Jenis-Jenis Malpraktik
Kritik masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak maupun
media elektronik. Pada masa lalu dokter seakan-akan hidup terisolir tidak
tersentuh oleh hukum. Namun, sejak peristiwa Pati 1981, tuduhan
malpraktik dan kritik terhadap profesi kedokteran makin lama semakin
banyak (Hendrojono Soewono, hlm. 2).
Adapun bentuk-bentuk malpraktik yang dituduhkan pada dokter beberapa macam. Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi 2 (dua) bentuk(Anny Isfandyarie, hlm. 31), yaitu:
- Malpraktik Etik (ethical malpractice); dan
- Malpraktik Yuridis (yuridical malpractice).
Setiap malpraktik yuridik sudah pasti malpraktik etik,
tetapi tidak semua malpraktik etika merupakan malpraktik yuridik.
Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran sedangkan etika kedokteran
yang dituangkan di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan seperangkat standar
etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, hlm. 49).
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktik etik ini
merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran.
Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu
dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat,
lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, sksn tetapi teknologi tersebut ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Efek
samping ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran
tersebut antara lain sebagai berikut:
- Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang;
- Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis;
- Harga pelayanan medis semakin tinggi;
- dan sebagainya.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi
kedokteran yang merupakan malpraktik etik ini antara lain sebagai berikut:
- Di bidang Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. - Di bidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktik etik.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus
selalu dipergunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk
mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis
dan moral (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, hlm. 9). Adapun 4 (empat) pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
- Menentukan indikasi medisnya;
- Mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati;
- Mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien; dan
- Mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya, aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya
Malpraktik Yuridis (yuridical malpractice)
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridik ini menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu terdiri dari:
- Malpraktik Perdata (civil malpractice);
- Malpraktik Pidana (criminal malpractice); dan
- Malpraktik Administratif (administrative malpractice).
Malpraktik Perdata (civil malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di
dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Adapun isi dari pada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut
dapat berupa sebagai berikut:
- Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan;
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya dengan pasien wajib untuk dilakukan, akan tetapi dokter terlambat melaksanakannya;
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya; dan
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum
haruslah memenuhi beberapa syarat (Hermien Hadiati Koeswadji, hlm. 124), yakni terdiri dari:
- Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat);
- Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis);
- Ada kerugian;
- Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita;
- Adanya kesalahan (schuld).
Untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi)
karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan
adanya 4 (empat) unsur sebagai berikut:
- Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien;
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan;
- Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya; dan
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar.
Namun, adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu
membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum
ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta
telah berbicara. Misalnya, karena kelalaian dokter terdapat kain
kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya
kain kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal
demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalaian pada dirinya.
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia
atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya
kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya
penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut (Anny Isfandyarie, hlm. 34).
- Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar;
- Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis; dan
- Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien.
Malpraktik Administratif (administrative malpractice)
Malpraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
administrasi negara yang berlaku, misalnya:
- Menjalankan praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek;
- Melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya;
- Menjalankan praktik dengan ijin yang sudah kadaluarsa; dan
- Menjalankan praktik tanpa membuat catatan medik.
Demikian penjelasan singkat mengenai Jenis-Jenis Malpraktik yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.