Asas-Asas Hukum Pidana
Dalam Hukum Pidana ada 2 (dua) syarat berlakunya hukum pidana yakni berdasarkan ruang/ tempat (locus delicti) dan berdasarkan waktu (tempus delicti) sebagaimana berikut di bawah ini :
Asas-asas Hukum Pidana menurut ruang / tempat (locus delicti) yaitu :
- Asas Teritorial (Wilayah);
- Asas Personalitas (Nasional Aktif);
- Asas Perlindungan (Nasional Pasif);
- Asas Universal.
Asas - Asas Hukum Pidana menurut Ruang / Tempat (Locus Delicti)
Asas Teritorial / Wilayah (Sphere of Spece/Ground gebeid/Ruimtegebeid)
Asas Teritorial (Sphere of Spece/Ground gebeid/Ruimtegebeid) merupakan asas yang menjelaskan bahwa barang siapa yang melakukan delik / perbuatan pidana di wilayah atau negara tempat berlakunya hukum pidana maka pembuat / pelaku tindak pidana akan tunduk pada aturan hukum pidana yang berlaku di wilayah tersebut dengan kata lain yang menjadi patokan pada asas ini adalah tempat atau wilayah terjadinya tindak pidana tanpa mempersoalkan pelaku tindak pidana. Hampir di setiap negara termasuk di Indonesia menerapkan asas tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:13) yang menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam peraturan perundang - undangan di Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Asas teritorialitas juga diatur di dalam ketentuan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:13) yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan pidana Indonesia juga berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melakukan tindak pidana di dalam kapal atau pesawat udara milik Indonesia. Adapun tujuan dari ketentuan Pasal 3 tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam hal mengadili perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau wilayah udara bebas (tidak termasuk wilayah territorial Indonesia). Wilayah Asas Teritorial (Sphere of Spece/ Ground gebeid/ Ruimtegebeid) meliputi wilayah daratan, wilayah laut dan wilayah udara sebagaimana wilayah berlakunya hukum pidana Indonesia yang mengikuti batas kedaulatan negara Indonesia, yakni dari Sabang sampai Merauke dan untuk batas lautnya meliputi seluruh wilayah perairan laut beserta perairan pedalaman negara Indonesia.
Asas Teritorialitas dalam hubungannya dengan hukum internasional terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
- Asas yang menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang ada di wilayahnya; dan
- Asas yang menetapkan bahwa yurisdiksi negara tidak hanya berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang ada di wilayahnya, akan tetapi juga berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang terkait dengan negara tersebut baik yang ada maupun yang terjadi di luar wilayah negara tersebut.
Adapun kewenangan Asas Teritorial dalam hukum internasional terbagi menjadi 2 (dua) kewenangan, yaitu :
- Asas teritorial yang subyektif, yakni membenarkan kewenangan untuk melakukan penuntutan dan peradilan serta penjatuhan pidana atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayah teritorial negara yang bersangkutan, akan tetapi diselesaikan di negara lain;
- Asas Teritorial yang obyektif, yakni membenarkan kewenangan untuk melakukan penuntutan dan peradilan serta penjatuhan pidana atas tindak pidana yang dilakukan di luar batas teritorial suatu negara tetapi :
- Perbuatan tersebut diselesaikan di negara yang memiliki yurisdiksi tersebut; atau
- Mengakibatkan dampak yang sangat merugikan kepentingan ekonomi, kesejahteraan warga negara yang bersangkutan.
Adapun pengecualian asas teritorial berdasarkan Hukum Internasional yakni orang yang memiliki kekebalan atau hak immunitas atau exteritorialitet sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu :
- Kepala Negara Asing;
- Perwakilan Diplomatik dan Konsulat;
- Kapal Publik Negara Asing;
- Angkatan Bersenjata Asing
- Lembaga Internasional (vide: Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)).
Asas Personalitas (Nasional Aktif)
Asas personalitas merupakan bagian dari asas personengebied yang melekat pada kewarganegaraan pembuat delik. Di Indonesia, asas ini juga diterapkan apabila Warga Negara Indonesia (WNI) melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana meskipun terjadi di luar negara Indonesia maka WNI tersebut dapat dikenakan Hukum Pidana Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:14) yang menyatakan bahwa Ketentuan pidana dalam peraturan perundang - undangan negara Indonesia diterapkan bagi warga negara yang berada di luar Indonesia yang melakukan :
- Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan ketentuan yang diatur pada Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
- Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana diatur pada peraturan perundang - undangan negara Indonesia dipandang sebagai suatu kejahatan atau perbuatan tindak pidana, sedangkan menurut perundang - undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
Perluasan Asas Nasionalitas aktif dapat dilihat dari Pasal 5 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur bahwa penuntutan terhadap suatu perbuatan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) huruf (b) juga dapat dilakukan apabila tersangka baru menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) setelah melakukan perbuatan tersebut.
Terkait Asas Personalitas juga diatur dalam Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:14) yang menyatakan apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan Warga Negara Indonesia (WNI) di negara lain yang ketentuan hukumnya telah menghapus hukuman mati maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan tersebut.
Asas Perlindungan (Nasional Pasif)
Asas perlindungan merupakan pemberlakuan hukum terhadap siapa pun juga baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Asas ini mengutamakan keselamatan kepentingan suatu negara sebagaimana negara yang berdaulat wajib melindungi "Kepentingan Nasional" yang berarti dalam asas ini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual akan tetapi perlindungan terhadap kepentingan nasional atau kepentingan umum atas tindakan yang dianggap sangat merugikan kepentingan nasional. Adapun kepentingan nasional yang dimaksud, yakni :
- Keselamatan Kepala Negara (Presiden) ataupun Perwakilan Negara;
- Keutuhan dan Keamanan Negara serta Pemerintah;
- Keamanan Penyerahan Barang;
- Keamanan Angkatan Perang pada Waktu Perang;
- Keamanan Martabat Kepala Negara (Presiden);
- Keamanan Ideologi Negara (Pancasila dan Haluan Negara);
- Keamanan Perekonomian;
- Keamanan Uang Negara seperti nilai - nilai dari surat - surat yang dikeluarkan negara;
- Keamanan Pelayaran dan Penerbangan terhadap Pembajakan.
Adapun asas perlindungan tercantum dalam Pasal 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)(2008:13-14) yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukannya di luar Indonesia yang dalam hal ini terdiri dari :
- Salah satu kejahatan yang ditentukan pada Pasal 104, 106, 107, dan 131 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
- Suatu kejahatan mengenai mata uang seperti uang kertas, materai dan merek yang dikeluarkan dan digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
- Pemalsuan surat baik itu surat hutang, sertifikat hutang atas tanggungan negara (termasuk tanggungan suatu daerah maupun bagian dari daerah), surat saham, tanda dividen ataupun tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat serta tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat;
- Salah satu kejahatan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 438, 444 sampai dengan Pasal 446 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembajakan laut, ketentuan pada Pasal 447 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan ketentuan pada Pasal 479 huruf (j) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penguasaan (pembajakan) pesawat udara secara melawan hukum serta ketentuan pada Pasal 479 huruf (l), (m), (n), dan huruf (o) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Asas perlindungan juga tercantum dalam dalam Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:15) yang merupakan perluasan dari Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal mana pasal tersebut untuk melindungi kepentingan hukum Negara Indonesia di bidang perkapalan. Pasal 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:13) menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Adapun Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:15) yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang - undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu yang berkewarganegaraan Indonesia yang berada di luar wilayah indonesia sekalipun berada di luar perahu melakukan salah satu kejahatan atau tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan pasal yang diatur pada Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia maupun juga dalam ordonansi perkapalan.
Asas Universal
Asas universal merupakan asas yang berlaku umum tanpa batas wilayah atau orang yang menyatakan setiap orang yang melakukan kejahatan atau perbuatan pidana dapat dituntut berdasarkan undang - undang atau hukum pidana di luar wilayah hukum negara untuk kepentingan hukum seluruh dunia, hal mana kejahatan tersebut dianggap kejahatan yang sangat berbahaya sehingga perlu dicegah dan diberantas. Dalam asas ini terkandung perlindungan terhadap kepentingan internasional, jadi bukan untuk kepentingan suatu negara.
Asas - Asas Hukum Pidana berdasarkan Waktu (Tempus Delicti)
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut waktu diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:13), hal mana waktu merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan waktu terjadinya tindak pidana. Dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (2008:13) memiliki banyak makna sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo yang menyatakan bahwa :
- Tidak ada delik atau tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya sebagaimana istilah yang dikenal dalam asas ini yaitu ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”. Adapun istilah lain yang juga sering digunakan dalam asas tersebut yaitu”Nullum crimen sine lege stricta" yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas. Istilah tersebut dikenal sebagai "Asas Legalitas", hal mana asas tersebut melindungi orang-orang dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa dalam mengadili pelaku tindak pidana, oleh sebab itu seseorang tidak dapat dihukum atau dipidana sebelum ada peraturan / undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu;
- Memiliki makna "lex temporis delicti" yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu undang-undang berlaku terhadap perbuatan pidana yang terjadi saat itu. Maksud makna tersebut yaitu bahwa seseorang harus diadili berdasarkan aturan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan, namun hal ini dapat dikesampingkan apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan dan sebelum perkara itu diadili sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)(2008:13) yang menyatakan bahwa apabila ada perubahan dalam peraturan perundang - undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Adapun contoh kasusnya yaitu mengenai penipuan yang hukuman maksimalnya 4 (empat) tahun (Pasal 378 KUHP) yakni Jika ada seseorang yang melakukan penipuan pada tanggal 6 Februari 2008 namun perkara tersebut masih dalam pemeriksaan awal, lalu kemudian pada tanggal 10 Maret 2008 aturan pidana maksimal mengenai penipuan diubah menjadi 6 (enam) tahun maka berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, hakim harus menggunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa yakni aturan lama dengan ancaman pidana 4 (empat) tahun begitupun juga sebaliknya apabila aturan yang diubah mengalami perubahan penurunan ancaman hukuman maka aturan yang dipakai adalah aturan yang baru;
- Undang - undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut (Non - Retroaktif).Maksud tidak berlaku surut yakni bahwa jika seseorang melakukan perbuatan tindak pidana pembunuhan namun tindak pidana pembunuhan belum diatur dalam undang-undang hukum pidana maka seseorang tersebut tidak boleh di pidana dan apabila suatu saat tindak pidana pembunuhan telah diatur dalam undang-undang hukum pidana, maka orang yang mencuri tadi tetap tidak boleh dihukum karena ketika ia melakukan pencurian, belum ada undang-undang yang mengaturnya. (untuk penjelasan selengkapnya tentang Asas Non-Retroaktif silahkan baca disini: Asas Non-Retroaktif).
Sekian dan semoga bermanfaat.
Terima Kasih.
Pengunjung juga membaca : Asas Non-Retroaktif, Asas-Asas Hukum Acara Perdata.