Tanggung Jawab Dokter Dalam Pelayanan Pasien
Dokter dan/atau dokter gigi merupakan salah satu tenaga kesehatan
yang ada di Rumah Sakit. Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Profesi seorang dokter memiliki hak dan kewajiban yang telah
ditetapkan di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak seorang dokter dan/ atau
dokter gigi dimuat dan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang terdiri dari:
- Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
- Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
- Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
- Menerima imbalan jasa
Hak yang ditetapkan dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran juga
diimbangi dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter dan/ atau
dokter gigi sebagaimana dimuat dan diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Negara Republik IndonesiaNomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yakni:
- Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
- Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
- Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
- Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
- Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Dokter dan/ atau dokter gigi sebagai tenaga profesional di bidang
kesehatan terdapat nilai-nilai yang harus dijunjung dan dipertahankan.
Nilai-nilai kesopanan dan akhlak manusia ini kemudian dirumuskan dan
dikodifikasikan sehingga melahirkan suatu code of conduct atau kode etik
(Johan Nasution, 2005: 9). Dalam bukunya, Johan Nasution menjelaska bahwa dalam praktik tentang apa yang dimaksud dengan etik kedokteran
mempunyai dua sisi yang saling mempengaruhi. Adapun kedua sisi yang dimaksud
adalah;
- Etik Jabatan (Medical Ethics); dan
- Etik Asuhan (Ethics Of Medical Care).
Etik Jabatan (Medical Ethics) yang dimaksud adalah menyangkut
masalah yang berhubungan dengan sikap para dokter terhadap sejawatnya,
sikap dokter terhadap para pembantunya dan sikap dokter terhadap
masyarakat dan Pemerintah. Sedangkan Etik Asuhan (Ethics Of Medical
Care) yaitu merupakan etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari mengenai sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang
menjadi tanggung jawabnya (Johan Nasution, 2005: 10).
Tanggung jawab dokter dan/ atau dokter gigi dalam menjalankan
tugasnya juga berhubungan erat dengan pertanggungjawaban hukum.
Salah satunya yang sering terkait adalah pertanggungjawaban dokter
di bidang hukum perdata dan hukum pidana. Dokter dan/ atau dokter gigi
dalam menjalankan tugas profesinya, selain disiplin dan etika profesi juga
terdapat tanggung jawab hukum yang diemban oleh dokter dan/ atau dokter
gigi.
Tanggung jawab dokter dan/ atau dokter gigi dibidang hukum
perdata berkaitan erat dengan hubungan dokter dan/ atau dokter gigi
dengan pasien yang bersifat privat dalm hal ini terkait pelayanan kesehatan.
Hubungan dokter dan/ atau dokter gigi dengan pasien ini masuk ke dalam
suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian terapeutik. Seseorang
dapat dimintai tanggung jawab hukumnya (liable) apabila melakukan
kelalaian atau kesalahan dan kesalahan atau kelalaian itu menimbulkan kerugian
(Wila Chandrawila, 2001: 31).
Orang yang menderita kerugian akibat
kelalaian atau kesalahan itu berhak untuk menggugat ganti rugi. Tanggung
jawab dalam hukum kedokteran disebut sebagai medical liability.
Sehubung dengan bentuk perikatan antara dokter dan/ atau dokter gigi
dengan pasien bukanlah perikatan hasil tetapi perikatan ikhtiar, maka
prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian dokter dengan pasien adalah
juga ikhtiar (upaya semaksimal mungkin). Dokter dapat digugat oleh
pasien dengan dasar hukum Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa:
"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugiannya itu, mengganti kerugian tersebut".
Gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi adanya 4 (empat) unsur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tersebut, yaitu sebagai berikut:
- Pasien harus mengalami kerugian;
- Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit juga bisa bertanggung jawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya);
- Hubungan kausal antara kerugian dengan kesalahan; dan
- Perbuatan itu melanggar hukum.
Hendrojono Soewono (2007: 147) mengemukakan bahwa tuntutan wanprestasi dalam hukum perdata menuntut adanya suatu perjanjian antara dokter dan/ atau dokter gigi dengan pasien. Hal mana perjanjian tersebut biasanya timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis) atau perikatan hasil atau akibat (resultaatsverbintenis).
Perikatan usaha (inspanningsverbintenis) ini memiliki arti bahwa
dokter harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat
menyembuhkan penyakit pasien, hal ini berbeda dengan kewajiban yang
didasarkan karena hasil atau akibat (resultaat) maka dokter tidaklah diukur
dengan apa yang telah dihasilkannya tetapi ia harus mengerahkan segala
kemampuannya bagi pasien. Dokter wajib memberikan perawatan dengan
berhati-hati dan penuh perhatian sesuai dengan standar profesi. Apabila
seorang dokter dan/ atau dokter gigi melakukan unsur tersebut maka ia
dapat dituntut secara perdata.
Berbeda dengan penuntutan di bidang hukum pidana, bahkan ada
perbedaan antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medik
(Hendrojono Soewono, 2007: 187). Tindak pidana biasa yang diperhatikan
terutama adalah akibat (gevolg) sedangkan pada tindak pidana medik yang
diperhatikan bukan pada akibatnya, tetapi pada penyebabnya atau kausannya. Walaupun akibatnya fatal tetapi tidak dapat ditemui unsur
kesalahan atau kelalaian, maka dokter tidak dapat dipersalahkan.
Tindak pidana
biasa dapat ditarik garis langsung antara sebab dan akibatnya karena sudah
terlihat jelas. Misalnya dalam hal menusuk perut dengan pisau, jelas
bahwa lukanya perut tersebut (akibat) disebabkan karena tindakan
seseorang menusukkan pisau ke perut seseorang hingga luka. Pada tindak
pidana medik sangat berlainan penilaiannya dan semua tindakan yang
dilakukan itu disesuaikan dengan tujuannya.
Sebagai contoh, seorang ahli
bedah melakukan pembedahan dengan melukai tubuh seorang pasien
tujuannya adalah hanya berusaha untuk penyembuhan penyakit yang
diderita pasiennya, namun perlu diwaspadai bahwa pada setiap tindakan
medik seperti pembedahan akan selalu ada resiko yang timbul sebagai
sesuatu yang bersifat negatif.
Masalah pertanggungjawaban pidana
seorang dokter di Indonesia dimuat dan diatur dalam Pasal 267, 299, 304, 322, 344, 346, 347, 348, 349 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mencakup
tanggung jawab hukum yang ditimbulkan baik karena kesengajaan atau
kelalaian. Dokter dan/ atau dokter gigi hanya dapat dituntut dalam hal
pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia dalam arti terjadi
apa yang dikenal dengan culpa lata (kealpaan).
Demikian penjelasan singkat mengenai Tanggung Jawab Dokter Dalam Pelayanan Pasien yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan Sarannya dibutuhkan untuk menjadikan kami lebih baik dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.