Kesalahan Menurut Hukum Pidana
Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang - undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat yakni bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (culpa disini dalam arti luas yang meliputi juga kesengajaan).
Asas ini tidak tercantum dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa :
"Tiada seorang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang - undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya."
Bahwa unsur kesalahan itu sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang dapat juga dikenal dari pepatah Jawa yang menyatakan :
“sing salah, seleh - yang bersalah pasti salah."
Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pelaku. Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht) tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) Actus non facit reum nisi mens sit rea atau disingkat dengan asas mens rea yang arti aslinya ialah evil will atau guilty mind. Mens rea merupakan subjective guilt yang melekat pada si pelaku, subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak - tidaknya negligence atau kealpaan).
Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan terdapat 3 (tiga) pendapat, yaitu sebagai berikut :
- Aliran klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme
Pada dasarnya berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini merupakan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan; - Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme
Aliran ini mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif - motif ialah perangsang - perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan sebab ia tidak punya kehendak bebas. Meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggunganjawaban dari seseorang atas perbuatannya. Akan tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat dan bukannya pidana dalam arti penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku. - Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas
Kesalahan Menurut Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas - luasnya di bawah ini beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana sebagaimana di bawah ini :
- Mezger
Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden). - Simmons
Simmons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang sociaal ethisch dan menentukan bahwa sebagai dasar untuk pertanggungan jawaban dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku. - van Hammel
van Hammel mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur - unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid rechtens). - van Hattum
van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psychisch yang terdapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een strafbare dader). - Karni
Karni mempergunakan istilah salah dosa yang kemudian mengatakan bahwa pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana. Selanjutnya ia mengatakan bahwa salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungkan atas si perbuat harus boleh dicela karena perbuatan itu mengandung perlawanan hak harus dilakukan, baik dengan sengaja maupun dengan salah. - Pompe
Pompe mengatakan bahwa pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Adapun yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch dalam arti ini yaitu kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) keadaan batin berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan.
Dari pengertian - pengertian kesalahan dari beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan yaitu pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, akan tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya.
Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran - ukuran yang terdapat dalam masyarakat yang seharusnya diperbuat oleh si pelaku secara ekstrem dikatakan bahwa kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam kepala si pelaku, melainkan di dalam kepala orang - orang lain ialah di dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap si pelaku itu. Adapun yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggungjawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa si pelaku ialah kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.
Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu :
- menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid); dan
- menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar heid) perbuatan yang melawan hukum.
Dari pendapat - pendapat tersebut di atas maka dapatlah di mengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya. Pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku bukan ethische schuld, melainkan veranwoordelijkheid rechtens seperti dikatakan oleh van Hamel.
Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis betapa pun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa das Recht ist das ethische Minimum. Setidak-tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat yang terdiri dari sesama hidupnya dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.
Arti kesalahan dalam hukum Pidana
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 (tiga) pengertian, yaitu :
- Kesalahan dalam arti yang seluas - luasnya yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggung jawaban dalam hukum pidana, hal mana di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.
- Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa :
- Kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau intention); atau
- Kealpaan (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence).
- Kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan di atas. Pemakaian istilah kesalahan dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah kealpaan.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan dalam arti luas sebagai dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
Unsur - unsur dari kesalahan
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana sebagaimana di bawah ini yang meliputi :
- Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (schuldfahigkeit) yang artinya keadaan jiwa si pelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi norm adressat yang mampu;
- Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk - bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya;
- Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebutkan di atas, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pelaku sehingga kesalahannya hapus misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (vide: Pasal 49 Kitab Undang - undang Hukum Pidana)
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggunganjawaban pidana sehingga bisa dipidana. Harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas - luasnya (pertanggunganjawaban pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada artinya kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan si pelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah sebabnya maka kita harus senantiasa menyadari akan 2 (dua) pasangan dalam syarat - syarat pemidanaan ialah :
- Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit); dan
- Dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).