Gratifikasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan pandangan dari sisi kriminologis, tindak pidana korupsi (tipikor) dikategorikan sebagai the multy endemic crime atau ada pula yang menyebut tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang terstruktur, tersistem, mengakar dan kuat (the structural crime) sehingga tindak pidana korupsi digolongkan ke dalam kejahatan yang serius atau dikenal dalam bahasa inggris dengan istilah seriously crime atau extra ordinary crime. Dengan digolongkan sebagaimana yang dimaksud maka penanganannya pun semestinya berskala ekstra dengan pendekatan bersistem (systematic approach).
Pendekatan ini melibatkan institusi yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (institutional criminal justice system) maupun institusi yang berada di luar peradilan pidana untuk saling memberikan dukungan (supporting) terhadap penanganan perkara korupsi dan sekaligus bersama-sama berupaya mencegah terjadinya korupsi.
Upaya penegakan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana korupsi belum menampakkan harapan cerah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang berhenti dalam tahapan pra ajudikasi (pre adjudication phase, preliminary phase).
Meskipun saat ini telah ada pengadilan tindak pidana korupsi yang digelar seperti contohnya di Indonesia yang memiliki Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang disingkat dengan KPK mulai menunjukkan kinerjanya dalam mengadili beberapa perkara korupsi berskala nasional di Indonesia yang sejak berdirinya pada tahun 2004 sampai tanggal 30 September 2019, jumlah kasus yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebanyak 1.125 kasus (sumber: Kompas.id).
Adapun salah satu penyebab kesulitan dalam pengungkapan dan penanganan perkara tindak pidana korupsi yaitu adanya kesulitan dalam hal pembuktian dan juga hal-hal yang lain seperti kuatnya kedudukan pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki economic, social power dan bureaucratic power, sehingga memposisikan mereka sebagai beyond the law man (manusia yang sukar dijangkau hukum).
Dengan keadaan seperti itu pernah dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo yang bersikap sinisme terhadap penanganan tindak pidana korupsi dengan gaya sosiologi hukumnya yang menyatakan bahwa:
“bagaimana mungkin kita dapat menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri merupakan sebuah sapu kotor.”
Adapun maksud pernyataan Sang Begawan Hukum ini adalah sukar untuk memberantas korupsi kalau aparat penegak hukum sebagai pihak yang langsung menegakkan hukum saja masih hidup dengan perilaku korupsi.
Dengan adanya kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan, kemana lagi harus belajar memberantas korupsi secara sistematis pada suatu negara jika aparat penegak hukumnya sendiri masih hidup dengan perilaku korupsi? Pertanyaan demikian pernah dikemukakan oleh Dahlan Iksan yang merupakan salah satu tokoh Indonesia dalam pengantar buku “memerangi Korupsi, suatu peta jalan untuk Indonesia” yang ditulis oleh Ian Mc Walters.
Dahlan Iksan kemudian menunjuk negara Hongkong sebagai salah satu arah pembelajaran untuk memberantas tindak pidana korupsi (tipikor). Singkat cerita Dahlan Iskan menyatakan bahwa 30 (tiga puluh) tahun lalu di negara Hongkong merupakan masa-masa terburuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Sebagai contoh kasus pada masa itu yaitu sebuah mobil pemadam kebakaran yang sudah sampai di lokasi titik kebakaran, kemudian petugas kebakaran tidak langsung menyemprot air untuk memadamkan api yang berkobar sebelum ada pernyataan dari korban kebakaran untuk memberikan uang lelah (tip) kepada petugas pemadam.
Begitu pula juru rawat (perawat) yang berada di Rumah Sakit (RS) yang tak mau menginjeksi pasien apabila keluarga pasien atau pasien yang bersangkutan belum membisik kepada perawat rumah sakit bahwa mereka nanti akan diberi uang tambahan (tip).
Oleh karena adanya kesulitan dalam hal pembuktian menjadi fokus perhatian yang serius dalam penanganan korupsi di Indonesia. Adanya kesulitan terhadap pembuktian tersebut, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 telah mengatur "pembalikan beban pembuktian" (reversal burden of proof / omkering van het bewijslaat).
Akan tetapi, perlu sebagai catatan juga bahwa tidak semua tindak pidana korupsi (vide: Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) menghendaki pembalikan beban pembuktian kepada pelaku tindak Pidana korupsi, akan tetapi pembuktian terbalik itu terbatas pada 2 (dua) hal, yakni:
- Delik pemberian (gratification) atau pemberian yang berkaitan dengan suap (bribery); dan
- Soal perampasan dari delik-delik yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 sampai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Maksud hal pembatasan ini adalah terdakwa berdasarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dianggap terbukti melakukan pelanggaran terhadap delik korupsi dalam ketentuan Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dikenakan perampasan harta benda miliknya.
Sehingga terdakwa memiliki kewajiban membuktikan perolehan harta bendanya tersebut berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian dalam hal bahwa harta benda miliknya tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi (tipikor).
Gratifikasi (gratification) merupakan salah satu jenis delik korupsi yang baru sebagaimana diatur dalam ketentuan pada Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut dikategorikan baru karena sebelumnya gratifikasi tidak diatur dalam undang-undang korupsi yang lama yakni di dalam ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971.
Adapun ketentuan yang diatur pada Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada dasarnya menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan yang diatur pada ketentuan Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat selama 4 (empat) tahun dan paling lama selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Pasal ini mengadop sekaligus mengintrodusir kembali pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah lama tertidur dan bergelar sebagaimana papieren tiger.
Di samping ketentuan yang diatur pada Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menekankan secara spesifik tentang gratifikasi yang menyatakan bahwa setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari Pegawai Negeri tersebut atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut maka diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya ketentuan yang diatur pada Pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa diberikan sanksi pidana berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat selama 4 (empat) tahun dan paling lama selama 20 (dua puluh) tahun dan penjatuhan pidana denda paling sedikit sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan penjatuhan denda paling banyak sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) adalah:
- Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji dari orang lain padahal hadiah atau janji tersebut diduga atau diketahui diberikan untuk menggerakkan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya sebagai Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bertentangan dengan kewajibannya;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima atau mendapatkan hadiah padahal hadiah tersebut diduga atau diketahui diberikan sebagai akibat atau disebabkan oleh karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya sebagai Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan kewajibannya;
- Hakim yang menerima atau mendapatkan hadiah atau janji, padahal hadiah atau janji tersebut diketahui atau diduga diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada Hakim tersebut untuk diadili;
- Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi Pengacara atau Advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji padahal hadiah atau janji tersebut diketahui atau diduga diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan sehubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Menurut ketentuan yang diatur pada Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap sebagai "pemberian suap" apabila gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatannya sebagai Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Adapun ketentuan nilai gratifikasinya sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
- Gratifikasi yang memiliki nilai paling rendah atau lebih dari nilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), adapun untuk pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
- Gratifikasi atau pemberian yang memiliki nilai di bawah dari nilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), adapun untuk pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.
Berdasarkan ketentuan yang diatur pada Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa obyek dari tindak pidana korupsi adalah gratifikasi berupa pemberian dalam arti luas, yakni meliputi:
- Pemberian Uang;
- Pemberian Barang;
- Pemberian Rabat (discount);
- Pemberian Komisi;
- Pemberian Pinjaman tanpa Bunga;
- Pemberian Tiket Perjalanan;
- Pemberian Perjalanan wisata;
- Pemberian Fasilitas Penginapan; dan
- Pemberian Fasilitas Lainnya.
Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang diatur pada ketentuan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterima di dalam maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
Adapun ketentuan Pasal 12 C ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan pengecualian pemberlakuan yang ditentukan pada Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa:
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
- Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 12 C Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima;
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan memiliki kewajiban untuk menetapkan gratifikasi tersebut dapat menjadi milik penerima atau menjadi milik negara;
- Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 12 C Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Pasal 12 C Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menyimak rumusan pasal-pasal gratifikasi baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ada 3 (tiga) unsur penting suatu gratifikasi yang mengarah kepada suap yang mesti diperhatikan, yakni:
- Ada menerima hadiah atau janji;
- Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; dan
- Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dengan demikian dalam delik gratifikasi, orang yang menerima pemberian tersebut itu harus berhubungan atau berkaitan dengan jabatannya dan memiliki tujuan bahwa dengan adanya pemberian tersebut, maka penerima gratifikasi akan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Akan tetapi, unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Adapun formulasi atau rumusan lain yang serupa untuk membuktikan gratifikasi tersebut yaitu bahwa orang yang menerima atau mendapatkan pemberian tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap.
Oleh karena adanya kewajiban tersebut, maka terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sehingga dalam formulasi inilah yang memunculkan "pembalikan beban pembuktian". Akan tetapi, unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Demikian penjelasan singkat mengenai gratifikasi dalam tindak pidana korupsi yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih lagi dalam menerbitkan artikel. Kritik dan sarannya sangat dibutuhkan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.