Proses Pengajuan Restitusi di Penyidikan
Pengajuan permohonan restitusi tersebut tidak pernah diinisiasi dari
korban melainkan selalu dari lembaga pendamping. Pengajuan mekanisme restitusi di beberapa wilayah di Indonesia tidak ada satupun
dilakukan ditingkat kepolisian, melainkan pengajuannya ada hanya pada tahap
penuntutan di pengadilan. Kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk
dapat memberikan informasi tentang hak mengajukan restitusi kepada korban serta mengatur teknis pelaksanaan restitusi tersebut oleh jaksa belum berjalan
sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Selanjutnya hal yang sama juga disampaikan oleh Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (UP2A) di Kepolisian yang menyatakan bahwa
proses permohonan restitusi ini sendiri memang jarang dilakukan pada tahap
penyidikan. Hal ini dikarenakan tidak adanya inisiasi dari korban untuk
mengajukannya, sedangkan pihak kepolisian juga tidak menanyakan kepada
korban apakah akan mengajukan permohonan restitusi pada tahap penyidikan
atau tidak. Hal ini karena belum ada aturan secara jelas yang mengatur
mengenai mekanisme permohonan restitusi bagi anak yang menjadi korban tersebut.
Selama ini hanya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan orang sehingga tidak ada
peraturan secara khusus mengenai restitusi terhadap anak. Selanjutnya hal ini
juga dikarenakan tidak semua penyidik juga memahami dan mengetahui
terkait dengan adanya hak restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana.
Namun saat ini telah terbit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang telah
mengatur secara jelas mekanisme permohonan dan pemberian restitusi
terhadap anak korban tindak pidana. Diharapkan kedepannya, terdapat
sosialisasi kepada aparat penegak hukum khususnya dalam hal ini adalah
penyidik kepolisian terkait dengan mekanisme pengajuan dan pemberian
restitusi itu sendiri.
Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana bahwa penyidik wajib memberitahukan kepada korban bahwasanya ia
memperoleh hak untuk mengajukan restitusi maka selanjutnya harusnya setiap
penyidik melaksanakan hal tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Walaupun pada kenyataannya biasanya pelaku mengajukan permohonan damai kepada korban.
Penyidikan
dilakukan diawali dengan adanya laporan dari anak yang menjadi korban beserta orang tua atau pihak yang mendampinginya, selanjutnya penyidik
memeriksa kelengkapan persyaratan formil dari laporan tersebut namun
sejauh ini belum pernah memberitahukan hak restitusi yang dimiliki kepada
anak yang menjadi korban. Hal ini dikarenakan istilah Restitusi tersebut masih
asing dan yang lebih dikenal adalah Restorative Justice.
Belum ada sosialisasi
pemerintah terkait dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana kepada seluruh penyidik yang tersebar di seluruh wilayah Kepolisian Republik Indonesia sehingga adanya kewajiban memberitahu korban terkait
hak restitusi tersebut juga tidak terlaksana.
Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana dapat dikatakan belum berjalan efektif. Hal ini dikarenakan apabila pelaku tidak
mampu membayar restitusi mestinya tidak dapat digantikan dengan pidana
kurungan dikarenakan korban sudah mengalami penderitaan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana itu
sendiri tidak ada menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelaku yang tidak
mampu memberikan restitusi serta bagaimana pengaturan perampasan aset
yang dimiliki pelaku. Ketentuan ini seharusnya diubah dan disesuaikan
dengan jumlah kerugian yang diderita korban dan pengawasan aset yang
dimiliki pelaku. Hal ini untuk menghindari kecenderungan pihak pelaku untuk
tidak membayar restitusi tersebut.
Diharapkan untuk kedepannya perlindungan hukum kepada anak sebagai korban
tindak pidana dapat lebih ditegakkan dan hak-hak anak yang telah diatur di
dalam peraturan perundang-undangan dapat dipenuhi sebagaimana semestinya.
Selain resitusi yang dapat diberikan kepada anak sebagai korban tindak pidana harusnya juga dalam peraturan perundang-undangan juga mengatur mengenai kompensasi yang diberikan kepada korban tindak pidana sebagai akibat
dari ketidakmampuan pelaku dalam membayar jumlah restitusi sebagaimana
yang telah ditentukan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini negara harus ikut turut
bertanggung jawab dan melindungi korban tindak pidana
dengan memberikan kompensasi, tidak hanya mengandalkan restitusi dalam
putusan pengadilan saja.
Setiap aparat penegak hukum yang berwenang dalam hal ini yang berkaitan
dengan pengajuan restitusi dan dalam rangka untuk terpenuhinya hak-hak anak
yang menjadi korban tindak pidana, baik dari pihak Penyidik, Penuntut Umum,
maupun lembaga pendamping anak hendaknya harus selalu memberitahukan
kepada setiap anak korban perdagangan orang mengenai hak restitusi yang akan
diperolehnya dan harus mencantumkan gugatan restitusi dengan besaran yang
sudah ditentukan sesuai dengan kerugian materil dan immteril yang sudah
dialami korban.
Dalam hal ini diharapkan Penyidik, Penuntut Umum, maupun lembaga pendamping anak dapat mewakili korban untuk mengajukan restitusi
dan memperoleh hak-haknya dan menjalankan mekanisme ataupun prosedur
pengajuan restitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Restitusi
dalam hal ini terkhusus pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana agar dapat
berjalan dengan efektif sekiranya perlu prosedur pengajuan restitusi tersebut
dipermudah agar korban tidak lagi merasa sulit untuk mengajukan hak-haknya.
Selanjutnya juga berkaitan dengan persyaratan-persyaratan yang dianggap
memberatkan misalnya bukti kerugian, hal ini harusnya juga dapat difasilitasi
oleh aparat penegak hukum misalnya lembaga perlindungan anak untuk
membantu mereka dalam memenuhinya. Selain itu juga dimuat ketentuan-ketentuan yang menjadi solusi lain apabila pelaku tidak dapat membayar restitusi
tersebut kepada korban, misalnya dengan negara memberikan kompensasi
kepada korban. Hal ini agar korban yang telah dirugikan tetap mendapatkan hak-haknya meskipun korban tidak mendapatkannya dari pelaku tindak pidana.
Demikian penjelasan singkat mengenai Proses Pengajuan Restitusi di Penyidikan yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.