Metode Penafsiran Hakim
Sangat sulit untuk mengetahui apakah suatu kasus tertentu termasuk atau tidak dalam ketentuan pidana baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Sehingga pada pemeriksaan perkara, Hakim wajib menetapkan arti yang tepat dari ketentuan-ketentuan pidana yang akan ditetapkan. Hal mana sebelum memberikan putusan, Hakim dalam memeriksa perkara harus menafsirkan dan menjabarkan ketentuan pidana tersebut. Adapun metode-metode penafsiran yang lazim digunakan oleh Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara di pengadilan untuk mendapatkan pemecahan yang adil adalah sebagai berikut:
- Metode Penafsiran Gramatikal;
- Metode Penafsiran menurut Sejarah Undang Undang; dan
- Metode Penafsiran Sistematis.
Metode penafsiran Gramatikal
Hakim disini memperhatikan arti ketentuan menurut tata bahasa sebagaimana contoh pada putusan Kuda Pemacak "Frans" Hoge Raad (HR) Tanggal 12-11-1900, hal mana pada peraturan provinsi Friesland mengenai pemeriksaan kuda pemacak menentukan pelarangan menggunakan pemacakan dan juga pelarangan secara terbuka untuk menawarkan pemacakan terhadap kuda yang diperiksa.
Seseorang telah menggunakan seekor kuda jantan untuk pemacakan akan tetapi orang tersebut tidak menawarkan pemacakan, sehingga penuntut umum pada persidangan tersebut menganggap perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan pidana berdasarkan ketentuan yang diatur pada peraturan provinsi Friesland, akan tetapi Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menetapkan putusan yang berbeda karena hakim berpendapat bahwa terdakwa dianggap tidak dapat dipidana dengan pertimbangan bahwa undang-undang tidak mungkin berlawanan dengan perkataan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang.
Metode Penafsiran menurut Sejarah Undang-Undang
Disini arti ketentuan dalam metode penafsiran menurut sejarah undang-undang ditetapkan berdasarkan laporan, perjanjian, nota, diskusi, sidang dan sebagainya yang dalam hal ini berperan dalam perumusan ketentuan tersebut sebagaimana contoh pada Putusan Tembakau (HR 28-11-1961). Oleh Undang-Undang Tembakau di Negara Belanda yang menyatakan bahwa orang dilarang memberikan baik hadiah, tambahan, maupun kupon pada penjualan hasil tembakau, hal mana suatu perkumpulan koperasi memberikan kepada anggotanya "dividen konsumen" sebesar 4 % (empat persen) dengan menukarkan bon-bon kasa yang diantaranya terdapat bon penjualan hasil tembakau. Dari penjelasan Menteri Keuangan ketika Undang-Undang Tembakau dibuat, tidak dapat ditarik kesimpulan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) bahwa pada larangan undang-undang tersebut meliputi pemberian deviden untuk konsumen oleh perkumpulan koperasi kepada anggotanya.
Metode Penafsiran Sistematis
Disini arti ketentuan ditetapkan berdasarkan hubungan ketentuan itu dengan ketentuan-ketentuan yang lain (sistematis), hal mana penafsiran tersebut berdasarkan sistem pada undang-undang sebagaimana contoh: HR 24-5-1897 (Putusan Abortus). Pada Pasal 346 KUHP menetapkan bahwa dapat dipidana orang yang menyebabkan keguguran janin sebagaimana ketentuan ini terdapat dalam Bab XIX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan terhadap nyawa. Oleh karena itu, Hoge Raad menyimpulkan dari ketentuan pasal tersebut bahwa perihal menyebabkan keguguran janin termasuk dalam ketentuan pidana jikalau janin tersebut itu hidup.
Penafsiran Restriktif atau Ekstensif
Melihat hasilnya, cara penafsiran yang dipilih oleh Hakim untuk menafsirkan suatu ketentuan dapat dinamakan restriktif atau ekstensif, hal mana jika ketentuan itu ditafsirkan secara lebih sempit atau lebih luas dibandingkan jika ditafsirkan menurut tata bahasa. Sehingga dengan adanya penafsiran tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah pada putusan abortus dan putusan penyerobotan rumah kosong yang terjadi di Wilayah Nijmegen merupakan contoh dari penafsiran restriktif atau ekstensif?
Dalam beberapa kejadian, Hakim menafsirkan suatu ketentuan sedemikian ekstensif sehingga dapat menimbulkan pertanyaan mengenai apakah asas legalitas pada kejadian tersebut tidak dirusak oleh penerapan undang-undang dengan berdasarkan analogi terselubung sebagaimana contoh pada putusan aliran listrik (HR 23-5-1921). Adapun perkara dalam putusan ini mengenai penggunaan aliran listrik yang tidak melalui meteran pengontrol, hal mana pada penggunaan listriknya yang tidak diketahui oleh petugas dengan cara menghentikan meteran tersebut sebagaimana cara yang dilakukan yakni dengan menusukkan sebuah paku setiap setelah di kontrol oleh petugas pemeriksa meteran. Sehingga dengan adanya kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah tenaga listrik merupakan barang yang dapat diambil dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum sebagaimana ketentuan yang diatur pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?
Jaksa Agung Muda pada Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tidak berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pencurian hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang berwujud, oleh karena itu maka perbuatan pencurian listrik tidak dapat dipidana baik menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa pada permasalahan ini terdapat kekosongan hukum dalam perundang-undangan. Adapun pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak boleh dipaksakan supaya berlaku dan diterapkan pada perbuatan tersebut. Hal demikian menurut pendapat Jaksa Agung Muda perbuatan pemaksaan penerapan pasal tersebut dilarang menurut ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Adapun Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tidak sependapat dengan pendapat Jaksa Agung Muda tersebut, Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) berpendapat bahwa ketentuan pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan pada perbuatan tersebut karena ketentuan pada pasal ini bermaksud untuk melindungi harta benda milik orang lain sehingga ketentuan yang menyatakan dapat dipidana mengambil barang dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum itu telah terpenuhi. Walaupun Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) berpendapat seperti itu, akan tetapi pendapatnya tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai apa arti "barang" tersebut.
Berdasarkan contoh kasus pencurian listrik tersebut di atas, dapat diartikan jika suatu perbuatan tidak memenuhi perumusan delik atau unsur-unsur pidana tidak terpenuhi pada ketentuan peraturan undang-undangan, baik pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun pada perundang-undangan lainnya, maka majelis hakim menggunakan metode penafsiran ekstensif yang dalam metodenya tersebut mengartikan perumusan delik sedemikian luas sehingga perumusan delik dalam kasus pencurian listrik tersebut dapat terpenuhi. Adapun dengan penerapan berdasarkan analogi sebaiknya juga dijatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut tidak memenuhi suatu perumusan delik tertentu akan tetapi mirip dengan perbuatan - perbuatan lain yang memang memenuhi perumusan delik tersebut.
Sekian penjelasan singkat mengenai metode penafsiran yang dilakukan Hakim dalam memeriksa suatu perkara di pengadilan yang dirangkum dari berbagai, semoga artikel ini bermanfaat. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membuat kami lebih baik kedepannya.Terima kasih.
Sumber:
Citra Wacana. 2008. KUHP & KUHAP.
Sahetapy, J. E. 2007. Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti: Bandung.
Pengunjung juga membaca :