Spekulasi Hukum Di Interpol Dalam Memburu Habib Rizieq Shihab
"RED NOTICE DITOLAK, BLUE NOTICE DIAJUKAN"
Oleh: Rangga Lukita Desnata, S. H., M. H.
Pasal 2 ayat (2) Constitution Of The International Criminal Police Organization-Interpol (Konstitusi Interpol) menyatakan Interpol dibentuk dan dikembangkan guna memberikan kontribusi secara efektif untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang menurut hukum sebagai kejahatan luar biasa (ordinary-law crime) “To establish and develop all institutions likely to contribute effectively to the prevention and suppression of ordinary law crimes”. Arti dari ordinary-law crimes sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) Interpol’s Rules On The Processing of Data (RPD) adalah segala kejahatan dengan pengecualian yang termasuk ruang lingkup Pasal 3 Konstisusi Interpol, dan kejahatan-kejahatan tersebut telah ditetapkan oleh Majelis Umum “Ordinary-law crime means any criminal offences, with the exception of those that fall within the scope of application of Article 3 of the Constitution and those for which specific rules have been defined by the General Assembly.
Adapun pengecualian yang menjadi ruang lingkup Pasal 3 Konstitusi Interpol tersebut adala larangan turut campur pada kegiatan yang berhubungan dengan politik, militer, agama dan rasial “It is strictly forbidden for the Organization to undertake any intervention or activities of a political, military, religious or racial character.”
Berkaitan dengan permintaan notice kepada Interpol, Pasal 34 RPD menegaskan syarat utamanya adalah tidak bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Konstitusi Interpol, yaitu:
- Hanya untuk kepentingan kerjasama polisi internasional yang saling menguntungkan;
- Hanya untuk Ordinary-law crime; dan
- Bukan sebagai campur tangan permasalahan politik, militer, agama dan rasial.
Ketiga syarat tersebut merupakan syarat mutlak untuk menjamin spirit penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konstitusi Interpol dan menjamin agar Interpol bekerja semata-mata untuk kepentingan bersama dari anggotanya dalam mencegah dan memberantas kejahatan luar biasa (ordinary-law crime) tanpa tendensi terlibat dalam campur tangan persoalan politik, militer, agama dan rasial di negara anggotanya.
Dalam hal wacana permintaan penerbitan blue notice HRS, yang menurut Pasal 88 ayat (1) RPD bertujuan untuk memperolah informasi dan mengetahui lokasi subjek yang dimintakan, maka kepolisian mesti dapat meyakinkan Interpol ketiga syarat utama tersebut terpenuhi. Satu saja tidak terpenuhi, dapat dipastikan permintaan blue notice akan ditolak. Tentunya Interpol tidak ingin dimanfaatkan untuk kepentingan subjektifitas salah satu anggotanya, serta menangani kejahatan-kejahatan berkarakteristik “lokal”.
Syarat pertama yaitu menyangkut adanya kepentingan bersama yang saling menguntungkan dari anggota Interpol (Dunia international) bahwa kejahatan pornografi “Chat WA” yang disangkakan kepada HRS sama sekali tidak terdapat dimensi Internasionalnya. Hal ini dikarenakan dilihat dari karekteristik kejahatannya dan dari kacamata viktimologi, kejahatan pornografi “Chat WA” tersebut termasuk crime without victim yang bersifat personil (private matters) dan sangat tidak rasional untuk menjadikannya sebagai persoalan internasional.
Berkenaan dengan syarat kedua, blue notice tidak dapat diterbitkan kepada HRS yang disangka melakukan kejahatan pornografi karena pornografi tidak termasuk sebagai ordinary-law crime berdasarkan rilis Interpol yang tentunya merupakan keputusan dari General Assembly berdasarkan Pasal 1 ayat (1) RPD. Menurut rilis tersebut hanya 19 (sembilan belas) kejahatan yang menjadi area penangan Interpol yaitu:
- Kejahatan terkait penggunaan bahan CBRNE (Chemical, Biological, Radiological, Nuclear and Explosive);
- Korupsi (Corruption);
- Kejahatan-kejahatan terhadap anak (Crimes against children);
- Kejahatan-kejahatan dalam bidang olah raga (Crimes in sport);
- Kejahatan siber/mayantara (Cybercrime);
- Narkotika (Drugs);
- Tindak pidana linkungan hidup (Enviromental crime);
- Kejahatan keuangan (Financial Crime);
- Kejahatan penggunaan senjata (Firearms crime);
- Menyangkut pengusutan narapidana (Fugitive investigation);
- Pembajakan di laut (Maritime Piracy);
- Kejahatan Terorganisir (Organized crime);
- Kejahatan dalam bidang farmasi (Pharmaceutical crime);
- Terorisme (Terorism);
- Perdagangan manusia (Trafficking human being);
- Perdagangan gelap dan pemalsuan (Trafficking in illicit goods and counterfeiting);
- Kejahatan menyangkut kendaraan (Vehicle crime);
- Kejahatan Perang (War crime);
- Kejahatan terhadap karya seni (Works art).
Menyangkut syarat ketiga yaitu penerbitan Blue Notice bukan sebagai campur tangan permasalahan politik, militer, agama dan rasial. Kepolisian akan kesulitan untuk meyakinkan Interpol mengenai hal ini, apabila dihadapkan kepada fakta bahwa perkara-perkara terhadap HRS termasuk penetapan tersangkanya pada kasus “Chat WA” ini muncul setelah HRS aktif terlibat dan menjadi faktor dominan dari “Aksi-aksi Besar” yang disinyalir sangat mengganggu penguasa politik.
Jelaslah Interpol tidak mempunyai alasan yang cukup untuk menerbitkan blue notice terhadap HRS pada kasus “Chat WA” karena permintaan dari kepolisian tersebut tidak memenuhi syarat, terutama berkenaan dengan klasifikasi kejahatannya yang tidak termasuk ordinary-law crime. Lebih tepat bagi kepolisian untuk tidak lagi berspekulasi membawanya ke Interpol.
Apabila permintaan blue notice ini tetap diajukan dan kemudian ditolak sebagaimana permintaan Red Notice sebelumnya, pihak kepolisian akan menanggung malu untuk kedua kalinya, karena dianggap tidak mengerti mengenai tujuan dari pembentukan Interpol. Belum lagi pihak kepolisian akan menghadapi “Bullying” Netizen yang menganggap permintaan blue notice tersebut terlampau mengada-ada, oleh sebab semua orang sudah tahu tentang kegiatan dan keberadaan HRS selama ini di Arab Saudi dan Yaman.