Sejarah Hukum Perdata
Dalam perspektif sejarah, hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam 2 (dua) periode, yaitu :
- Periode Sebelum Indonesia Merdeka; dan
- Periode Setelah Indonesia Merdeka.
Periode Sebelum Indonesia Merdeka
Pada dasarnya hukum perdata diadopsi dari hukum perdata Belanda, hal mana dikarenakan aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan bangsa Belanda yang kemudian negara jajahannya dikenal dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch Indie).
Adapun asal usul hukum perdata Belanda sendiri berasal dari hukum perdata Prancis yang lebih dikenal dengan istilah Code Napoleon yang kodifikasinya disusun berdasarkan hukum romawi Corpus Juris Civilis yang pada saat itu dianggap hukum yang paling sempurna. Adapun pada saat itu di Negara Perancis memuat hukum privat dalam 2 (dua) kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama :
- Hukum Perdata (Code Civil); dan
- Hukum Dagang (Code de Commerce).
Kedua kodifikasi tersebut diberlakukan di negeri Belanda selama 24 (dua puluh empat) tahun, hal mana pemberlakuan kodifikasi tersebut sewaktu Negara Prancis menguasai Negara Belanda pada tahun 1806 sampai setelah kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1813.
Sekitar pada tahun 1814, Negara Belanda memulai menyusun Kitab Undang - undang Hukum Perdata atau Sipil yang kemudian dikenal sebagai KUHS Negeri Belanda, hal mana penyusunan KUHS Negeri Belanda tersebut disusun dengan berdasarkan kodifikasi hukum belanda yang dibuat dan disusun oleh panitia yang diketahui bernama J. M. Kemper yang kemudian kodifikasi tersebut dikenal sebagai Ontwerp Kemper.
Adapun pada saat itu J.M. Kemper merupakan seorang guru besar di bidang hukum di Negara Belanda, beliau mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar membuat kodifikasi sendiri yang memuat kumpulan hukum Belanda Kuno yang meliputi:
- Hukum Romawi;
- Hukum Perancis; dan
- Hukum kanonik (canon law).
Sehingga pada saat itu beliau membuat draft undang-undang tersebut yang diberi nama "Rancangan 1816". Berjalan seiringnya waktu, pada tahun 1824 J. M. Kemper meninggal dunia sebelum menyelesaikan tugasnya yang kemudian dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia (pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara).
Tidak lama setelah itu dibentuklah komisi baru dengan tujuan yang sama yaitu untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum di negeri Belanda. Pembentukan hukum perdata Belanda ini selesai pada tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Februari 1830.
Akan tetapi, sekitar bulan Agustus tahun 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda (Belgia) sehingga kodifikasi ditangguhkan yang kemudian kodifikasi tersebut baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838 sebagaimana Surat Keputusan Raja tanggal 10 April 1838, Stb. No. 12/1838.
Maka terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1838 semua wetboek diundangkan dan dinyatakan berlaku. Adapun Surat Keputusan Raja tanggal 1 Februari 1831 terdapat beberapa aturan-aturan (undang-undang) yang disatukan dalam satu Wetboek atau Kitab Hukum, yaitu:
- Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel (WvK);
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (BW);
- Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata atau Burgerlijke-Rechtsvorderings (BRv);
- Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Straafvordering (Sv).
Meskipun Wetboek van Koophandel (WvK) dan Burgerlijke Wetboek (BW) Belanda merupakan kodifikasi bentukan nasional Belanda, akan tetapi isi dan bentuknya sebagian besar mirip/ serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Negara Perancis.
Prof. Mr. J. van Kan menyatakan bahwa kodifikasi ini merupakan terjemahan dari Code Civil, hal mana kodifikasi tersebut merupakan hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
Pada saat itu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Belanda diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda termasuk di Indonesia dengan cara dibentuk Burgerlijke Wetboek (BW) Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan Burgerlijke Wetboek (BW) Belanda.
Untuk kodifikasi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem dengan harapan kodifikasi yang dihasilkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negara Belanda dan pada saat itu juga pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C. C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) di Hindia Belanda, hal mana mahkamah tersebut diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi hukum perdata di Indonesia.
Mr. C. C. Hagemann pada saat itu tidak berhasil sehingga pada tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda sehingga pada tanggal 31 Oktober 1837 ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem yang kemudian diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan anggota masing-masing Mr. A. A. Van Vloten dan Mr. Meyer.
Berjalan seiringnya waktu kepanitiaan tersebut juga tidak berhasil sehingga dibentuk panitia baru yang kembali diketuai Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem dengan anggotanya yang telah diganti yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. A. J. van Nes yang pada akhirnya panitia tersebut berhasil mengkodifikasi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit dengan dibantu J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein dalam menghasilkan kodifikasi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Indonesia. Kemudian pada tanggal 30 April tahun 1847 kodifikasi tersebut diumumkan melalui Staatsblad No. 23 dan mulai diberlakukan pada bulan Januari tahun 1948.
Periode Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Bangsa Indonesia merdeka dari Bangsa Belanda berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan masih tetap berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia dikarenakan Burgerlijke Wetboek (BW) Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Indonesia sebagai pusat hukum perdata Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam bidang hukum perdata.
Akan tetapi, secara keseluruhan perjalanan hukum perdata Indonesia dalam sejarahnya mengalami beberapa proses pertumbuhan maupun perubahan, hal mana pada perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri seperti sebagian materi Burgerlijke Wetboek (BW) sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yang kemudian diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru seperti :
- Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Tanggungan;
- Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kepailitan;
- dan sebagainya
Adapun isi dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Indonesia terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:
- Buku I tentang Orang (Personrecht);
- Buku II tentang Benda (Zakenrecht);
- Buku III tentang Perikatan (Verbintenessenrecht);
- Buku IV tentang Daluwarsa dan Pembuktian (Verjaring en Bewijs);
Buku I tentang Orang / Personrecht
Dalam buku ini mengatur ketentuan hukum tentang perseorangan dan keluarga, hal mana ketentuan hukum yang diatur adalah status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum yang terdiri antara lain yaitu ketentuan mengenai hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, keluarga, perkawinan, perceraian dan ketentuan mengenai hilangnya hak keperdataan.
Untuk ketentuan mengenai perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Buku II tentang Benda / Zakenrecht
Dalam buku II ini mengatur tentang ketentuan hukum benda, hal mana ketentuan hukum yang diatur adalah hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berhubungan dengan benda yang terdiri dari hak-hak kebendaan, waris dan juga penjaminan. Adapun yang dimaksud dengan benda dalam buku ini meliputi:
- Benda berwujud yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan;
- Benda berwujud yang bergerak seperti benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan
- Benda tidak berwujud seperti hak tagih atau utang piutang.
Untuk ketentuan mengenai tanah, sebagian ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula bagian ketentuan mengenai penjaminan dengan hipotik juga telah dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan.
Buku III tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
Dalam buku III ini mengatur tentang ketentuan hukum perikatan atau perjanjian, walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya memiliki makna yang berbeda dalam hal ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum sebagaimana ketentuan di bidang perikatan yang mengatur mengenai jenis-jenis perikatan yang terdiri dari perikatan yang timbul dari undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.
Untuk ketentuan mengenai bidang perdagangan, Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) juga digunakan sebagai acuan hal mana isi dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) berkaitan erat dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) terkhususnya pada Buku III yang bisa dikatakan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) merupakan bagian khusus dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Buku IV tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
Dalam buku IV Hukum Perdata ini mengatur tentang daluwarsa dan pembuktian, hal mana dalam buku ini memuat ketentuan hukum mengenai hak dan kewajiban subyek hukum terkhususnya mengenai batas atau tenggat waktu dalam mempergunakan hak keperdataannya dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Adapun sistematika yang ada pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) masih tetap digunakan sebagai landasan oleh para ahli hukum yang juga masih diajarkan pada mahasiswa fakultas hukum di Indonesia.
Sekian penjelasan singkat mengenai sejarah hukum perdata yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan kirimkan pesan atau tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima Kasih.