Prosedur Pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia
Atas dasar ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak - Hak Sipil dan Politik dan situasi bantuan hukum yang terjadi saat ini, dibuatlah Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang pada dasarnya menyatakan bahwa pemberi bantuan hukum merupakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang memberikan pelayanan bantuan hukum berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Adapun syarat - syarat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang memberi layanan Bantuan Hukum yang dapat disebut sebagai Pemberi Bantuan hukum (PBH) adalah :
- Berbadan hukum;
- Terakreditasi berdasarkan peraturan perundang - undangan;
- Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
- Memiliki pengurus; dan
- Memiliki program Bantuan Hukum.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang belum memenuhi persyaratan tersebut di atas tetap dapat memberikan bantuan hukum selama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) mempunyai pengacara atau advokat (advocate) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Warga Negara Republik Indonesia;
- Bertempat tinggal di Indonesia;
- Tidak berstatus sebagai Pegawai negeri Ntau pejabat negara;
- Berusia minimal 25 (dua puluh lima) tahun;
- Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA);
- Lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
- Mengikuti magang di kantor pengacara atau advokat (advocate) minimal selama 2 (dua) tahun;
- Tidak pernah dipidana atau dipenjara karena melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih;
- Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Selanjutnya ketentuan yang di atur pada Pasal 3 Kode Etik Advokat menegaskan bahwa pengacara atau advokat (advocate) dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya. Adapun pengacara atau advokat (advocate) tidak dapat menolak pelayanan jasa dengan alasan perbedaan sebagaimana yang disebutkan di bawah ini :
- Agama;
- Kepercayaan;
- Suku;
- Keturunan;
- Jenis kelamin;
- Keyakinan politik; dan
- Kedudukan sosialnya
Dalam peraturan internal Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum secara Cuma - Cuma menjelaskan bahwa pengacara atau advokat (advocate) memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma - cuma.
Kemudian dalam ketentuan berikutnya pengacara atau advokat (advocate) hanya dianjurkan untuk memberikan bantuan hukum selama 50 (lima puluh) jam dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa sehingga tidak ada sanksi jika para pengacara atau advokat (advocate) tidak melaksanakan sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut. Dengan tidak adanya sanksi dan tidak adanya ketentuan yang mengharuskan mengakibkan realisasi praktek pro bono pengacara atau advokat (advocate) tidak berjalan.
Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa ketentuan yang diatur dalam perundang - undangan Indonesia mengenai tata cara pembentukan serta pelaksanaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagaimana di bawah ini :
- Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Undang - Undang (UU) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
- Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Republik Indonesia No. 03 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum; dan
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Bantuan Hukum.
Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memiliki pedoman pokok nilai - nilai perjuangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Kode Etik Pengabdi Bantuan Hukum Indonesia.
Prinsip - prinsip perjuangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menjadi pedoman para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) dalam menjalankan tugas sehari - hari, selain dibutuhkan supaya ada kesatuan bahasa, pandangan, dan gerak langkah
diantara para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) yakni sebagai berikut :
- Bantuan hukum hanya diberikan kepada golongan yang lemah dan tidak mampu. Ini merupakan perwujudan dari semangat mengabdi tanpa pamrih yang tertanam dalam nilai-nilai budaya masyarakat indonesia.
- Memberi bantuan hukum berarti berjuang menegakkan hukum dengan tidak membiarkan adanya perbuatan yang melawan hukum. Bersikap membiarkan atau berkompromi dengan pelanggaran hukum, merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan komitmen perjuangan.
- Para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) harus selalu menjaga diri untuk tidak menjual prinsip, pendirian, dan sikap perjuangannya untuk mendapatkan keuntungan materi. Karena harus juga disadari bahwa apa yang dilakukan oleh Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) memberikan kepuasan batin yang tidak dapat dinilai dengan materi
- Dalam upaya memperjuangkan tercapainya tujuan dan misi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) tidak dibenarkan berkompromi atau tunduk kepada setiap bentuk ketidakadilan.
- Perjuangan para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) juga menyangkut proses, baik proses hukum maupun aspek kehidupan lainnya. Dengan rekayasa, keterampilan, keberanian, kejujuran dan integritas yang dimiliki oleh para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH), dapat mendorong perjuangan setiap masyarakat untuk memperoleh keadilan dan kebenaran yang hakiki; dan
- Perjuangan para Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) selalu mendahulukan kepentingan kolektif daripada kepentingan pribadi, serta menjadi pendukung gerakan emansipasi golongan masyarakat miskin. Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) tidak mempunyai kehendak untuk mengambil kepemimpinan dari rakyat miskin dalam perjuangan mendapatkan keadilan.
Pedoman ini selanjutnya dijabarkan dalam Kode Etik Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) Indonesia, yang merupakan pedoman moril dan profesional bagi pelaksanaan tugas Pengabdi Bantuan Hukum (PBH). Selain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang merupakan bagian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kini juga hadir lembaga - lembaga bantuan hukum lain yang didirikan oleh elemen - elemen masyarakat, organisasi keagamaan, fakultas hukum, bahkan partai politik. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di luar dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) antara lain :
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan;
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK);
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Street Lawyer Legal Aid;
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron;
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bhakti Keadilan;
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers;
- dan sebagainya.
Sesuai namanya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tersebut mengkhususkan pada kasus - kasus yang sesuai dengan sasaran penerima bantuan hukum. Contohnya :
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) khusus memberikan bantuan hukum pada perempuan; dan
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan khusus memberikan bantuan hukum untuk kasus pelanggaran hak atas kesehatan.
Terdapat juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak menamakan diri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tetapi memiliki visi dan misi yang serupa untuk memberikan bantuan hukum antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Dalam perkembangannya ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sungguh - sungguh memberi bantuan hukum. Namun ada juga yang membuat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) hanya sebagai kedok belaka yakni mereka mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) hanya sebagai salah satu cara untuk mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.
Setelah itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan tersebut kemudian disalahgunakan untuk tujuan - tujuan yang lebih subjektif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa saat ini telah banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang konsepnya jauh berbeda dari konsep yang dikembangkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Demikian penjelasan singkat dari Penulis yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca dalam mengetahui prosedur pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Jika ada pertanyaan ataupun tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.