Sejarah Lahirnya Restitusi dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Sejarah hukum di Indonesia mengenai penggunaan istilah restitusi
awalnya hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah ganti kerugian, hal ini
dapat dijumpai dalam berbagai kitab undang-undang hukum yang ada di
Indonesia. Menurut Ter Haar, pemberian ganti kerugian terhadap korban suatu
tindak pidana sebenarnya tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia karena hukum
adat telah mengenalnya melalui sanksi pemulihan keadaan.
Salah satu contoh perundang-undangan yang didalamnya terdapat
beberapa ketentuan yang mengatur tentang ganti rugi kerugian korban tersebut
adalah perundangan-undangan yang berasal dari Zaman Majapahit. Dalam
perundang-undangan Majapahit tersebut terdapat beberapa ketentuan yang
mengatur mengenai ganti kerugian korban, misalnya dalam kejahatan pencurian,
dimana dalam hal ini pelaku harus menebus kesalahannya dengan membayar uang ganti kerugian kepada orang yang kena curi atau korbannya, selain dikenai
denda oleh raja yang berkuasa.
Dalam delik pembunuhan, selain pembunuh
menerima penghukuman dari raja, pembunuh tersebut juga harus membayar
kerugian kepada ahli waris korban. Uang ganti kerugian korban yang dimaskud
disebut dengan Panglisyawa, Pamidara, atau Patukusyawa.
Ketentuan ini
sekarang tidak berlaku lagi namun ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan nilai-nilai yang pernah ada
dalam hukum aslinya. Sehingga meskipun ketentuan ini sekarang sudah tidak
berlaku, namun hal ini dikutip adalah dalam rangka studi perbandingan antara
hukum positif dengan hukum yang pernah ada dan berlaku di Indonesia. Bahkan,
menurut Sudarto ada kecendrungan dari pihak pembentuk undang-undang untuk
menggali hukum asli dan menemukan kembali nilai-nilai yang pernah ada dalam
hukum asli itu.
Berkaitan dengan hal tersebut Barda Nawawi Arief menulis salah satu
kajian alternatif yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan
hukum nasional saat ini adalah kajian terhadap sistem hukum yang hidup di
dalam masyarakat. Dikatakan demikian, karena sering dinyatakan bahwa sistem
hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional
dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak
mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat
itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum
agama.
Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di berbagai daerah di
Indonesia ditemukan adanya sanksi adat yang menyerupai ganti kerugian, denda
adat, penutup malu dan sebagainya yang dapat diterapkan terhadap perbuatan
yang dianggap bertentangan atau melanggar hukum adat masyarakat setempat.
Adapun sanksi adat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Aceh
Di Aceh perbuatan melukai orang dianggap memperkosa kepentingan hukum
orang yang dilukai dan kalangan keluarganya sehingga pelaku harus
membayar denda (ganti kerugian) atas permintaan orang yang dilukai atau
korban dan keluarganya. Uang denda atau ganti kerugian ini disebut hutang
darah atau dyat sebagai alat pemulihan kembali hubungan antara pihak
pembuat luka dan pihak korbannya. Ini merupakan konkritisasi dari asas
hukum (adat) dalam bentuk pepatah adat yaitu:
"Darah disukat, luka disepat, rusak mubila, mati mubila (darah ditimbang, luka diukur, pencacatan harus dibela, mati harus dibalas)".
Minangkabau
Di Minangkabau perbuatan yang sama melukai orang membawa denda yang
besarnya (uang bangun) tergantung dari tempat dan keadaan luka-luka itu serta dari kedudukan korban di dalam masyarakat. Ini merupakan wujud
konkrit dari asas hukum (adat) setempat dalam bentuk pepatah adat yaitu:
"Salah cangang mambari pampeh (melukai orang membawa denda)".
Palembang
Di Palembang terdapat Kitab Hukum Simbur Cahaya dimana di dalamnya
banyak delik adat yang dapat ditarik nilai-nilainya dalam proses legislasi
untuk dijadikan upaya penanggulangan kejahatan kekerasan. Delik kesusilaan
diatur dalam pada Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin yang menyatakan
bahwa seorang laki-laki memegang seorang gadis atau janda dapat dikenakan
sanksi adat dengan denda maksimal 12 ringgit dan tekap malu maksimal 8
ringgit.
Delik kesusilaan yang disebut gawe dalam hal masuk ke rumah
seorang dengan maksud ingin melakukan perbuatan yang tidak terhormat
apakah dengan istri penghuni rumah atau dengan perempuan lain yang tinggal
dirumah tersebut, dalam kasus ini bila pelaku tertangkap di luar rumah maka
pelaku tidak boleh dibunuh, melainkan kena hukuman denda sebesar 12
Ringgit dan aturan lainnya yang terkait dengan kearifan lokal.
Bali
Di Bali perbuatan mencuri barang (suci) dari pura Banjar merupakan delik
adat sehingga pelakunya dipidana dengan pidana penjara setahun dan bayar
biaya upacara suci serta mengganti kerugian kepada masyarakat karena tidak
dapat mengadakan upacara selama barang tersebut hilang. Perbuatan pelaku
selain melanggar ketentuan Pasal 364 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga merupakan delik adat
sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Karang Asem No. 4/Crim/1945.83.
Sulawesi Tenggara
Di Sulawesi Tenggara seorang pria mencoba menyetubuhi seorang wanita
yang sedang tidur yang telah bersuami, hal tersebut merupakan delik adat sehingga oleh kepala adat Tolaki dikenakan denda Prohala berupa
membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci.
Oleh Pengadilan Negeri
Kendari, pelaku dipidana karena memperkosa dan oleh Pengadilan Tinggi
Sulawesi Tenggara pelaku dipidana karena melakukan delik adat siri.
Akhirnya oleh Mahkamah Agung Republik Idonesia dengan putusan Nomor 1844/K/Pid/1988 tanggal 19 Mei
1991 pelaku dibebaskan dengan alasan perkara telah ne bis in idem (vide: Pasal
76 KUHP).
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat Bugis,dikenalkan istilah Meddeceng sebagai suatu upaya untuk mendamaikan pelaku tindak pidana
atau kejahatan tertentu terutama yang dilakukan dalam lingkungan
keluarga atau kerabat dengan korbannya. Setelah terpidana selesai menjalani pidananya, guna menghindari adanya tindakan pembalasan dendam yang bisa
berkepanjangan dari keluarga korban yang mana perdamaian antara dan
korban ini dilakukan dalam suatu upacara selamatan atau permintaan maaf di
depan tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh adat dengan mewajibkan pihak
terpidana untuk menanggung biaya upacara tersebut.
Lombok
Di Lombok dalam hukum adat Sasak dikenal pembayaran ganti kerugian dan
denda yang harus dibayar oleh pelaku delik kepada korban berdasarkan
keputusan tua-tua adat (Krama Desa). Ganti kerugian dikenakan dalam delik
adat maling (pencurian) sedangkan denda dikenakan dalam delik adat
Ngambis (memegang susu wanita) atau delik Jempor (seorang lelaki
yang memaki dengan menyebut kemaluan wanita).
Lampung
Di Lampung pembayaran ganti kerugian dan denda kepada korban dapat
dikenakan dalam hal apabila ada orang yang membuat keributan pada waktu
gawai adat (pesta adat) kecil atau besar dikarenakan ada denda sakit hatinya
dimana ia bertindak sendiri tanpa mengadu kepada hakim, maka orang itu
dapat dihukum denda 3 x 12 rial untuk gawai kecil, 3 x 50 rial untuk gawai
besar, 3 x 24 rial untuk gawai kecil di kampung lain dan mengembalikan
semua kerugian biaya yang punya gawai.
Sumatera Selatan
Di Sumatera Selatan pemberian ganti kerugian terhadap korban kejahatan terdapat dalam Undang-Undang Simbur Tjahaya yang menetapkan antara
lain :
- Pasal 16
Apabila tamparan diteruskan dengan perkelahian sehingga ada salah satu pihak yang terluka, maka yang melukai harus memberikan uang obat dari 2 (dua) sampai 8 (delapan) ringgit, sedangkan perkaranya diteruskan ke sidang raja. - Pasal 17
Apabila dikarenakan terjadinya suatu perkelahian sehingga seorang menderita buang sipat, yaitu seperti hilang mata, telinga, kaki dan tangan, yaitu 20 (dua puluh) ringgit dan perkaranya diteruskan ke sidang raja. - Pasal 30
Jika seorang menampar kepala orang lain, maka yang bersalah dihukum denda sampai 6 (enam) ringgit serta mengganti kerugian.
Dengan adanya beberapa sanksi adat yang menyerupai ganti kerugian, denda
adat, penutup malu, dan sebagainya sebagaimana telah disebutkan di atas, hal tersebut
menunjukkan bahwa korban yang mengalami penderitaan atau kepedihan yang di
akibatkan oleh perbuatan si pelaku oleh suatu peraturan ataupun sanksi yang diatur
dalam kehidupan masyarakat tertentu dapat diringankan dengan diberi kemungkinan
penggantian kerugian.
Perkembangan lebih lanjut, diantara warga masyarakat timbul suatu
kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatu
kesadaran bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu
sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat.
Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau
berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas) diputuskanlah oleh warga
masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan
orang lain itu, harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan sekaligus
juga kepada masyarakat.
Hal ini menurut L.H.C. Hulsman telah berlangsung dari
abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik
antar manusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi. Oleh karenanya dapatlah
disimpulkan bahwa adanya sanksi ataupun aturan-aturan adat tersebut menunjukkan
bahwa konsep ganti kerugian ataupun restitusi juga telah ada dan dianut oleh
masyarakat Indonesia sejak dulu kala.
Perkembangan selanjutnya dalam Hukum HAM Internasional diakui bahwa
kejahatan kemanusiaan masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) sehingga korban memiliki hak atas pemulihan atau biasa disebut dengan
reparasi. Salah satu instrumen penting yang menjadi landasan untuk memenuhi
kewajiban pemulihan atau reparasi kepada korban adalah Prinsip-prinsip Dasar dan
Pedoman Hak Atas Pemulihan untuk Korban Pelanggaran Hukum HAM Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles and Gudielines on the Right to
Remedy and Reparation for Victims of Violants of International Human Rights and
Humanitarian Law 1995) dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban
Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crimes and Abuses of Power).
Bersadarkan ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan bahwa para korban memiliki lima hak pemulihan atau
reparasi yaitu:
- Restitusi;
- Kompensasi;
- Rehabilitasi;
- Kepuasan; dan
- Jaminan ketidakberulangan.
Selanjutnya, hak restitusi yang dimiliki korban tersebut semakin
dikuatkan dengan diratifikasinyai Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang terdapat dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50.
Demikian penjelasan singkat mengenai Sejarah Lahirnya Restitusi dalam Sistem Peradilan di Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.