Unsur Mens Rea Pada Pertanggungjawaban Pidana
Kalau Actus Reus menyangkut perbuatan yang melawan hukum, maka mens rea mencakup unsur - unsur pembuat delik, yaitu sikap batin yang oleh pandangan monistis tentang delik disebut unsur subjektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat. Untuk menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa seorang harus melakukan perbuatan aktif atau pasif seperti ditentukan oleh peraturan perundang - undangan pidana, yang melawan hukum, tidak adanya dasar pembenar dan adanya kesalahan dalam arti luas yang meliputi kemampuan bertanggung jawab, adanya sengaja atau kelalaian; dan tidak adanya dasar pemaaf.
Kalau kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana maka sangat mudah menentukan dipidana atau dibebaskan atau pun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik. Apabila perbuatan tidak terbukti atau salah satu unsur delik itu tidak terpenuhi pada diri terdakwa, maka putusan hakim seharusnya bebas (vrispraajk) begitu pun juga apabila perbuatan yang dituduhkan oleh Penuntut Umum tidak terbukti sebagai perbuatan yang dapat dipidana pembuatnya.
Menurut Zainal Abidin yang menyatakan bahwa kesalahan merupakan unsur pembuat delik sehingga termasuk unsur pertanggungjawaban pidana. Adapun dalam hal kesalahan tidak terbukti dapat diartikan bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya telah terbukti karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahuinya terlebih dahulu perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslaag).
Pandangan dualistik mengenai delik lebih memuaskan daripada pandangan monistik. Jika pandangan dualistis yang dianut maka akan jelas perbedaan antara syarat - syarat pemidanaan dan perbuatan pidana serta perbedaan antara perbuatan pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana (mens rea). Adapun dalam hal ini mens rea mencakup :
- Kemampuan bertanggung jawab;
- Adanya Kesalahan (Kesengajaan dan Kealpaan / Kelalaian); dan
- Tidak adanya dasar pemaaf.
Kemampuan Bertanggung Jawab
Seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kriminalnya adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab walaupun kriteria mampu bertanggung jawab tidak diatur dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga para ahli dan pakar hukum memberikan pendapat dalam menyimpulkan kriteria yang mampu bertanggung jawab sebagaimana di bawah ini :
- Orang itu mampu mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum; dan
- Orang itu dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya.
Dalam ketentuan yang diatur pada Pasal 44 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa :
"Tidak boleh dipidana adalah barang siapa yang mewujudkan suatu delik yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya disebabkan oleh kekurang sempurnaan pertumbuhan akalnya atau sakit gangguan akal."
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan yang tidak dapat dipidana adalah orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gila) dan terganggu jiwanya karena penyakit. Adapun orang yang tidak mampu bertanggung jawab untuk sebagian ditujukan kepada penderita penyakit jiwa, yakni :
- Kleptomanie : suka mencuri barang - barang yang kecil (negatif);
- Pyromanie : suka membakar;
- Claustrophobie : takut berada di ruang sempit;
- Nycotophobia : takut pada kegelapan;
- Gynophobia : takut pada wanita;
- Aerophobia : takut di tempat tinggi;
- Ochlophobia : takut pada orang banyak;
- Monophobia : takut sendiri / sunyi.
Kurang mampu bertanggung jawab dapat dianggap jika pelakunya tetap dianggap mampu bertanggung jawab, akan tetapi kekurangan itu di pandang sebagai faktor yang meringankan seperti contohnya pada orang yang jiwanya kurang sempurna dengan berdasarkan keterangan yang dikeluarkan oleh dokter jiwa yakni mabuk (intoxication / dronkenschap), hal mana mabuk disini adalah mabuk yang disebabkan oleh bukan kemauan sendiri maka tidak dipidana, akan tetapi jika mabuknya dikehendaki oleh si pelaku, maka dapat dipidana.
Adanya Kesalahan (Dolus dan Culpa)
Kesengajaan (Dolus Eventualis)
Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh refleks, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran. Kesengajaan itu secara alternatif dapat ditujukan kepada 3 (tiga) elemen perbuatan pidana sehingga terwujud yaitu :
- Kesengajaan terhadap perbuatan;
- Kesengajaan terhadap akibat; dan
- Kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku, hal mana pelaku tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu. Berdasarkan teori kehendak, jika si pelaku menetapkan dalam batinnya bahwa ia lebih menghendaki perbuatan yang dilakukan itu meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui atau membayangkan akan kemungkinan terjadinya akibat yang tak dikehendaki, akan tetapi bayangan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat. Maka dapat dikatakan bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu. Dalam kedua teori di atas digambarkan bahwa dalam batin si pelaku terjadi suatu prose, bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat.
Kealpaan / Kelalaian (Culpa Lata)
Di dalam kepustakaan Ilmu Hukum Pidana culpa lata sering disebut sebagai kesalahan dalam arti sempit, yaitu schuld in engzin sedangkan kesalahan dalam arti luas mencakup juga dolus atau kesengajaan. Satochid Kertanegara menganjurkan untuk tidak menggunakan istilah kesalahan karena pengertiannya tidak sama dengan schuld dalam bahasa Belanda. Pendapat tersebut benar karena sebagian orang Indonesia mengidentifikasikan kesalahan dengan perbuatan tercela. Adapun perbedaan antara dolus dan culpa juga dipergunakan di dalam hukum pidana :
- Kalau dolus, perbuatan dilakukan dengan sengaja sedangkan culpa perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan atau kelalaian;
- Kalau dolus, perbuatan itu disebut dengan doleuze delicten sedangkan culpa, perbuatan itu disebut culpose delicten atau schuld delicten;
- Kalau dolus, diancam dengan hukuman pidana lebih berat daripada culpa sedangkan culpa, ancaman hukumannya lebih ringan daripada dolus;
- Dolus menghendaki atau telah menerima atau pun termasuk perhitungannya akan akibat yang akan terjadi sedangkan sebaliknya culpa walaupun ia mengetahui akibat yang akan terjadi, ia bersikap acuh tak acuh atau tidak menghiraukannya.
Kapankah culpa itu ada pada suatu perbuatan ? berdasarkan pertanyaan tersebut maka terdapat dua pandangan, yaitu :
- Pandangan subjektif yang menitik beratkan pada syarat subjektif;
- Pandangan objektif yang menitikberatkan pada syarat objektif.
Pandangan yang subjektif melihat pada syarat adanya sikap batin seseorang dalam hubungannya dengan perbuatan dan akibat perbuatan yang dapat dipersalahkan sehingga ia dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya itu. Contoh adanya hubungan batin dengan perbuatan pada ketentuan :
- Pasal 205 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
- Pasal 287 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
- Pasal 290 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan
- Pasal 409 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara hubungan batin dengan akibatnya ialah kejahatan dalam :
- Pasal 114 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP);
- Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP); dan
- Pasal 360 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Kelalaian yang berupa sikap batin dalam hubungannya dengan perbuatan sebenarnya ialah dalam hendak melakukan wujud perbuatan tertentu. Seseorang tidak mengindahkan / kurang mengindahkan, atau tidak bersikap hati - hati terhadap segala sesuatu yang ada dan berlaku mengenai perbuatan atau sekitar perbuatan itu. Sementara sikap batin yang berhubungan dengan akibat perbuatan dapat terletak pada 2 (dua) hal yaitu :
- Terletak pada ketiadaan pikiran sama sekali atau culpa yang tidak disadari (lalai)
Dalam alam batin orang itu tidak sedikitpun ada kesadaran atau ada pikiran bahwa dari perbuatan yang hendak ia lakukan itu dapat menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang - undang padahal ia seharusnya memikirkan hal itu. - Terletak pada pemikiran bahwa akibat tidak akan terjadi atau culpa lata yang disadari (alpa)
Kesalahan terletak pada sikap batin yang sudah memikirkan tentang kemungkinan timbulnya akibat terlarang, namun dalam batinnya begitu percaya bahwa akibat itu tidak akan timbul. Ternyata setelah diwujudkan perbuatan, akibat itu benar - benar timbul. Jadi, dalam hal ini merupakan kesalahan dalam berpikir.
Sementara pandangan objektif meletakkan syarat culpa dari suatu perbuatan yaitu pada ukuran kebiasaan dan kewajaran yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kondisi yang sama serta syarat - syarat lainnya yang sama, apakah pilihan perbuatan orang itu sudah dipandang benar ataukah tidak dari sudut kebiasaan yang berlaku pada umumnya. Maksudnya ada culpa apabila pilihan perbuatan orang itu dalam kondisi yang sama dan dengan syarat-syarat lainnya yang sama bagi orang lain pada umumnya tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang itu. Sebaliknya apabila dalam kondisi dan dengan syarat-syarat yang sama dengan orang lain pada umumnya melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi pilihan orang itu, maka disini tidak ada culpa.
Syarat kedua culpa lata menurut Kartanegara ialah bahwa akibat yang dapat diduga sebelumnya, membuat perbuatan itu sebagai delik. Kriteria apakah yang dapat digunakan sehingga seorang pelaku delik dapat dikategorikan sebagai dapat menduga atau membayangkan akan timbulnya suatu akibat ? Untuk menentukan hal itu, Kartanegara menggunakan pegangan jika dikatakan si pelaku lah yang dapat menduga atau membayangkan akibat atau masalah, maka syarat itu belum cukup sebab si pelaku tidak hanya saja membayangkan atau menduga timbulnya akibat atau masalah bahkan ia seharusnya dapat membayangkan timbulnya itu.
Di dalam hal ini juga dipakai ukuran seperti yang digunakan dalam menentukan timbulnya suatu akibat atau masalah atau tidak ? jika ternyata lain - lain orang tidak dapat membayangkan, maka juga tidak terdapat culpa. Dapat disimpulkan bahwa culpa lata menurut Memorie van Toelichting (MvT) terdapat pada seorang dader atau si pembuat delik jikalau ia :
- Kekurangan pemikiran yang diperlukan;
- Kekurangan pengetahuan yang diperlukan; atau
- Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.
Untuk menentukan adanya dolus atau culpa lata adalah sangat sulit sehingga di dalam praktek peradilan digunakan system objective culpa atau kelalaian yang diobjektifkan. Cara yang digunakan ini ialah dengan menganalisis perbuatan berbahaya yang dilakukan oleh terdakwa, hakim dapat menarik kesimpulan bahwa terdakwa (yang lazimnya menyangkal) dengan perbuatannya yang berbahaya itu mempunyai kealpaan atau kelalaian.
Tidak adanya Alasan Pemaaf
Dasar atau alasan pemaaf merupakan dasar atau alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa atau dengan kata lain terdakwa dimaafkan. Hal mana perbuatan yang dilakukan pelaku tindak pidana tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, akan tetapi pelaku tindak pidana tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Tidak adanya alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat yang dalam artian bahwa orang ini dapat dicela (menurut hukum) atau dengan kata lain si pembuat bersalah sehingga kesalahannya dapat dipertanggungjawabkan.
Demikian penjelasan singkat mengenai Unsur Mens Rea pada Pertanggungjawaban Pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.