Perlindungan Hukum Pasien
Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa seseorang yang menderita suatu
penyakit baik yang dapat dilihat secara kasat mata maupun tidak dimana orang
tersebut kemudian memeriksakan diri kepada ahli kesehatan atau tenaga medis dapat
dikatakan sebagai seorang pasien.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang
bersifat preventif maupun yang bersifat represif, ada yang tertulis maupun
tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran
dari fungsi hukum itu sendiri, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Adapun pendapat yang dikutip dari bebearpa ahli mengenai
perlindungan hukum sebagai berikut:
Philipus Hardjo
Menurut Philipus Hardjo yang menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat itu ada 2 (dua) (Philipus. M. Hardjo, "Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia", Bina Ilmu, Surabaya,
1988, hlm. 5), yaitu sebagai berikut:
- Perlindungan hukum preventif artinya rakyat diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
- Perlindungan hukum refrensif yang bertujuan menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.
Satjito Rahardjo
Menurut Satjito Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut (Satjipro Rahardjo, "Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia", Kompas, Jakarta, 2003, hlm.
121).
Setiono
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia (Setiono, Disertasi: "Rule of Law", Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, 2004, hlm. 3).
Muchsin
Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah
yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia (Muchsin, Disertasi: "Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia",
Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm. 14).
Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia, maka kebutuhan itu akan senantiasa untuk dipenuhi dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan manusia agar dalam kehidupannya senantiasa terjamin. Tenaga kesehatan akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dan objek dari upaya kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan baik pemeliharaan kesehatan masyarakat maupun pemeliharaan kesehatan individu.
Pada pelayanan kesehatan individu terdapat
hubungan antara pasien, dokter atau tenaga kesehatan dan Rumah Sakit. Hubungan itu
menjadi landasan bagi pengaturan kaidah-kaidah mengenai kesehatan untuk
melindungi pasien berupa hukum kesehatan dan norma-norma lain seperti:
- Moral;
- Etik;
- Kesulilaan;
- Kesopanan; dan
- Ketertiban.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai hak-hak dasar yang lebih dikenal
dengan hak asasi manusia yang harus dihormati oleh pihak lain. Pada dasarnya hak-hak asasi pribadi subjek hukum yang dalam hal ini adalah pasien dalam hukum
kesehatan (Herkutanto, 1987: 119) adalah:
- Hak untuk hidup;
- Hak untuk mati secara wajar;
- Hak penghormatan terhadap integritas badaniah dan rohaniah,; dan
- Hak atas tubuh sendiri .
Untuk melindungi pasien dari kesalahan dan kelalaian pelayanan kesehatan,
pada tahun 1992 telah diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan pada tahun 1999 telah diundangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Mengenai kedudukan
pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan dokter atau tenaga kesehatan
sebagai sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan kesehatan sendiri masih
terjadi perdebatan.
Pihak yang berpendapat bahwa kedudukan pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan dan dokter atau tenaga kesehatan sebagai sebagai pelaku usaha
dalam bidang jasa pelayanan kesehatan beralasan bahwa pasien agar selalu pasien
berpedoman pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Hal ini didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 756/2004 yang
menyatakan bahwa jasa layanan kesehatan termasuk bisnis. Bahkan, World Trade
Organisation (WTO) memasukkan Rumah Sakit (RS), dokter, bidan maupun perawat
sebagai pelaku usaha.
Dengan
demikian jelas bahwa kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter atau tenaga
kesehatan maupun rumah sakit sebagai pelaku usaha, oleh karena itu penerapan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah
tepat.
Sementara pihak yang tidak sependapat dengan penerapan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ketika terjadi konflik antara
pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan maupun rumah sakit berargumentasi bahwa
hubungan terapeutik pada dasarnya merupakan hubungan perikatan yang khusus,
oleh karena itu apabila terjadi konflik atau sengketa antara penyedia jasa dengan
penerima jasa pelayanan kesehatan maka masing-masing pihak tunduk pada konsep
hukum yang mengaturnya.
Dalam transaksi terapeutik, karakteristik perikatannya
adalah ispanning, artinya perikatan yang tidak didasarkan
pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-sungguh (Komalawati, 1989: 84).
Dalam hal
ini dokter atau rumah sakit tidak diwajibkan memberikan atau menciptakan suatu
hasil yang diinginkan pasien karena dalam transaksi medis banyak hal yang
berpengaruh yang merupakan faktor di luar jangkauan kemampuan dokter, misalnya seperti daya tahan pasien, usia, kondisi fisik, tingkatan penyakit yang diderita, kepatuhan
pasien, kualitas obat serta tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karenanya
perikatan ini tunduk pada asas-asas umum perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Yuliati, 2005: 12).
Terlepas dari silang pendapat mengenai aturan yang harus diterapkan ketika
terjadi konflik atau sengketa antara pasien dengan penyelenggara pelayanan
kesehatan adapun yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah dengan cara atau mekanisme seperti apa
sengketa itu akan diselesaikan.
Pada dasarnya penyelesaian konflik antara pasien
dengan penyelenggara pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut:
- Melalui litigasi (melalui proses peradilan); dan
- Melalui non litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan
mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, hal mana penggugat dapat menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak.
Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan
bukti-bukti yang sah (right based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti
rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada penggugat.
Dalam menentukan
putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang
dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar ataupun suatu kepatutan tertentu sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan
kedudukan sosial ekonomi kedua pihak (vide: Pasal 1370-1371 KUHPerdata).
Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution),
maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian
sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua
belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi) ataupun melalui fasilitasi,
mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi.
Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi
kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang
cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest based, win win solution) dan bukan right based.
Hakim pengadilan perdata umumnya
menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini
hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu (Sampurna, 2005).
Demikian penjelasan singkat mengenai Perlindungan Hukum Pasien yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan Sarannya dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.