Sejarah Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia
Istilah "hukum" berasal dari bahasa Arab "hukmun" yang artinya menetapkan. Di dunia akademis, istilah hukum lebih sering dipadankan dengan istilah ius yang dituliskan atau diconstitutumkan adalah peraturan perundang-undangan (lege, droit, wef). Jadi, hukum bisa diartikan sebagai norma, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum yang diciptakan oleh badan-badan negara dan pemerintah dinamai peraturan perundang-undangan (regel) atau peraturan kebijakan (policy regel atau beleid regel). Sedangkan hukum kerajaan dinamai dengan Kitab Raja. Untuk hukum-hukum adat yang telah dituliskan sampai saat ini belum memiliki nama khusus.
Hukum bekerja dan beroperasi melalui kegiatan pelaksanaan, penegakan atau penerapan, namun kenyataannya aturan-aturan hukum setiap kali tidak berjalan seperti yang dituliskan. Hal ini disebabkan berbedanya interpretasi dan kepentingan aparat pelaksana hukum, selain itu aturan hukumnya pun mengalami penyimpangan. Oleh karena penggunaan sudut pandang atau paham atau aliran berfikir yang berbeda-beda, maka definisi tentang hukum pun berbeda-beda pula.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) didirikan di atas gagasan Dr. Iur. Adnan Buyung Nasution, S.H. dalam Kongres Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) ke-III pada tahun 1969. Gagasan beliau muncul karena melihat sebuah ketidakadilan kepada masyarakat miskin pada setiap perkara yang padahal seharusnya tidak ada perbedaan jika sudah dihadapan hukum yaitu semua sama.
Topik mengenai bantuan hukum memiliki sejarah panjang soal yang sama dengan pelaksanaan hukum acara itu sendiri. Inti soalnya timbul sejak hukum acara cenderung menjadi cara penyelesaian masalah dengan menghukum seseorang, maka pada saat itu segera muncul yang sebaliknya, mengapa harus dihukum? Karena menghukum berarti harus benar dan adil. Disitulah hukum memasuki kandungan esensi tentang kebenaran dan keadilan yang dicari untuk ditemukan oleh hukum acara.
Problematikanya menjadi semakin meluas lagi ketika hukum harus menjadi rel yang di atasnya negara melaksanakan kekuasaannya. Dalam konteks itu, bantuan hukum masuk ke dalam ranah penuh liku penyelenggaraan hidup kenegaraan. Lalu, ketika hukum harus dibuat agar dapat menyelenggarakan negara yang baik guna mencapai tujuannya untuk keadilan, kesejahteraan, perdamaian dan pencerdasan kehidupan bangsa, maka bantuan hukum pun ada disitu.
Inti soal yang dimasuki bantuan hukum menjadi bagaimana hukum itu dibentuk melalui rangkaian proses politik hukum? Aksi terhadap kesemuanya itu dapat disebut sebagai bantuan hukum dalam arti luas. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagai negara hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang memiliki tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang:
- Sejahtera;
- Aman;
- Tenteram;
- Tertib; dan
- Berkeadilan.
Prinsip negara hukum Indonesia menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum atau yang dikenal dalam bahasa Inggris dengan istilah equality before the law. Hal ini dapat tercermin dari ketentuan yang diatur pada Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum."
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan yang sama di depan hukum. Demikian juga dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan bahwa:
"setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Adapun Yuda Pandu menyatakan pendapatnya bahwa yang dimaksud pada ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tersebut adalah :
- Setiap warga mempunyai hak dibela (accsess to legal counsel);
- Diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law); dan
- Keadilan untuk semua (justice for all).
Gagasan tersebut kemudian mendapatkan persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Peradin melalui Surat Keputusan (SK) No. 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang berisi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum atau Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku pada tanggal 8 Oktober 1970. Pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini kemudian diikuti dengan pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kota-kota lain, seperti:
- Banda Aceh;
- Medan;
- Palembang;
- Padang;
- Bandar Lampung;
- Bandung;
- Semarang;
- Surabaya;
- Yogyakarta;
- Bali;
- Makasar;
- Manado; dan
- Papua.
Selanjutnya untuk menkoordinasikan keseluruhan kerja-kerja Lembaga Bantuan Hukum (LBH), maka dibentuklah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang diketahui sampai saat ini telah berdiri sebanyak 14 (empat belas) kantor cabang dan 8 (delapan) pos yang tersebar di 14 (empat belas) provinsi di Indonesia yakni dari Banda Aceh hingga Jayapura. Adapun tujuan terwujudnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) adalah sebagai berikut:
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertujuan mewujudkan suatu sistem masyarakat hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial yang adil dan beradab serta berprikemanusiaan secara demokratis (a just, humane and democratic socio legal system);
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertujuan mewujudkan suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu menyediakan lembaga-lembaga dan tata cara atau prosedur-prosedur, hal mana setiap pihak yang membutuhkan pelayanan ataupun bantuan hukum dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum (a fair and transparent intitutionalize legal administrative system);
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertujuan mewujudkan suatu sistem ekonomi, politik, dan budaya yang membuka akses bagi setiap pihak untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (an open political economic system with a culture that fully respects human rights).
Tujuan terwujudnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagaimana dengan yang telah dipaparkan di atas tidak terlepas dari kode etik Advokat dan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena dengan terbentuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diharapkan dapat menyalurkan bantuan hukum secara merata dengan tidak melihat strata atau status sosial. Sehingga melalui lembaga tersebut setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum (a fair and transparent intitutionalize legal administrative system).
Kriteria Kasus
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dibentuk untuk memberikan bantuan hukum kepada orang miskin dan buta hukum yang memiliki perbedaan dengan kantor hukum atau kantor advokat (law firm). Adapun pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBHI) lebih didasarkan pada pencapaian visi dan misi lembaga sehingga dalam mencapainya terdapat kriteria kasus untuk dapat ditangani sebagaimana berikut di bawah ini:
- Kriteria Tidak Mampu; dan
- Kriteria Buta Hukum.
Kriteria tidak mampu
Kriteria tidak mampu ditunjukkan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang secara ekonomi dan administrasi dapat diketahui bahwa yang bersangkutan benar-benar berhak untuk dilayani dan mendapatkan bantuan hukum. Selain dari pada itu, pemberian bantuan hukum dapat pula dilihat dari kemampuan klien untuk membayar jasa pengacara (lawyer fee) berdasarkan pendapatannya. Adapun untuk menilainya, ada formulir pendaftaran klien yang berisikan informasi sebagaimana berikut di bawah ini:
- Pekerjaan pokok dan tambahan;
- Harta yang dimiliki; dan
- Jumlah keluarga yang ditanggung.
Jika dilihat dari ketiga komponen tersebut memungkinkan klien untuk tidak dapat membayar jasa pengacara (lawyer fee) dan biaya transportasi selama penanganan perkara sehingga secara formal yang bersangkutan memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan hukum.
Kriteria Buta Hukum
Kriteria buta hukum dapat digabungkan dengan kriteria tidak mampu. Adapun istilah buta hukum (law ignorant) ini diidentifikasikan sebagai kasus-kasus yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak atau sering pula disebut dengan kasus-kasus struktural. Untuk menilainya digunakan analisis hak-hak warga negara yang dilanggar baik di dalam ranah hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial maupun budaya.
Jika calon klien secara formal tidak memenuhi syarat (mampu secara ekonomi), tetapi secara material layak dibela, maka yang bersangkutan berhak mendapatkan pelayanan hukum. Kriteria ini diformasikan berdasarkan sifat konflik dan derajat ketidakadilan yang dirasakan kelompok masyarakat yang disandung oleh kasus tersebut.
Demikian penjelasan singkat Penulis yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat bagi para dalam mengetahui sejarah perkembangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia. Jika ada pertanyaan ataupun tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk menjadikan kami lebih baik kedepannya. Terima kasih.