Pernikahan Beda Agama
Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi:
- Hubungan antara suami dan istri;
- Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya; dan
- Hubungan antara keluarga dan pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, maka cakupan hukum keluarga, yakni peraturan tentang:
- Pernikahan;
- Perceraian;
- Hak-hak kebendaan dari pasangan;
- Pengasuhan anak;
- Kepatuhan anak terhadap orang tua;
- Intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua; dan
- Penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi.
Dalam lingkup hukum perkawinan khususnya di negara-negara muslim dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kelompok yang terdiri dari:
- Negara-negara yang menerapkan hukum perkawinan dari berbagai mazbah Islam yang dianutnya dan belum diubah seperti negara Saudi Arabia yang cenderung tidak memperbolehkan pernikahan beda agama;
- Negara-negara yang telah mengubah total sistem hukum perkawinannya dengan sistem hukum modern barat tanpa mengabaikan agama mereka. Adapun contohnya dapat dilihat pada negara Turki yang cenderung membolehkan pernikahan beda agama karena adanya pergeseran mengenai perkawinan dari urusan keagamaan menjadi urusan publik melalui pencatatan perkawinan oleh negara dengan catatan sepanjang pernikahan tersebut telah memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh negara;
- Negara-negara yang menerapkan hukum perkawinan Islam yang telah direformasi dengan konsep hukum modern seperti negara Indonesia yang mereformasi hukum perkawinan melalui undang-undang perkawinan.
Secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia
diatur dalam:
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan
- Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Mengenai syarat sahnya suatu pernikahan telah diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan sah adalah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Kemudian dilanjutkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa setiap perkawinan dicatatkan di negara.
Ketentuan tersebut senada dengan beberapa pasal dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana berikut di bawah ini :
- Ketentuan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI)Perkawinan adalah sah, apabila dilaksanakan berdasarkan hukum Islam sebagaimana dengan ketentuan yang dimuat dan diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
- Ketentuan Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI)Seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu dilarang melangsungkan perkawinan sebagaimana di bawah ini:
- Wanita yang ingin melangsungkan perkawinan masih terikat hubungan perkawinan dengan pria lain;
- Wanita yang masih dalam masa iddah;
- Wanita yang tidak beragam Islam.
- Ketentuan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI)Seorang wanita yang beragama Islam dilarang mengadakan perkawinan dengan seorang pria yang non islam.
- Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam (KHI)Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.
Ada beberapa penafsiran mengenai ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan menjadi tidak sah jika dilaksanakan diluar hukum agama dan kepercayaannya.
Pada dasarnya, hukum positif Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama. Adapun mengenai sahnya perkawinan itu sendiri dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan dari mereka yang ingin melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing tentang sah tidaknya perkawinan.
Pandangan Agama Islam
Pada prinsipnya Dalam ajaran hukum agama Islam tidak memperkenankan pernikahan beda agama sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Al-Quran pada Surah Al-Baqarah (2: 221) dan Surah Al-Mumtahanah (10) yang melarang orang islam menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman. (QS. al-Baqarah : 221)“
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir. (Qs. al-mumtahanah : 10)"
Muhammad Ali as-Shabuni menjelaskan makna Surah Al-Baqarah (2: 221) bahwa Allah SWT melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang-orang musyrik (orang yang tidak beragama Islam).
Di Indonesia sendiri dapat diketahui melalui Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) ke II Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa yang menetapkan pada angka (2) Perkawinan antar Agama Umat Beragama, bahwa:
- Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumnya.
- Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah.
Kemudian fatwa tersebut dikembangkan melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang
Perkawinan Beda Agama yang memutuskan:
- Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;
- Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul muatamad adalah haram dan perkawinannya tidak sah.
Dengan adanya fatwa tersebut, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan agar orang yang beragama Islam tidak boleh kawin dengan orang non Islam karena hukumnya haram.
Pandangan Agama Kristen Katolik
Dalam ajaran agama Katolik, pada prinsipnya melarang adanya perkawinan beda agama karena bagi Gereja Katolik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katolik dengan orang yang bukan katolik dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah.
Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali agama Hindu) tidak memandang demikian. Oleh karena itu, ajaran agama Katholik menganjurkan agar penganutnya mengadakan perkawinan dengan orang yang beragama Katolik.
Pandangan Agama Kristen Protestan
Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya melangsungkan perkawinan dengan orang yang memiliki keyakinan dan agama yang sama. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan utama untuk mencapai kebahagiaan dari perkawinan itu sendiri sehingga akan sulit tercapai kalau pasangan suami istri tidak seiman.
Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragama Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. Akan tetapi, di beberapa gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur beda agama ini, setelah pihak yang bukan beragama protestan membuat dan menandatangani surat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan.
Adapun pasangan yang masih tetap melangsungkan perkawinan walaupun berbeda agama, maka pihak gereja menganjurkan untuk melaksanakan secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama dan kepercayaan masing-masing.
Pandangan Agama Hindu
Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Hal mana suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat yang apabila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum agama Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya melalui seorang Pedande/ Pendeta.
Dalam hukum perkawinan agama Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan agama Hindu yang disahkan oleh Pedande/ Pendeta karena dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama.
Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan terlebih dahulu dilakukan upacara keagamaan. Jikalau salah satu calon mempelai tidak beragama Hindu, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk menjadi penganut agama Hindu terlebih dahulu sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Adapun alasan jikalau calon mempelai yang bukan beragama Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, sama halnya melanggar ketentuan yang diatur dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra yang berbunyi:
"Air pensucian tidak dapat diberikan kepada mereka yang mengabaikan upacara - upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia - sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri"
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama, dimana salah satu calon mempelai tidak beragama Hindu dilarang (tidak boleh) dan Pendande/ Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut.
Pandangan Agama Budha
Adapun dalam ajaran agama Budha, perkawinan antar agama dengan orang yang tidak beragama Budha menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan dengan syarat pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara dan proses yang ada dalam ajaran agama Budha.
Calon mempelai pengantin tidak diharuskan untuk masuk agama Budha, akan tetapi dalam prosesi upacara ritual perkawinan, kedua mempelai memiliki kewajiban mengucapkan :
"atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka".
Hal mana secara tidak langsung calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha walaupun sebenarnya yang bersangkutan hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
Perkawinan dicatat pada Negara
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Apabila perkawinan dilakukan oleh orang yang beragama Islam maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Sedangkan bagi yang beragama non islam jika ingin melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya, maka pencatatan perkawinan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (vide: Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
Pada praktiknya masih dapat kita temukan adanya perkawinan beda agama di Indonesia. Adapun Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia (UI) Prof. Wahyono Darmabrata menjelaskan beberapa cara yang sering dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda di Indonesia agar perkawinannya dapat dilaksanakan. Menurut beliau ada 4 (empat) cara yang sering dilakukan, yakni:
- Meminta penetapan pengadilan;
- Perkawinan dilakukan menurut agama masing - masing;
- Penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan
- Menikah di luar negeri.
Perlu diketahui bahwa ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) mengenai pernikahan beda agama yakni Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1400 K/ Pdt/ 1986 yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama yang hendak dicatatkan oleh laki-laki Andrianus Petrus Hendrik Nelwan yang beragama kristen dengan perempuan Andi Vonny Gani P. yang beragama Islam.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa dalam pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, Andi Vonny memilih untuk mengikuti prosesi pernikahan menurut hukum agama yang dianut oleh Andrianus Petrus Hendrik Nelwan. Oleh sebab itu, Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan pasangan tersebut.
Dalam hal ini apabila berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebagaimana yang dijelaskan pada yurisprudensi putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut, maka yang bersangkutan harus memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Sehingga, jika permohonan pencatatan perkawinan dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan tersebut menjadi sah menurut hukum.
Demikian penjelasan singkat dari Penulis yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan sedikit pencerahan kepada para pembaca mengenai legalitas pernikahan beda agama di Indonesia. Jika ada pertanyaan atau tanggapan terhadap artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Terima kasih.