagaan hukum ekonomi yang kuat jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Erman Rajagukguk ialah kelembagaan hukum ekonomi yang lebih kurang mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Selanjutnya 2 (dua) hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan dan yang tidak kalah penting, jika sedikit mengutip pendapat Prof. Charles Himawan bahwa adanya badan peradilan yang andal (reliable judiciary) juga sangat menentukan bagi proses hukum terhadap sengketa-sengkata bisnis yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.
Sedangkan kelembagaan hukum ekonomi yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan sistem ekonomi pasar, jika merujuk kepada pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada sehingga perlu dilakukan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi yang ada agar dapat mendukung berkerjanya ekonomi pasar di Indonesia dan penyesuaian kelembagaan hukum ekonomi ini dilakukan dengan cara salah satunya melalui proses transplantasi hukum dari Amerika Serikat dan Eropa ke dalam kelembagaan hukum ekonomi Indonesia.
Dengan proses transplantasi hukum ini diharapkan dapat membuat kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia dapat menjadi lebih modern dan dapat lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masa kini yang terkait dengan aktifitas ekonomi yang belum bisa dipenuhi oleh kelembagaan hukum ekonomi yang ada di Indonesia. Kemudian jika merujuk kepada pendapat Lawrence Friedman mengenai 3 (tiga) unsur sistem hukum, yaitu:
- Struktur;
- Substansi; dan
- Budaya hukum.
Apabila dikaitkan dengan kelembagaan hukum ekonomi, maka struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum, maka termasuk didalamnya struktur institusi-institusi penegakkan hukum, seperti:
- Kepolisian;
- Kejaksaan; dan
- Pengadilan.
Apabila kita berbicara mengenai struktur institusi penegakkan hukum yang ada pada waktu ketika Indonesia mulai menerapkan ekonomi pasarnya, masih belum begitu bersahabat dengan pasar (market friendly) atau dapat diartikan struktur institusi penegakkan hukumnya belum dapat mendukung berjalannya aktfitas ekonomi secara baik.
Hal ini dapat dilihat dari proses hukum yang berlarut-larut terhadap suatu kasus yang membuat hilangnya kepastian hukum dalam proses penegakkan hukum yang ada, belum lagi hasil dari proses penegakkan hukum yang ada belum bisa menjamin pihak yang benar yang akan menang. Dan hal inilah yang kemudian membuat institusi penegakkan hukum tidak bisa diharapkan terlalu banyak dapat menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi diantara pelaku ekonomi di dalam pasar dengan baik. Sehingga tidak heran kalangan pelaku ekonomi di Indonesia lebih memilih menyelesaikan sengketa bisnis mereka dengan menggunakan lembaga arbitrase dibandingkan mereka harus mempercayakan penyelesaian sengketa bisnisnya pada pengadilan di Indonesia.
Selanjutnya mengenai substansi hukum masih merujuk kepada pendapat Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem. Substansi juga bisa berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka hasilkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang.
Pada waktu Indonesia menerapkan sistem ekonomi pasar, substansi hukum ekonomi yang harus ada sebagai prasyarat yang dapat mendukung bisa berjalan atau tidaknya ekonomi pasar belum tersedia pada waktu itu, yaitu antara lain memiliki hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha adalah salah satu aturan hukum yang harus dimiliki oleh setiap negara jika mereka menerapkan sitem ekonomi pasar sebagai sistem ekonominya. Hukum persaingan usaha merupakan salah satu instrumen yang dipercaya mampu untuk memperbaiki kegagalan pasar yang diakibatkan dari persaingan yang tidak sempurna di dalam pasar.
Kemudian yang terjadi akibat Indonesia belum memiliki hukum persaingan usaha adalah sistem ekonomi pasar yang ada malahan menghasikan maraknya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar, dan pasar yang diharapkan dapat menghasilkan pemanfaatan sumber daya yang lebih maksimal dan efesien yang terjadi justru sebaliknya, perekonomian Indonesia menjadi begitu tidak efesien dan kehilangan daya saingnya dengan negara lain.
Serta hukum kepailitan yang berlaku pada waktu itu yang masih merupakan warisan masa kolonial juga berkontribusi bagi tidak terlindunginya pelaku ekonomi dari perilaku pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi menjalankan usahanya tetapi karena hukum kepailitan yang ada belum baik serta proses penegakannya yang masih memakan waktu yang lama membuat banyak pelaku ekonomi menjadi korban akibat dari ulah sekelompok pelaku ekonomi yang seharusnya tidak layak lagi untuk melanjutkan usahanya di dalam pasar.
Lebih lanjut mengenai budaya hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Atau dengan kata lain jika menurut pendapat Prof. Achmad Ali, budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu tidak berdaya.
Rendahnya budaya hukum yang berlaku di Indonesia juga berkontribusi bagi tidak berfungsinya ekonomi pasar secara baik. Kurang menghargai kontrak-kontrak yang sudah dibuat di dalam bisnis merupakan salah satu bentuk manifestasi budaya hukum yang tidak baik. Dan belum terbangunnya budaya hukum yang baik juga cukup berkontribusi bagi tidak berfungsinya beberapa kelembagaan hukum yang ditransplantasi dari negara-negara maju di Indonesia karena budaya hukum yang ada begitu berbeda dengan budaya hukum negara dimana kelembagaan hukum ekonomi yang ditransplantasi itu berasal.
Dan sedikit mengutip kalimat dari Prof. Satjipto Rahardjo bahwa ekonomi kurang dapat berkerja dan melakukan perencanaan dengan baik tanpa didukung oleh tatanan normatif yang berlaku, yang tidak lain adalah hukum atau dengan kata lain tanpa adanya dukungan yang kuat dari kelembagaan hukum ekononomi yang ada sudah barang tentu sistem ekonomi pasar yang dianut oleh Indonesia tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Demikian penjelasan singkat mengenai Globalisasi Hukum Mengiringi Globalisasi Ekonomi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.
Daftar Pustaka:
- Normin S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Kerangka Kerja Acuan Pembuatan RUU tentang Persaingan. Dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.
- Normin S. Pakpahan, Rangkuman Seminar ELIPS Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif. Dalam jurnal Hukum Bisnis Volume 4 Tahun 1998.
- Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
- Charles Himawan, Pemulihan Ekonomi Butuh Reliable Judiciary. Dalam buku Hukum Sebagai Panglima. Cet. 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
- Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia. bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FE UI.
- Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002.
- R. Shyam Khemani, project director, A framework for the design and implementation of competition law and policy, World Bank, OECD, 1998.
- Satjipto Rahardjo, Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia, dalam buku Sisi - Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.