Status Hukum Anak di Luar Pernikahan
Perlu untuk diketahui bahwa anak di luar perkawinan juga punya hubungan perdata dengan pria selaku ayahnya selama hubungan tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain.
Terdapat ungkapan yang menyebut anak adalah karunia Tuhan bagi pasangan suami istri terutama pasangan yang baru menikah pasti menanti kehadiran sang buah hati (anak). Ketika lahir, seorang anak menyandang status hukum yang berkaitan dengan status perkawinan orang tuanya. Mengacu pada peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedikitnya terdapat 2 (dua) kedudukan seorang anak, yakni sebagai berikut:
- Anak Sah; dan
- Anak Luar Perkawinan.
Anak sah yakni anak yang dilahirkan setelah orang tuanya menjalani perkawinan yang sah. Perkawinan dinyatakan sah ketika dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan perkawinannya tersebut dicatat menurut peraturan yang berlaku. Lalu, apa yang dimaksud dengan anak luar kawin? Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah kemudian menjelaskan sedikitnya ada 2 (dua) pengertian tentang anak luar kawin, yaitu:
- Pertama, anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah;
- Kedua, anak dibenihkan di luar perkawinan, tapi dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan.
Untuk pengertian yang kedua dalam hukum perdata, anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak sah. Menurut Djubaedah ini diatur dalam ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 50 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diperbarui lewat Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 24 Tahun 2013 yang pada isi pasal tersebut intinya menyebut pengesahan anak wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak itu melakukan perkawinan dan mendapat akta perkawinan. Ketentuan itu dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengesahan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Oleh karena itu, Djubaedah menjelaskan bagi penganut agama Islam anak luar nikah itu tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah. Penganut agama Islam juga tidak boleh melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, tapi anak tersebut harus dilindungi. Bukan berarti ayah biologis dari anak luar kawin itu lepas tanggung jawab, dia bisa dituntut oleh si anak dan ibunya untuk memenuhi pemberian nafkah, biaya penghidupan, perawatan, pendidikan, pengobatan sampai usia anak beranjak dewasa.
Dalam hukum Islam, Djubaedah mengatakan anak luar kawin hanya memiliki nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan nasab ini berbeda dengan perdata sekalipun anak luar kawin punya hubungan perdata dengan ayah biologisnya, tapi ayah biologisnya itu tidak punya hubungan nasab dengan anak luar kawin. Misalnya, jika si anak berkelamin perempuan, ketika dia mau menikah maka ayah biologisnya tidak bisa menjadi wali nikah. Ini artinya tidak ada hubungan nasab antara ayah dan anaknya atau tidak ada hubungan yang sah antara anak dan ayah.
Adapun anak luar kawin merupakan istilah yang merujuk pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa:
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya."
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, telah terjadi perubahan makna dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut menegaskan bahwa anak luar kawin tidak hanya punya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, tapi juga punya hubungan perdata dengan ayah dan/ atau keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut adalah ayah dari anak luar kawin tersebut.
Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menguraikan bahwa anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang tuanya. Pada ketentuan yang dimuat dan diatur dalam Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menjelaskan bahwa:
"Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri."
Kemudian ketentuan yang diatur dan dimuat dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari ke 180 (seratus delapan puluh) dari perkawinan dapat diingkari oleh suami. Namun pengingkaran itu tidak boleh dilakukan dalam hal-hal berikut:
- Apabila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu;
- Apabila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir dan akta ini ditandatangani olehnya atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia tidak dapat menandatanganinya;
- Apabila anak itu dilahirkan mati.
Wali Nikah Anak Luar Kawin
Seorang ayah yang perkawinannya hanya sah menurut hukum Islam (agama) tetap dapat menjadi wali bagi anaknya yang akan melangsungkan perkawinan. Hubungan darah patrilineal dengan calon pengantin perempuan ini awalnya ditegaskan dalam definisi wali nasab menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim (Permenag RI 30/2005), yaitu pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.
Walaupun demikian, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan (Permenag RI 20/2019) telah mencabut Permenag RI 30/2005 tersebut. Menurut Permenag RI 20/2019, syarat wali nasab adalah laki-laki, beragama Islam, baligh, berakal, dan adil. Bapak kandung menempati urutan pertama sebagai wali nasab. Permenag tersebut pada dasarnya tidak membedakan bapak kandung berdasarkan status perkawinannya, apakah hanya sah menurut hukum Islam atau juga telah sah secara administratif. Dalam hal ini, wali hakim sendiri baru dapat bertindak sebagai wali jika:
- Wali nasab tidak ada;
- Walinya adhal;
- Walinya tidak diketahui keberadaannya
- Walinya tidak dapat dihadirkan/ atau ditemui karena dipenjara;
- Wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
- Walinya dalam keadaan berihram; dan
- Wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri.
Status Pewarisan Anak di Luar Pernikahan
Dalam hukum Islam, Djubaedah memaparkan anak luar kawin tidak bisa mendapat warisan dari ayah biologisnya. Walaupun demikian, bukan berarti anak luar kawin tidak boleh mendapat harta peninggalan dari orang tuanya. Anak luar kawin bisa mendapat harta peninggalan ayah biologisnya melalui beberapa cara seperti:
- Ayah biologis si anak membuat surat wasiat; atau
- Anak tersebut mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk mendapat wasiat wajibah.
Demikian penjelasan singkat mengenai Status Hukum Anak di Luar Pernikahan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk menjadikan kami lebih baik. Terima kasih.