Penganjuran dalam Hukum Pidana (Uitlokker)
Penganjur atau (uitlokker) merupakan orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana - sarana yang ditentukan oleh peraturan perundang - undangan untuk melakukan kejahatan. Sehingga dapat dikatakan penganjur atau (uitlokker) hampir sama dengan menyuruh lakukan (doenpleger), hal mana pada penganjuran (uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil (auctor physicus). Adapun perbedaan dari kedua hal tersebut adalah sebagai berikut :
- Kalau penganjuran atau uitlokking menggerakkannya dengan sarana - sarana tertentu (limitatif) sedangkan orang yang menyuruh lakukan atau doenpleger sarana menggerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif);
- Kalau penganjuran atau uitlokking pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan (tidak merupakan manus ministra) sedangkan orang yang menyuruh lakukan atau doenpleger, pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan (merupakan manus ministra)
Syarat penganjuran dalam Hukum Pidana (Uitlokker)
Adapun syarat penganjuran atau uitlokker yang dapat dipidana adalah sebagai berikut :
- Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang;
- Menggerakkannya dengan menggunakan upaya - upaya atau sarana - sarana seperti ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang - undangan (bersifat limitatif);
- Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal - hal tersebut pada angka (1) dan (2) di atas, jadi dapat dikatakan terdapat psychise causaliteit;
- Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana; dan
- Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Dari 5 (lima) syarat yang disebutkan di atas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si penganjur atau (uitlokker) sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dianjurkan (pembuat materiil). Adapun kemudian muncul pertanyaan mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa. Mengenai hal tersebut terdapat beberapa pendapat :
- Pendapat pertama menyatakan "Tidak Mungkin"
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa sifat khas dari uitlokking yakni membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja. - Pendapat kedua menyatakan "Mungkin"
Simmons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan perbuatan itu dapat mengira - ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut.
Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukan untuk menggerakkan orang lain untuk menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, maka ia dapat dikatakan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) sedangkan pemilik mobil dapat dikatakan melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran Pasal 359 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagaimana penjelasan di atas kemudian menimbulkan kembali pertanyaan mungkinkah ada percobaan penganjuran (uitlokker) atau penganjuran yang gagal. Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana. Kemudian timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat dipidana, adapun mengenai hal ini sebelum adanya ketentuan Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat 2 (dua) pandangan atau pendapat yang berbeda, yaitu :
- Pendapat pertama menyatakan bahwa penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).
Pandangan ini dianut oleh Hazewinkel Suringa, Simmons, van Hamel dan vos, hal mana menyatakan bahwa pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. Dalam hal ini si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana karena dalam percobaan untuk penganjuran ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si penganjur juga tidak dapat dipidana. - Pendapat kedua menyatakan bahwa penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir (berdiri sendiri = zelfstanding dan tidak bergantung pada yang lain).
Pandangan ini dianut oleh Blok, Jonkers, Pompe dan van Hattum, hal mana menurut mereka ada atau tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi atau tidaknya tindak pidana. Dalam hal ini si penganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi sehingga menurut pandangan kedua ini percobaan untuk penganjuran tetap dapat dipidana.
Dari uraian di atas sudah terlihat jelas bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid sifat dapat dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain. Jadi sudut pandangnya tidak membedakan antara sifat tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat ini lebih mendekati pandangan monistis.
Sehubungan dengan pandangan yang pertama di atas, dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) Jerman (sebelum perubahan tahun 1943) dikenal dengan yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya bentuk - bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku).
Menurut Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) Jerman tersebut menentukan bahwa untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater (si turut serta melakukan / medepleger, pengajur / uitlokker, atau pembantu / medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang atau diancam pidana, akan tetapi juga dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak ada kesalahan), maka tidak mungkin ada penyertaan. Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau peserta lainnya, akan tetapi dipandang berdiri sendiri asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis yang dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu :
- Dari sudut perbuatan
Pada umumnya tiap - tiap peserta tidak berdiri sendiri - sendiri karena sifat melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya dihubungkan dengan pelaku atau peserta lainnya. - Dari sudut pertanggungjawaban
tiap - tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri - sendiri menurut sikap batinnya masing - masing berhubungan dengan apa yang diperbuatnya.
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan lagi setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo. 273) ditambahkan ketentuan Pasal 163 bis ke dalam Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa :
- Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam ketentuan Pasal 55 ke (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, akan tetapi dengan ketentuan bahwa sekali - kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan terhadap percobaan kejahatan atau jika percobaan itu tidak dipidana tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.
- Aturan tersebut tidak berlaku jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana itu disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Ketentuan pasal di atas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan pembujukan yang gagal sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil yang artinya perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan salah satu sarana yang tersebut dalam ketentuan Pasal 55 ke (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2) sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Moelyatno yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 163 bis (2) merupakan alasan penghapus penuntutan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam ketentuan pasal 163 bis itu digunakan kata - kata “mencoba / berusaha menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada menyuruh lakukan (doenplegen) yang gagal, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk pembujukan yang tersebut dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP).
Pertanggungjawaban si penganjur
Dalam ketentuan Pasal 55 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya misalnya seperti si X menganjurkan si Y untuk menganiaya si Z dan akibat penganiayaan itu si Z mati. Dalam hal ini pertanggungjawaban si X bukan terhadap perbuatan menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan (vide: Pasal 55 jo. Pasal 351 KUHP), akan tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” (vide: Pasal 55 jo. Pasal 351 ayat (3) KUHP).
Bagaimanakah apabila si Y yang dianjuri langsung membunuh si Z. Adapun dalam hal ini matinya si Z tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada si X, jadi tidak dapat dituduh berdasarkan Pasal 55 jo. Pasal 338 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) karena pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh si X. Namun demikian, si X masih dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan.
Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti sengaja dianjurkan oleh si X, yaitu kalau penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP), maksimumnya 2 tahun 7 bulan dan kalau penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 352 Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) maksimumnya 3 bulan dan kalau penganiayaan yang direncanakan sebagaimana diatur dalam ketentutan Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) maksimumnya 4 tahun penjara dan seterusnya. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun (vide: Pasal 163 bis KUHP).
Ketentuan pada Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat dipertanggungjawabkan pada si X dalam hal si Y (yang dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari si X walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu pemberian atau hadiah dari si X. Jadi gagalnya pengajuran si X karena kehendak orang yang ditunjuk (si Y). Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran si X itu karena kehendak si X sendiri, maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat dikenakan pada A.
Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran si X untuk menganiaya si Z itu, si Y baru melaksanakannya sampai taraf percobaan penganiayaan. Ini berarti tidak terjadi percobaan kejahatan yang dipidana seperti disebutkan dalam ketentuan Pasal 163 bis Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP). Kalau si X membujuk si Y untuk membunuh si Z dengan menggunakan pistol, akan tetapi karena “penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan si Y mengenai si T, maka perbuatan si X tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap si Z” (vide: Pasal 55 jo. Pasal 53 jo. Pasal 338 KUHH). Bagaimanakah terhadap matinya T, apakah si X dapat dipertanggungjawabkan ?
Ada pendapat bahwa dalam hal ini Si X tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya si T bukan yang dikehendaki (disengaja dianjurkan) oleh si X, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan) antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar - benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh kesengajaan menurut ketentuan Pasal 55 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab terhadap kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju) atau meliputi juga seluruh corak kesengajaan.
Apabila pengertian sengaja yang dianjurkan dalam ketentuan Pasal 55 ayat (2) Kitab Undang - undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi juga dolus eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dalam kasus diatas si X juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap matinya si T apabila terbukti bahwa pada saat si Y (pembuat materiil) menembak si Z dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain yang berada di dekat si Z. Penetuan hal ini dilakukan secara normatif oleh Hakim.
Demikian penjelasan singkat mengenai penganjuran dalam hukum pidana yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.