Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi
Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia sendiri, saat ini ada
beberapa perundangan-undangan yang mengatur mengenai Restitusi atau ganti
kerugian diantaranya terdapat dalam :
- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer);
- Undang-Undang. No. 8 Tahun 1981(KUHAP);
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
- Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
- Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
- Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban; dan
- Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengaturan mengenai ganti rugi terdapat di dalam Pasal 14 C Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa:
"Apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa terhukum dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu."
Adapun rumusan-rumusan pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih
berorieantasi terhadap pelaku, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum secara tegas merumuskan ketentuan
yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap
korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, sehingga di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga tidak dirumuskan mengenai adanya jenis pidana restitusi yang dapat
bermanfaat bagi korban dan/ atau keluarga korban.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Selanjutnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga
lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka dibandingkan
perlindungan terhadap korban kejahatan. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan berupa
proses pemberian ganti kerugian yang akan diberikan dan diterima oleh korban
tindak kejahatan bisa dilakukan lebih cepat, dengan cara menggabungkan perkara
pidananya dengan ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara
perdata.
Hak menuntut ganti atas kerugian yang diderita dari akibat tindak
pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sebenarnya lebih dekat dengan sistem ganti kerugian yang bersifat
keperdataan dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana dapat
disebutkan sebagai berikut :
- Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri bagi proses beracara (pidana dengan perdata) untuk peradilan di Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi prosedur hukum bagi seorang korban atau beberapa korban tindak pidana untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung;
- Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian pada perkara pidana sekaligus adalah sesuai dengan asas keseimbangan yang dimaksud Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus memperhatikan
syarat-syarat sebagai berikut :
- Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang lain termasuk korban (saksi korban) sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
- Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya terbatas sebesar jumlah kerugian material yang diderita orang lain termasuk korban tersebut;
- Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa;
- Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajaukan tuntutan pidana (requisitor);
- Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tuntutan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan;
- Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban;
- Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui panitera pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis hakim/ hakim;
- Gugatan ganti kerugian pada Pasal 98 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah harus sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
Ganti kerugian juga diatur dalam hukum perdata yaitu Pasal 1365 sampai dengan Pasal1380 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer menyatakan bahwa setiap perbuatan
melanggar hukum yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Pasal-Pasal tersebut semuanya mengatur tentang
tuntutan ganti rugi dalam arti perbuatan melanggar hukum. Jika seorang telah
melanggar suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti suatu
kejahatannya maka dirinya dapat dilakukan penuntutan pengganti kerugian. Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu
kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan:
- Untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya;
- Untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial; dan
- Untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun
1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul
karena undang-undang.
Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan
hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun
perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral
atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya
keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad memberikan pertimbangan bahwa dengan
perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau
kealpaan yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena
salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada
orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pengaturan mengenai restitusi dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM hanya diatur secara eksplisit di dalam pada Pasal 35 yang
berbunyi bahwa setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan
atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Pada ayat
selanjutnya menyebutkan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan
Pengadilan HAM. Pada akhir pasal yakni ayat 3 ketentuan ini disebutkan bahwa
ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di atur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah.
Dalam peraturan perundangan-undangan ini jelas
dikatakan bahwa restitusi hanya dapat diberikan kepada korban pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yang berat. Ketentuan mengenai Kompensasi, Restitusi,
dan Rehabilitasi dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi Korban
Pelanggaran HAM yang berat yang juga dapat diberikan kepada korban atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Selanjutnya di dalam Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 48 sampai
dengan Pasal 50 sebagaimana berikut di bawah ini:
Pasal 48 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
- Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
- Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- Penderitaan;
- Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau
- Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
- Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
- Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
- Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat di titipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
- Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkatbanding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
- Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
- Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.
Pasal 50 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
- Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
- Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
- Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pengaturan mengenai Restitusi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat di dalam Pasal 7 ayat (b) yang berbunyi
sebagai berikut:
"Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana".
Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa korban
dapat mengajukan hal tersebut melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Adapun keputusan mengenai
restitusi ini nantinya diberikan oleh Pengadilan. Dalam Pasal 7 ayat 3 tersebut juga
dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi dan
Restitusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga telah mengatur pemberian restitusi bagi
anak korban tindak pidana kejahatan yang terdapat dalam Pasal 71D
(1) yang menyatakan bahwa setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf b, huruf d,huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung
jawab pelaku kejahatan.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008
Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 33. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang
pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/ atau keluarga
korban sebagai bentuk perlindungan atas penderitaan yang telah dialaminya.
Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban,
keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun Peraturan Pemerintah ini sudah tidak berlaku lagi
sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dimana aturan mengenai
restitusi diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 36.
Pengadilan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah
Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana yang bersangkutan. Permohonan restitusi diajukan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
pengadilan tersebut telah menyatakan bahwa pelaku tindak pidana bersalah.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut
beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk
mendapat penetapan. Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum.
Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan
restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan
pengadilan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017
Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia
telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi
bagi anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan langkah maju dalam
memastikan anak mendapatkan perlindungan hukum negara.
Para pelaku
kejahatan terhadap anak saat ini tidak saja mendapat hukuman penjara dan atau
denda, tetapi juga, para pelaku kejahatan terhadap anak diwajibkan untuk
membayar restitusi kepada korban dan ahli warisnya dalam bentuk ganti
kerugian material dan immaterial. Peraturan Pemerintah ini sendiri terdiri dari 4
(empat) bab dan 23 (dua puluh tiga). Pasal ini berisi mengenai tata cara pengajuan
permohonan restitusi hingga mengatur mengenai pemberian restitusi bagi anak
yang menjadi korban tindak pidana.
Demikian penjelasan singkat mengenai Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.